Friday 11 February 2022

Setelah Tiga Belas Tahun

 

Saya lupa kapan mulai menjawab “udah lama banget pokoknya” setiap kali ditanya berapa lama saya ngekos di Jakarta. Pertanyaan itu biasanya dilontarkan anak kosan baru ketika kenalan basa-basi. Entah kenapa terselip rasa malu ketika menyebut sebuah angka, terlebih ketika angka itu tembus dua digit.

Ketika pertama kali ngekos di Karet Pedurenan setelah hanya sebulan bertahan ngekos di Pejaten, saya tidak pernah membayangkan akan tinggal di sana hingga 13 tahun. Kamar saya ada di pojokan paling belakang, berbatasan langsung dengan gang. Saya sudah terbiasa dengan suara ibu-ibu bergosip pagi-pagi, bocah-bocah bermain dan berlarian, juga bapak-bapak ngobrol hingga larut malam yang asap rokoknya ikut masuk ke kamar. Saya pun tak terlalu peduli bising motor yang lewat gang, juga asap sate dari abang-abang yang kadang mangkal di sore hari.

Karena bisa mendengar semua kejadian di balik tembok, saya jadi tahu beberapa kejadian tanpa melihatnya langsung: cewek-cowok yang berantem sampai ceweknya nangis, ucapan selamat ulang tahun tepat pada tengah malam, juga seorang ibu yang rutin mengomeli anaknya tiap mengerjakan PR. Yang terbaru, saya dengar teriakan tangis dini hari yang disusul dengan derap langkah kaki orang berlarian. Esoknya saya tahu kalau ada tetangga belakang kosan yang meninggal bunuh diri. Konon katanya karena sakit terlalu lama yang tak kunjung sembuh.

Saya bisa menahan semua itu hingga akhirnya pandemi datang dan WFH menjadi hal yang lazim. Kamar kosan saya terasa makin sempit, tinggal di sana bertahun-tahun membuat barang saya menumpuk. Tanpa jendela ke arah luar dan tak adanya sinar matahari yang masuk membuat saya makin ingin pindah. Terlebih tetangga belakang kosan tetiba punya ide untuk membuat bengkel motor di depan rumahnya. Mungkin ia juga merasa lebih fokus bekerja di saat orang lain tidur sehingga suara ketak-ketok dari bengkelnya terdengar hingga Subuh.

Tak tahan lagi, beberapa bulan setelahnya saya pindah ke kamar depan yang kebetulan baru ditinggal penghuninya. Kamar ini lebih luas dengan jendela lebar yang ramah pada cahaya matahari langsung. Dibanding sebelumnya, kamar ini lebih tenang meski hampir tiap hari ada abang tukang paket yang mengantar barang.

Apa yang membuat saya bisa bertahan di kosan selama 13 tahun? Selain murah untuk ukuran kosan di Kuningan, Jakarta, kosan ini juga dekat dengan kantor. Saya juga bisa ke Mal Ambasador, Kuningan City, dan Lotte Avenue dengan berjalan kaki. Jalan sedikit ke arah yang berbeda, saya sudah bisa ke Plaza Festival dan Setiabudi One. Tempat makan banyak, tidak pernah banjir, dan otomatis saya tak perlu bermacet-macet ke kantor atau pulang dari kantor.

Selain itu, teteh yang jaga kosan juga baik. Dia sering memberi saya makanan –seringnya bakso dan soto buatannya– juga cemilan seperti kacang goreng, rempeyek, dan terkadang cireng. Di bulan Ramadan, biasanya saya minta dimasakin oleh teteh. Saya berikan ia uang dan minta yang penting nasinya hangat, ada lauk, dan sayurnya. Tapi dua tahun ke belakang teteh sudah tak menerima pesanan sahur, sehingga saya berlangganan katering Ramadan.

