Saturday 15 October 2016

Menulis Ulang Jepang (1): This is How It Began



Bayangkan kau duduk dekat jendela pada sebuah pesawat dengan kursi-kursi sempit. Kau suka duduk dekat jendela, tapi tidak untuk perjalanan jauh selama tujuh jam naik pesawat. Karena itu artinya satu hal: akses ke toilet yang merepotkan. Di sebelahmu ada pasangan muda Jepang yang berbagi semuanya berdua, mulai dari snack hingga selimut. Dan kau berpura-pura tak mengacuhkannya.

Sudah menjelang tengah malam dan kau menyesali duduk di pinggir jendela karena yang kau lihat hanya gelap. Tapi kemudian awan-awan kelabu mulai terlihat seiring pengumuman dari pilot kalau pesawat akan segera mendarat. Hatimu terkesiap ketika kau melihat cahaya berkilauan di antara awan-awan itu, ratusan kaki di bawahmu. Perhatianmu kini kau curahkan pada apa yang ada di balik jendela. Awan kembali menutupi pendaran cahaya di bawah sana, namun itu tak lama. Kau menunggu dengan penuh harap hingga akhirnya awan tak lagi menjadi penghalang.

Kau pernah melihat cahaya kota-kota di malam hari lewat udara, tapi Tokyo malam itu adalah yang paling cemerlang. Berkali-kali kau mengatakan pada dirimu sendiri bahwa kau tidak sedang bias, bahwa cahaya Tokyo memang yang paling bersinar di antara semua tempat yang pernah kau kunjungi. Penumpang yang duduk di depanmu mulai memotret pemandangan di luar dan kau pun melakukan hal yang sama dengannya. Meskipun kau tahu, hasil potretnya tak akan seindah yang kau lihat saat itu.

Anak kecil yang duduk di belakangmu berceloteh dalam bahasa yang tak kau pahami. Seorang perempuan – mungkin ibunya – menimpalinya; ia mengatakan sesuatu namun yang kau tangkap hanya satu: Tokyo Skytree-san. Dan memang benar, Tokyo Skytree terlihat dominan di antara bangunan lainnya. Agak ke kiri dari ikon Tokyo tersebut, kau lihat Tokyo Tower pun mencoba menarik perhatianmu dengan kerlipnya.

Tiba-tiba kau merasa menjadi orang paling beruntung malam itu karena duduk dekat jendela.

***

Cerita di atas adalah yang saya rasakan saat AirAsia D7 522 membawa saya ke Tokyo dari Kuala Lumpur, 8 September yang lalu. Penat yang saya rasakan karena duduk selama tujuh jam (+dua jam CGK-KLIA2) hilang melihat Tokyo dari udara malam itu.

 Sampai di Haneda!

Sayangnya lelah itu cepat kembali datang ketika saya mulai mengantri di imigrasi. Bukan hanya lelah, saya juga ngantuk dan ingin cepat tidur. Malam sebelumnya, saya tidur tak lebih dari tiga jam.

Setelah melewati petugas imigrasi muda yang jutek dan tak sabaran, perasaan saya masih belum tenang. Saya masih harus mencari tempat untuk tidur di Bandara Haneda untuk satu malam itu. Saya bahkan tak menyetel Aitakatta dari iPod begitu sampai di Tokyo seperti yang saya bayangkan berbulan-bulan lalu saat saya memvisualisasikan perjalanan ini. Mood-nya belum pas. Yang saya inginkan hanya tidur.

Well, inilah tidak enaknya naik low cost carrier (LCC) atau pesawat berbudget rendah. Jadwalnya merepotkan karena pesawat tiba menjelang tengah malam. Kereta sudah berhenti beroperasi dan satu-satunya pilihan transportasi adalah taksi yang mahal. Dari review di berbagai blog, kebanyakan orang yang menggunakan AirAsia ke Tokyo memilih tidur di bandara. Tak punya banyak pilihan, saya ambil opsi itu.

