Monday 22 December 2014

Tentang Mencari Rumah

Saya sudah bekerja selama setahun ketika mulai mencari-cari referensi rumah di berbagai situs online. Belum, saya belum berminat untuk membelinya. Saya hanya suka melihat-lihat model, harga, dan lokasinya. Saat itu saya sudah tahu bahwa memiliki rumah adalah hal yang sudah harus mulai dipikirkan, namun cita-cita saya untuk menjelajah Inggris dan Irlandia lebih kuat. Oleh karenanya, saya menabung demi tiket ke Eropa, bukan untuk DP rumah.

Dari 'hunting' rumah secara online itu, saya belajar bahwa rumah di Jakarta sudah tidak masuk akal harganya. Kalau ingin rumah yang masih murah, pinggiran Jakarta bisa jadi alternatif. Kalau ingin dtinggal di pusat kota, apartemen bisa jadi pilihan. Soal harga, well, jangan tanyakan mahalnya. Saat itu, apartemen di Kuningan sudah menembus 500 juta.

Seiring waktu berlalu, saya sudah mulai 'lupa' dengan keinginan membeli rumah di Jakarta. Hingga akhirnya saya kuliah di Belanda dan tinggal di apartemen mahasiswa dekat kampus.

Apartemen saya di Bornsesteeg hanya terdiri dari satu kamar, dengan dapur dan toilet. Saya tinggal di lantai tertinggi, lantai 20. Tidak semua kamar di Bornsesteeg memiliki toilet pribadi. Beberapa mahasiswa mesti berbagi toilet dan kamar mandi. Di apartemen mahasiswa yang lainnya, seperti Asserpark atau Haarweg, malahan tidak disediakan dapur dalam kamar hingga mahasiswa mesti memasak di dapur bersama-sama.

Harga kamar saya lebih mahal karena toilet dan kamar mandi dalam itu. Tapi sungguh, itu sebanding dengan kenyamanan yang saya rasakan. Toilet di Belanda adalah toilet kering. Itu sangat menyusahkan bagi muslim untuk mensucikan diri dari hadas. Selain itu, toilet umum di tiap-tiap koridor apartemen adalah toilet campur. Tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Saya pernah mengalami itu saat masih tinggal di temporary housing di Maurits Ede selama dua minggu. Dan itu rasanya tidak menyenangkan.

Itulah sebabnya saya bahagia tinggal di Bornsesteeg. Saya bisa memasak semau saya, bisa berlama-lama mandi air hangat dan tak perlu mengantri giliran ke toilet. Dinding di kamar juga kedap suara sehingga saya tak terganggu suara dari tetangga sebelah kamar dan saya pun bebas menyetel TV atau lagu keras-keras.

Terbiasa tinggal nyaman di Bornsesteeg selama setahun membuat saya mudah protes ketika akhirnya kembali ke kosan di Jakarta. Saya tidak suka dengan kamar yang sempit, tidak sabar mengantri giliran mandi ataupun ke toilet, dan frustasi karena kamar yang berisik sementara saya tidak bisa menyetel musik keras-keras. Di kosan, saya juga tidak bisa memasak. Jaringan TV jelek dan saya kangen acara-acara TV yang sering saya tonton di Belanda :( Yang lebih menyebalkan, listrik sering padam terutama di pagi hari karena kebanyakan beban.

Belum sebulan kembali ke Indonesia, saya sudah ingin beli rumah. Setelah berhitung, rumah yang masuk budget ada di daerah Bogor, entah itu Bojonggede atau Citayam. Jauh memang, tapi ada KRL yang langsung ke Stasiun Tebet, dekat dengan kantor.

Tanggal 26 Oktober, saya ditemani saudara ke Bojonggede. Kami melihat-lihat rumah yang dekat dengan stasiun. Harga maksimal yang bisa saya tanggung adalah 250 juta. Itupun dengan estimasi KPR 20 tahun karena uang cash yang saya punya untuk DP tidak besar. Uh, ternyata sulit mencari rumah harga segitu di daerah dekat stasiun. Ada perumahan yang rapi dan berjarak satu kilometer dari stasiun, tapi harganya sudah 500 jutaan. Mendengar harganya saja saya sudah panas dingin.