 

Memulai kembali

Meskipun jawaban-jawaban di atas terasa masuk akal, sebenarnya saya punya satu alasan lainnya: saya sendirian. Sebenarnya beberapa tahun belakangan ini saya tergoda untuk tinggal di apartemen. Tapi saya masih ragu-ragu, belum berani tinggal sendiri. Bagaimana kalau sakit? Setidaknya kalau di kosan ada orang yang bisa langsung dimintai tolong. Selain itu, biaya sewa apartemen juga rasanya akan lebih ringan jika ditanggung berdua.

Masalahnya, keinginan saya untuk berbagi apartemen dengan orang lain berbanding terbalik dengan kemudahan saya mencari housemate. Mungkin ada teman yang enak buat jalan bareng dan ngobrol, tapi untuk tinggal satu atap berdua pasti membutuhkan usaha lebih. Harus yang sama-sama bisa bikin nyaman, dan setidaknya punya nilai yang mirip-mirip.

Setiap kali memandangi apartemen di daerah Kuningan, saya membayangkan rasanya pasti nyaman tinggal di sana. Bisa santai-santai di balkon pagi hari, juga malam hari sambil melihat pemandangan kota. Di sana juga bisa masak sendiri, pulang dari kantor juga bisa langsung mandi dengan air hangat. Tapi ya…saya cukup tahu diri kalau biaya apartemen di Kuningan sudah tak masuk kantong saya. Lagipula, siapa juga yang mau berbagi apartemen dengan saya?

Hingga akhirnya, ada Kirana.

Pertemuan pertama kali dengannya saya ceritakan di sini. Saya mengenalnya ketika ia masih kuliah di Semarang, hingga diwisuda, dan bekerja di anak perusahaan BUMN jalan tol di Pekalongan. Kirana bercita-cita mengambil jurusan Psikologi, tetapi keadaan memaksanya memilih Akuntansi dan bekerja terkait uang dan transaksi di kantornya. Itu adalah sesuatu yang tak ia suka. Ingin mengubah nasib, ia mengikuti tes CPNS untuk jabatan yang bersinggungan dengan HRD.

Saya tak ingat bagaimana awalnya, tapi obrolan tentang berbagi apartemen mulai muncul dalam percakapan kami. Ketika pertama kali mendengar ide tersebut, saya merasa tinggal dengannya akan menyenangkan. Kirana adalah orang yang thoughtful dan mudah untuk diajak berkomunikasi. Kami pernah berbagi hobi idoling yang sama (oshi kami sama, btw), dan sekarang kami sama-sama suka Taylor Swift. Nilai-nilai yang kami anut juga tak beda jauh, jadi seharusnya akan baik-baik saja dengannya.

Kemungkinan berbagi apartemen dengan Kirana menjadi makin terang ketika ia lolos dengan nilai tertinggi pada seleksi SKD di sebuah kementerian. Pada tahapan SKB yang menjadi penentu, ia berhasil masuk menjadi salah satu dari dua orang yang lolos untuk posisi yang berhubungan dengan kepegawaian.

Congratulations!

Keberhasilan Kirana juga artinya kemenangan buat saya. Rencana-rencana yang awalnya cuma angan-angan, kini makin jelas dan diberi tanggal. Kami mulai mencari-cari apartemen melalui berbagai aplikasi dan secara daring, lalu mengerucutkannya dengan budget dan kriteria dua kamar yang kami inginkan.

Karena kantor saya di Rasuna Said sementara dia di Medan Merdeka Barat, kami membuat daftar apartemen yang jarak tempuhnya masih wajar untuk kami berdua. Kami urutkan berdasarkan budget, fasilitas, dan jarak. Karena budget yang ketat, banyak apartemen yang berguguran pada seleksi permulaan.

Setelah mencari-cari info, memilah, dan memilih, kami punya dua alternatif apartemen, yaitu Taman Rasuna di Kuningan dan Signature Park Grande di Cawang. Biaya sewa untuk keduanya beda tipis (kebetulan yang Taman Rasuna saya nego langsung dengan pemiliknya sehingga lebih murah), dan masing-masing punya kekurangan dan kelebihannya. Apartemen Taman Rasuna jelas memiliki lokasi yang strategis, tapi unit yang ditawarkan sudah tua. Sementara, Signature Park Grande terlihat baru dan nyaman, tapi jarak ke kantor kami lumayan juga, terutama untuk Kirana. Ada beberapa unit di sana yang sudah kami incar.