Saya belum pernah tidur di bandara manapun – sampai saat itu. Jadi rasanya gelisah mencari tempat untuk tidur yang aman dan nyaman. Berdasarkan saran seseorang yang saya temukan di blog, saya naik ke observation deck karena katanya tempat itu lebih redup dan lebih enak untuk tidur karena tidak berisik seperti di lantai kedatangan.

Rupanya itu pula yang banyak dipikirkan orang lain; sudah seperti rahasia umum. Jadi begitu saya sampai di sana, kursi-kursi sudah penuh ditempati orang-orang. Tidak ada tempat yang tersisa untuk tidur.

Saya memutar arah menuju area kuliner bertema Edo. Ada banyak kursi panjang di situ dilapisi kain berwarna merah. Beberapa orang sudah mengambil posisi tidur. Saya menemukan satu kursi yang keliatan enak untuk beristirahat. Saya mencoba berbaring; kayu yang rata dan keras langsung terasa di punggung. Saya jadikan syal sebagai bantal. Ransel saya taruh di samping, sementara tas yang berisi paspor hingga uang saya peluk.

Saya mencoba memejamkan mata; dan gagal dalam hitungan menit.

Pantas saja kursi itu tidak ada yang menempati walaupun ukurannya cukup besar dibanding yang lain. Ternyata kursi itu persis di bawah AC yang konstan mengeluarkan hawa dingin. Dijamin masuk angin kalau tidur di sana semalaman.

Saya tidak ingin mengawali jalan-jalan di Tokyo dengan sakit. Terlebih saya ke sana sendirian; saya mesti lebih bisa jaga diri.

Akhirnya saya kembali ke lantai kedatangan, and guess what, kursi-kursi yang sebelumnya kosong kini sudah penuh juga. Saat itu saya mulai frustasi. Tidur di kasur terlihat seperti sebuah kemewahan, padahal di hari-hari sebelumnya saya anggap itu hal biasa. Saya berjanji pada diri sendiri untuk sebisa mungkin mencari jadwal flight yang lebih oke dan untuk tidak melewatkan semalaman di bandara lagi sendirian.

Di Haneda ada Royal Park Hotel yang menyatu dengan terminal kedatangan; tinggal selangkah jalan kaki. Saking sudah lelahnya, saya tak peduli kalau bahkan mesti mengeluarkan 10.000 yen semalam untuk tidur di sana. Saya cek booking.com untuk tahu rate malam itu, ternyata harganya ada di kisaran 20.000 yen atau lebih dari DUA JUTA per malam. Meskipun lelah, saya berpikir ulang juga kalau mesti menginap dengan harga semahal itu.

Akhirnya, saya menemukan satu kursi kosong di antara dua orang yang sedang berbaring tidur. Tempatnya ada di pojokan. Jadi praktis saya hanya duduk sambil mencoba tidur. Beruntung tiba-tiba ibu-ibu di samping saya dibangunkan oleh temannya dan mereka berpindah tempat. 

 Tidur di sini semalaman

Saya mengambil tiga kursi berjejer untuk berbaring. Kursinya sempit dan saya takut terjatuh. (Iya, dulu saya pernah dua kali jatuh dari kasur.) Malam itu ada perbaikan gedung dan sepanjang malam yang terdengar adalah alat berat. Berisik!

Saya bangun dengan badan pegal dan lelah yang tak berkurang. Suara alat berat masih terdengar. Saya lihat jam. Damn, masih pukul 3 pagi! Jadi saya baru tidur tiga jam! Malam itu saya mimpi random dengan banyak fragmen. Salah satunya adalah mimpi kalau penduduk Tokyo adalah kelinci yang bisa berjalan seperti manusia. Weird, I know.

 Pagi di bandara

Hampir tidur di kursi merah ini

Ada jembatan juga

Dengan susah payah saya tidur lagi dan lega ketika akhirnya kembali bangun, matahari sudah benar-benar muncul. Haneda mulai terlihat sibuk, namun lebih bersemangat. Perasaan saya jauh lebih baik dibanding malam sebelumnya. Antusiasme yang sempat hilang, mulai saya kumpulkan. Pagi itu saya mengawali hari dengan Aitakatta dari AKB48.