Saat hendak pulang, kami mampir sebentar di sebuah perumahan yang hanya berjarak 400 meter dari stasiun. Dengan tipe 36/78, rumah tersebut dijual seharga 365 juta. Itu sudah di luar budget. Tapi saudara saya rupanya menganggap perumahan itu layak untuk diperjuangkan. Setelah nego, harga rumah bisa diturunkan menjadi 333 juta. Saya diberi waktu singkat untuk menentukan iya atau tidak.

Sebagai tambahan, saya mesti DP dalam jumlah besar supaya mendapat diskon. Setelah hitung-hitungan singkat dan sempat menelepon teman kantor, saya niat mengambil rumah itu. Sebagai booking fee, saya berikan uang 2 juta.

Setelah pulang ke kosan, saya menjadi tak yakin dengan keputusan saya. Seminggu kemudian, saya bolak-balik memikirkan ulang - sampai membuat analisis SWOT - dan berujung pada kesimpulan untuk tidak jadi mengambil rumah di Bojonggede.

Saya bisa membayar DP, tapi itu artinya saya menghabiskan seluruh investasi dan tabungan saya. Sangat riskan jika hidup tanpa dana cadangan. Terlebih, masih ada biaya KPR bank. Belum lagi saya ada rencana liburan ke Singapura dengan bapak-ibu di akhir tahun. Hitung-hitung, total saya minus 10 juta dan tanpa menyisakan tabungan. Saya ngeri membayangkannya.

Masalah lainnya, sebenarnya saya kurang suka dengan lokasi perumahannya. Di dalam perumahan sih rapi, model cluster. Tapi begitu keluar, jalanan macet dan bolong-bolong. Untuk pergi ke pusat kota, kita harus melewati rel kereta api. Itu paling saya hindari. Cicilan untuk rentang 20 tahun pun masih berat buat saya. Oh well, terlebih pemerintah yang sekarang memiliki semangat penghematan yang berpengaruh ke honor di kantor. Singkatnya, saya tidak mau menanggung beban selama itu untuk rumah yang, uh, sebenarnya mungkin belum terlalu saya butuhkan.

Saya batalkan pembelian rumah dan booking fee-pun hangus. Anehnya, saya justru merasa lebih lega. Seperti punya beban yang tiba-tiba terangkat dari pundak.

Beberapa minggu berikutnya, bersama seorang teman, saya ke Citayam untuk melihat rumah seharga 200 jutaan. Tapi begitu sampai stasiun, saya langsung ilfeel. Sama seperti di Bojonggede, jalanan depan Stasiun Citayam juga macet parah karena terhambat pasar. Dari itu saja, saya sudah tahu takkan mengambil rumah di sana. Rumah yang kami cari-cari juga tak kami temukan, yang ada justru perumahan seharga 300 jutaan.

Well, mungkin saya tak boleh terburu-buru.

Setelah Bogor, tujuan saya alihkan ke Tangerang. Memang agak repot naik KRL dari Tangerang ke kantor - saya mesti transit di Stasiun Tanah Abang - tapi sebenarnya saya lebih suka suasana Tangerang ketimbang Bogor. Saya memimpikan punya rumah di kota mandiri seperti BSD yang teratur; sayang harga di BSD juga sudah sangat mahal. Saat sedang mencari rumah secara online di daerah Barat Jakarta, saya menemukan promo Citra Maja Raya besutan Ciputra Group.

Jadi, Citra Maja Raya memiliki konsep kota mandiri yang terletak di Lebak, Banten. Ada KRL dari Tanah Abang dengan tujuan akhir Maja. Karena ini proyek yang masih sangat awal, harganya juga murah; dimulai dari 100 jutaan untuk tipe terkecil 22/60.

Awalnya saya tertarik, tapi kemudian urung karena melihat lokasi yang sangat jauh, 1.5 jam dari Maja ke Tanah Abang. Tapi, pernah dengar kalau rumah itu jodoh-jodohan? Saya merasakannya dengan Citra Maja Raya.