Rupanya kebingungan kami sebentar saja, karena begitu kami ke Signature Park Grande, kami langsung tahu kalau itu yang kami inginkan. Apartemen ini termasuk baru dan relatif tenang. Kartu akses digunakan untuk menuju lift dan ketika memilih lantai di lift sehingga saya merasa aman. Lorongnya lebar dan unitnya tak sekecil apartemen di daerah Jakarta Selatan yang pernah saya datangi.

Dari lima unit yang kami kunjungi, ada satu yang dipilih. Unit ini terletak di lantai 6 dan menghadap jalan. Dari awal, saya dan Kirana memang tidak ingin di lantai yang tinggi untuk alasan keselamatan. Apalagi akhir-akhir ini Jakarta kena gempa. Saya lebih suka view yang menghadap jalan daripada kolam renang, karena jangkauan pandangannya lebih luas. Unit ini juga dilengkapi dengan dua AC dan water heater. Penataannya yang rapi membuat saya langsung kerasan di sana.

Saat ini, saya sedang mulai menata-nata barang di kosan untuk dipindah. Sebagian barang saya donasikan, sebagian yang lain saya berikan ke teteh kosan, ada juga yang saya jual. Kalau semua sesuai rencana, minggu depan saya sudah pindah ke apartemen.

Setelah 13 tahun, akhirnya saya bisa memulai kembali.  

Dan oh, mungkin Ramadan ini saya tak sahur sendiri.

Monday 12 July 2021

Menunggu Lima Tahun untuk Kebab Paling Enak di Wageningen

Ketika sedang jalan-jalan di Eropa, kebab adalah makanan yang paling sering saya cari. Selain karena hampir selalu halal (ada juga kebab yang tidak halal lho), makanan ini juga praktis dan lengkap dengan kombinasi karbohidrat, sayur, dan daging. Saya sudah mencicipi kebab di Inggris, Spanyol, Prancis, Belgia, Jerman, Swiss, Norwegia hingga Italia, tapi belum ada yang mengalahkan enaknya kebab di Wageningen, Belanda.

Wageningen adalah kota kecil yang pernah saya sebut rumah. Saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi master di sana pada 2013-2014. Meskipun sering memasak untuk mengirit pengeluaran, ada saatnya ketika saya ingin jajan dan kebab seringkali jadi pilihan.

Ada beberapa kedai kebab di Wageningen, tapi favorit saya terletak persis di samping kanan Grote Kerk (gereja besar), Wageningen centrum. Mudah menemukan kedai ini di antara tempat makan lainnya yang mengelilingi gereja. Papan namanya bertuliskan ‘Turks Eethuis Ilayda’. Di bawahnya ada kaca lebar dengan tulisan ‘Ilayda’ serta nomor telepon. Dari balik kaca itu, kita bisa mengintip isi dapurnya, termasuk saat pelayannya sedang mengiris tipis daging yang disusun vertikal dari alat pemanggang. Ketika hari sedang cerah, kursi-kursi ditaruh di depan kedai supaya pengunjung bisa menyantap kebab sambil menikmati udara segar atau hangatnya matahari.

Ilayda menyediakan durum kebab yang mana sayur dan dagingnya dibalut dengan kulit tortilla. Saya lebih menyukai itu dibanding kebab dengan gaya sandwich yang menggunakan roti. Saya ingat kebab dari Ilayda adalah comfort food ketika saya sedang butuh semangat dan lucunya, kebab ini juga yang saya nikmati ketika sedang ingin merayakan sesuatu sesederhana akhir pekan. Entah apa yang membuat kebab ini begitu istimewa buat saya; mungkin rasa segar sayurannya, mungkin sausnya yang juara, mungkin dagingnya yang melimpah, mungkin aromanya yang memikat, atau mungkin karena perpaduan keempatnya.