***

AKB48 memang alasan jalan-jalan saya ke Jepang di awal musim gugur tahun ini. Saking niatnya, saya sempat menuliskan rencana perjalanan melalui tulisan jalan-jalan virtual ke Jepang ini pada awal tahun. Itu sebenarnya adalah refleksi dari harapan-harapan dalam kondisi paling ideal.

Well, namun bahkan saat itu pun saya tahu, perubahan-perubahan rencana dalam rentang waktu beberapa bulan itu sangat dimungkinkan.

Perubahan rencana paling mendasar adalah mengenai jumlah kota yang ingin dikunjungi. Saya merencanakan akan mengunjungi Tokyo, Nagoya, Osaka, Kyoto dengan total waktu lima hari. Namun seiring itinerary yang dibuat, rencana itu terlihat tidak feasible. Terlalu memaksakan. Dan mahal pula .___.

Sebagai gambaran, saya dapat tiket promo pesawat ke Tokyo dengan harga 3,8 juta. Untuk membeli JR Pass, saya mesti mengeluarkan uang dengan jumlah yang sama, atau bahkan lebih karena yen yang terus menguat. Saya bisa sih menghemat dengan membeli tiket kereta biasa – bukan shinkansen. Tapi itu artinya waktu tempuh perjalanan yang lebih panjang. Hemat di uang tapi boros di waktu karena habis untuk perjalanan saja. Ada yang jauh lebih irit, yaitu menggunakan bus malam dari Tokyo ke Nagoya. Selain harganya paling murah, saya bisa memangkas pengeluaran untuk hotel. Dan karena malam hari, praktis tidak akan mengganggu jadwal jalan-jalan. Tapi, waktu tempuhnya paling lama (sekitar delapan jam), dan rasanya badan saya tak akan sanggup kalau bolak-balik dua kota itu dalam rentang waktu lima hari.

Untuk menghindari ribet yang tidak perlu, saya skip Nagoya, Kyoto, dan Osaka, dan hanya akan fokus di Tokyo.

Hingga kemudian, H-7 sebelum keberangkatan saya dengar kalau SKE48 akan mengadakan handshake festival di Nagoya pada tanggal 10-11 September 2016 untuk single ke-20 mereka: Kin no Ai, Gin no Ai. Saya masih berada di Jepang pada tanggal tersebut!

Bayangan handshake dengan Matsui Jurina terlihat keren dan tiba-tiba harga JR Pass yang mahal tak lagi relevan. Yang penting bisa bertemu Jurina! Seharian itu saya cari info tentang cara mengikuti handshake festival di Jepang. Saya sampai tanya ke teman-teman wota dan bahkan dikenalkan dengan seorang fan SKE48 dari Malaysia yang pernah handshake dan bahkan 2-shot dengan Jurina. Long story short, dari teman Malaysia itu saya jadi tahu kalau waktu saya sudah lewat untuk handshake. Untuk mendapatkan tiket handshake, saya mesti preorder CD paling lambat 1 September 2016 pukul 12 siang JST. Saya baru tahu infonya menjelang sore hari. Akhirnya saya kembali ke rencana untuk hanya mengeksplor Tokyo.

Di hari keberangkatan, tanggal 8 September 2016, saya meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta pukul 02.45 dini hari. Saya hanya membawa ransel dan tas tangan yang ringkas. Saya pastikan sudah membawa semua yang diperlukan, dari dokumen penting hingga obat-obatan. Karena jalan-jalan sendiri, saya harus lebih well-prepared. Terlebih saat itu kondisi kesehatan saya sedang drop. It was not the worst, but I was definitely not at my best. Tapi ya masa harus sampai dibatalkan.

Begitulah. Banyak perubahan yang terjadi di rentang waktu enam bulan. Ketika taksi yang saya tumpangi menyusuri jalanan Jakarta pagi itu, I realised that I was about to rewrite a story.

No comments:

Post a Comment