Tanggal 23 November, saya niat nonton HelloFest di Senayan. Darn, ternyata antriannya panjang di bawah terik matahari yang menyengat. Saat hendak ke HelloFest, saya melewati pameran propeti di JCC. Akhirnya, saya keluar dari antrian dan malahan menuju ke pameran properti.

Seperti yang saya perkirakan, harga rumah di pameran juga mahal-mahal. Saya melihat satu stand yang lumayan ramai dikunjungi, itu adalah stand Citra Maja Raya.

Saya tanya-tanya pada salah satu agen pemasarannya, Pak Hermawan, dan saya langsung tertarik membelinya. Ini adalah beberapa hal yang membuat saya berminat pada Citra Maja Raya:
1. Harganya masih murah. Rumah sederhana tipe 36/72, dihargai 165 jutaan. DP-nya ringan, saya tak perlu mengutak-atik dana darurat. Cicilannya pun bisa saya buat hanya untuk 10 tahun. Saya tak perlu berhutang untuk membayar DP dan biaya KPR, saya juga masih punya tabungan.

2. Sudah ada rencana dari pemerintah untuk memperluas Stasiun Maja. Saya yakin, ke depannya, transportasi umum akan mengambil alih kendaraan pribadi. Waktu 1.5 jam dari Maja ke Tanah Abang mungkin lebih masuk akal dibanding kemacetan berjam-jam naik mobil di pusat kota.
 
3. Pengembang berencana menyediakan kereta dari dari dalam perumahan ke Stasiun Maja. Konsep kota mandirinya pun saya suka, dengan hutan kota di dalamnya. 
 
4. Dikatakan, Lion Air akan membangun bandara di sana. Well, ini masih rancu apakah itu benar di Maja atau di kota lainnya di Banten. Tapi yang pasti, pembangunan bandara di Banten pasti akan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi kota-kota di Banten, termasuk Maja.

5. Selama dua minggu pameran, Nomor Urut Pendaftaran (NUP) sudah mencapai 7.000 lebih. Semakin banyak peminatnya, Citra Maja Raya akan semakin cepat berkembang. Saat saya mendaftar, NUP saya sudah di atas 7.700 dan dijadwalkan untuk memilih unit pada tanggal 5 Desember di Cikupa.

Sayangnya, serah terima rumah dijadwalkan 2.5 tahun pada pertengahan 2017. Itu memang masih sangat lama. Pengembang beralasan itu karena banyaknya rumah yang akan dibangun. Saya berharap selama 2.5 tahun itu, KRL sudah lebih bagus. Saya bayangkan ada KRL langsung dari Stasiun Maja ke Stasiun Tanah Abang. Saya juga memimpikan KRL dua tingkat yang memuat lebih banyak penumpang sekali jalan hingga tak perlu berdesak-desakan seperti sekarang.

Saya tahu Maja memang belum berkembang. Tapi saya yakin 10 tahun dari sekarang - kalau pengembang masih konsisten pada konsep kota mandiri - Maja akan lebih nyaman untuk ditinggali ketimbang dua tempat yang saya survey sebelumnya.

Anyway, pada saat pameran saya tidak membawa uang cash ataupun kartu debit. Saya mesti setor sejuta untuk mendapatkan NUP dan hari itu adalah hari terakhir sebelum launching bulan Desember. Saya mesti pulang ke kosan naik ojek, konsultasi pada bapak-ibu, dan langsung booking sore itu juga.

Tanggal 5 Desember, saya memberi kuasa pada Pak Hermawan untuk memilihkan unit untuk saya. Dia bilang cluster dengan harga lama sudah sold out. Kalaupun masih ada unit rumah, lokasinya tidak strategis. Akhirnya, saya memutuskan memilih di cluster baru dengan harga dinaikkan 5%. Unit saya nantinya akan ada di cluster Springwood. Mendengar namanya saja saya sudah senang.

Tanggal 9 Desember, saya melakukan pelunasan DP dan sehari setelahnya saya mulai apply KPR BII dengan bunga fix 13.75% selama sepuluh tahun.

Sampai saat ini, KPR saya masih dalam proses. Semoga saja tidak ada hambatan. Dan uh, rasanya tak sabar untuk melihat rumah saya selesai dibangun.