Pada akhir 2014 ketika kembali ke Indonesia, tak terhitung berapa kali momen saya kangen kebab Ilayda. Di Jakarta ada kebab yang rasanya mirip dengan Ilayda, tapi belum ada yang menyamai rasa enaknya. Itulah sebabnya ketika lima tahun kemudian, Oktober 2019, saya kembali ke Eropa untuk jalan-jalan, makan kebab Ilayda saya sisipkan ke dalam jadwal.

Perjalanan saya kali ini ditemani Mbak Tami dan Mita. Kami membagi dua minggu di Eropa ke Belanda, Prancis, Spanyol, Austria, dan Jerman. Praktis satu negara hanya bisa disinggahi dua hingga tiga hari, itu pun kadang terbagi lagi ke beberapa kota. Beruntung Wageningen bisa masuk ke itinerary kami meski tak seharian penuh. Kedua teman baik saya itu rupanya ingin melihat kampus dulu saya belajar, plus penasaran dengan rekomendasi saya soal kebab Ilayda.

Dari homestay di Dijkgraafplein, kami naik tram 17 sampai di Amsterdam Centraal. Dari sana, kami naik kereta Intercity satu jam hingga sampai Stasiun Ede-Wageningen. Perjalanan masih dilanjut naik bus 86 untuk sampai di kampus Wageningen.

Sepanjang perjalanan, memori yang tersimpan lima tahun muncul berbarengan. Saya mengenali hamparan hijau ladang, jalur khusus pesepeda, dan rumah-rumah yang terasa sama. Tapi ada juga yang berubah: bioskop Pathe kini jadi CineMec, Campus Plaza sudah selesai dibangun, dan bahkan pemberhentian bus kini lebih dekat dari gedung Forum. Kami juga sempat melewati flat mahasiswa di Bornsesteeg 1. Saya reflek mendongak ke atas, membayangkan kamar saya dulu di lantai 20.

Menjelang siang, kami naik bus ke Wageningen Centrum. Saya sudah tak sabar makan kebab! Saya sudah merencanakan akan beli satu untuk dimakan di tempat, lalu mungkin akan membawa pulang satu lagi. Saya sudah siap kangen-kangenan dengan kebab kesayangan.

Dari halte, kami berjalan kaki menyusuri jalanan utama centrum dengan toko di kiri-kanannya. Suasana terasa lengang, belum banyak orang lalu-lalang. Saya mengingat-ingat toko yang dulu ada, dan mana yang sudah berganti. Kemudian nampaklah Grote Kerk di sebelah kiri dengan puncaknya yang menjulang. Gereja tua ini didominasi warna oranye bata dan memiliki jam di puncaknya.

Dengan jarak semakin dekat, saya melihat Ilayda dengan perasaan tak enak. Kursi-kursi masih tertumpuk menjadi dua baris. Tirai putih masih menutup kaca lebar, sementara pintu tertutup rapat. Kaki saya melangkah semakin cepat untuk memastikan apa yang saya khawatirkan. Dan ternyata benar, Ilayda masih tutup dan baru buka pukul 3 sore. Padahal kami sudah ada agenda lain untuk sore hari. Dan rasanya agak egois kalau saya memaksa untuk tetap tinggal sampai sore padahal kami sudah janjian untuk mengunjungi tempat lain.

Samar-samar saya mendengar ada suara retak dan menyadari itu ternyata hati saya huhu… Sudah lima tahun saya menunggu momen ini, tapi sepertinya saya harus menahan kangen lebih lama.

Saya mengingat-ingat rasanya dulu Ilayda buka lebih awal. Lain kali saya akan pastikan jam buka sebuah resto/kedai kalau ingin makan di sana. Mengandalkan ingatan saja rupanya tidak cukup. Padahal kalau sebelumnya saya mau sebentaaar saja mengecek di website Ilayda, mungkin itinerary bisa diubah dan saya bisa menikmati kebab paling enak di Wageningen.

Atau mungkin saya memang harus menunggu lima tahun lagi?

Monday 22 July 2019

Bukan Review The Lion King: Sebuah Pendekatan Naratif tentang Nonton di Bioskop dan Bertemu Orang Baru


Sudah dua tahun ini saya tidak nyaman nonton di bioskop. Ada momen-momen ketika sedang nonton dan mendadak saya ingin cepat-cepat keluar, agak ‘takut’ entah untuk alasan apa. Mungkin karena gelap, mungkin karena banyaknya orang, mungkin karena suaranya yang keras. Kalau tidak terpaksa, saya lebih memilih nonton Netflix di kamar. Tapi The Lion King beda. Melihat trailernya, saya tahu saya harus nonton film ini di bioskop. Saya pilih nonton di The Premiere karena tidak terlalu banyak orang di satu studio. Ada jarak yang lumayan lapang untuk tiap-tiap kursinya. Saya pikir nonton di sana akan menyenangkan.

Kamis pagi, satu hari setelah rilis The Lion King di bioskop Indonesia. Saya mengecek aplikasi Cinema 21 di HP dan tetiba punya keinginan kuat untuk mengajak orang lain nonton bareng. Malam sebelumnya, saya ajak teman genk nonton di The Premiere Lotte Avenue, sayangnya tidak ada yang bisa. Normalnya, saya akan langsung ngeluyur nonton sendirian seperti biasanya. Tapi hari itu, saya ingin ditemani seseorang.

Ada satu nama yang begitu saja terlintas di pikiran. Zi. Saya tahu dia lewat Twitter. Saya pernah mengirimkan kartu pos untuknya, juga pernah mendapatkan hadiah Gundam coaster karena menang kuis di blognya. Well, hanya sependek itu kami kenal satu sama lain. Saya tentunya lebih kenal Zi lewat tulisan-tulisannya di blog, dan saya pikir, dia minimal ‘ngeh’ dengan saya.

Sempat ragu-ragu, akhirnya saya kirim email untuk mengajak Zi nonton. Ini random dan absurd sih, karena seperti yang saya bilang, kami sebetulnya tidak sekenal itu. Dia mungkin sudah punya rencana nonton, atau mungkin malah sudah nonton di hari pertama. Ternyata belum! Saya tahu itu dari balasan emailnya. Zi mau diajak nonton dan menanyakan kapan waktunya. Wow. Saya cek Cinema 21 dan masih ada seat untuk jadwal pukul 18:50 hari Kamis itu. Saya kabari dia tentang jadwal itu dan Zi bilang, “Harusnya nggak ada masalah sih, Mbak.” Wow. Ternyata mengajak orang nonton bisa sesimpel ini.

Seharian itu kegiatan di kantor membuat saya lupa tentang rencana nonton ini. Tapi ketika sore datang, tiba-tiba ada rasa gugup bertemu orang baru. Saya selalu seperti itu (seperti yang pernah saya tulis di sini, sini, dan sini) *sigh*. Bagaimana kalau nanti saya membosankan? Bagaimana kalau nanti obrolan kami tidak nyambung? Bagaimana kalau saya melakukan hal-hal yang memalukan?

Ketika memilih pakaian, saya baru sadar kalau bekas merah-memanjang di sepanjang tangan kiri saya masih kentara. Iya, itu adalah efek kerokan akibat masuk angin minggu sebelumnya. Daaan, baju-baju main saya rata-rata lengan pendek. Duh. Akhirnya saya memilih menutupinya dengan sweater.

Selesai sholat Maghrib, saya sudah siap-siap ke Lotte Avenue. Saya cek email, mungkin Zi membatalkannya?  Sebelum rencana nonton ini, lewat kartu pos saya pernah mengajak Zi ke kafe kucing karena tahu dia sangat suka kucing. Ketika mutual kami–Kimi namanya–main  ke Jakarta, kami bertiga hampir ke kafe kucing bareng. Tapi di hari-H, Zi mendadak batal ke sana karena sakit. Jadilah hanya saya dan Kimi yang menengok kucing-kucing lucu itu.

Tidak ada email masuk di inbox saya. Belum ada kabar. Saya naik gojek setelah lewat pukul 6 sore, dan mendadak tangan saya dingin meskipun udara panas. Saya yakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja, bahwa bisa saja Zi akhirnya tidak datang, bahwa rasa gugup saya bakal sia-sia…

Sampai di Lotte, saya langsung masuk ke ruang tunggu The Premiere. Seorang pramusaji membawakan buku menu, yang tak begitu saya pedulikan karena nervous mengalahkan rasa lapar. Nonton bioskop membuat saya ‘takut’, ditambah bertemu orang baru yang membuat saya gugup. Entah keberanian atau kesembronoan macam apa yang membuat saya menggabungkannya jadi satu malam itu.

Meskipun tangan saya tak lagi dingin, deg-degan saya masih terlampau cepat. Dua puluh menit sebelum jadwal, saya kembali email Zi, mengabarkan kalau saya sudah sampai. Mungkin dia tidak jadi datang? Mungkin dia harus lembur? Mungkin dia terjebak macet? Dua menit setelahnya, ada email baru masuk. Zi bilang dia sudah di Lotte. Satu menit setelahnya, dia bilang akan segera ke XXI.

Saya menunggunya dan waktu seperti berjalan pelan. Teramat pelan.

Ini adalah saat-saat ketika saya aware dengan semua yang saya rasakan. Saya beberapa kali bertemu teman/kenalan baru, rata-rata yang saya kenal online, dan jeda menuju pertemuan itu selalu membuat saya gugup, gelisah, tapi juga sekaligus tertarik. Orang yang biasanya hanya ada di layar HP, sebentar lagi akan muncul di hadapan!

Saya sengaja duduk menghadap pintu masuk. Bolak-balik mengalihkan pandangan antara menu dan pintu. Sebelumnya saya pernah mengenali Zi ketika kami tak sengaja sama-sama nonton salah satu pertandingan Asian Games hari pertama. Saat itu saya terlalu malu bahkan untuk menyapa. Jadi ketika sadar sesadar-sadarnya kalau dalam hitungan menit dia akan memasuki pintu itu, rasanya saya masih belum percaya.

Akhirnya orang yang saya tunggu-tunggu datang juga. Saya tidak terlalu paham jenis pakaian, tapi yang jelas dia memakai blouse putih dan bawahan rok bermotif bunga dengan sepatu kets putih. Dia terlihat bingung dan mencari-cari. Tentu saja, Zi mungkin bahkan tidak tahu saya seperti apa. Saya mendatanginya dan memperkenalkan diri. Kami bersalaman, lalu saya mengajaknya ke ruang tunggu The Premiere.

Sepertinya di awal-awal percakapan kami, saya agak terlalu banyak tersenyum. Tidak ada lagi tangan yang dingin, rasa gugup hilang begitu saja. Rasanya…sungguh melegakan. Saya merasa agak canggung, tapi semuanya baik-baik saja. Dia attentive, dan terlihat berusaha mendengarkan. Justru saya yang kurang konsen karena masih tidak percaya kalau Zi betulan datang dan sekarang duduk di hadapan. Salah satu blogger favorit saya!

Kalau diminta memilih satu hal yang standout dari Zi, itu adalah suaranya. Iya, gaya berpakaiannya kawaii, tapi suaranya itu lembuuut dan haluuus banget. Ya ampun.

Zi bilang dia ke Lotte naik MRT dan turun di Benhil. Dia bilang juga kalau dulu ketika masih kuliah di UI dia sering ke Lotte untuk nonton film–bisa tiga sekaligus–karena harga tiketnya yang murah; lebih murah dari XXI di Margo City. Saya bilang padanya kalau saya suka postingan-postingan blog dia, terutama ketika dia review konser. Zi bisa membuat orang jadi tertarik untuk ikut mendengarkan lagu-lagu yang dia review. Spesifik, saya sebutkan kalau postingan dia tentang konser Utada Hikaru itu keren banget. Saya lupa bilang kalau saya bahkan ikut menonton konsernya di Netflix saking penasaran.

Waktu ngobrol kami tak lama sampai akhirnya dipanggil masuk ke Studio 2. Kursi-kursi di The Premiere beda dengan studio biasa, dan saya lupa cara mengesetnya. Terakhir kali saya nonton di The Premiere itu delapan tahun yang lalu. Saking tidak ingin tengsin, sebelumnya di kantor saya sempatkan cari video di YouTube tentang The Premiere ini. Jadi minimal sekarang saya sudah tahu cara mengeset kursinya dan tahu dimana mencari selimut hehe…

Film masih belum mulai ketika kami sudah masuk studio. Saya bilang saya sudah sedia kaos kaki kalau-kalau tambah dingin. Ketahuan kalau umur memang tidak bisa bohong haha! Jarak usia kami kira-kira delapan tahun. Kalau ketemu langsung seperti ini rasanya saya melihatnya seperti bocah. Zi bahkan hanya beda tiga tahun dari adik saya yang paling kecil.

Minuman kami datang ketika film baru dimulai. Tak lama, churros pesanannya menyusul. The Lion King sesuai dengan ekspektasi saya. Kualitas gambarnya memuaskan, dan Simba kecil itu imutnya kelewatan. Ada beberapa adegan yang ditambah, ada juga yang dikurangi. Eh tapi saya menulis ini bukan untuk review film kan?

Saya ingin cerita perasaan saya ketika nonton film ini. Rasa ‘takut’ yang kadang muncul ketika nonton di bioskop nyaris tidak ada. Beberapa kali saya arahkan pandangan ke tulisan “exit” berwarna merah di sisi kiri hanya untuk jaga-jaga, tapi saya tetap nyaman duduk selonjor di kursi yang memanjang. Setelah dua tahun, rasanya baru kali itu saya merasa benar-benar aman nonton di bioskop.

Ketika sedang nonton, terkadang terlintas satu pikiran kalau malam itu saya sedang beruntung. Duduk di samping saya, orang yang sudah lama ingin saya temui. Meskipun tak melihatnya, saya tahu Zi menangis di adegan ketika Mufasa tewas jatuh dari tebing (beberapa cewek lainnya di studio juga menangis) dan tertawa setiap kali ada adegan kocak Timon dan Pumbaa. Setidaknya ada dua adegan yang berhasil membuat Zi tertawa puas: ketika Timon dan Pumbaa menyelipkan curhatan mereka di lagu Can You Feel the Love Tonight? dan ketika Pumbaa tidak ngeh kalau dia akan dijadikan umpan untuk hyena-hyena agar Simba dan Nala bisa ke Scar.

Ketika akhirnya film selesai, saya lega bukan main. Dua ketakutan saya–takut nonton di biskop dan takut bertemu orang baru–tidak  saya rasakan di sisa malam itu. Saya antar Zi sampai depan untuk memesan gojek. Sambil menunggu, Zi cerita tentang hobinya berjalan kaki (“Asal masih kurang dari tiga [atau lima?] kilometer sih aku masih bisa.”). Saya yang awalnya mau pesan gojek, jadi memilih untuk jalan kaki ke kosan donk. Mumpung masih rame. Zi juga cerita tentang kebiasannya tidak memakai kacamata walaupun minusnya melebihi minus saya.

“Loh kan nanti jadi nggak keliatan jelas semuanya? Jadi nge-blur gitu nggak sih?” tanya saya, yang dia jawab, “Ya justru karena nggak ngeliat jelas gitu jadi nggak terlalu banyak yang diperhatikan.”

Oh.

Ketika akhirnya abang gojeknya datang, saya tahu itu adalah waktu untuk berpisah. Tanpa diduga, Zi memberikan satu rangkulan singkat. Bahagia saya lengkap, bahkan kalaupun kami tak sempat sempat foto bareng. Itu sudah cukup. Sudah lebih dari cukup. Saya lambaikan tangan padanya, yang dia balas dengan lambaian tangan pula.

Malam itu saya berjalan kaki pulang ke kosan. Menyusuri Mega Kuningan, saya lepas kacamata dan melihat semuanya dengan kabur dan menikmati sensasi baru ini. Sampai akhirnya saya lihat ke atas dan bulan sedang penuh-penuhnya. Saya kembali memakai kacamata lagi. Malam itu bulan terlihat benderang, dan kini saya bisa melihat lebih terang.