Saturday 15 October 2016

Menulis Ulang Jepang (3): Ramalan Omikuji, Papan Penuh Harapan, dan Gempa Tiba-tiba




Keesokan harinya, 9 September 2016, saya bangun lebih siang dari yang direncanakan. Kalau tidak ingat itinerary, mungkin saya memilih tiduran di kamar lebih lama lagi. Anyway, setelah sarapan roti, saya ke Stasiun Minami-senju. Tujuan pertama hari itu adalah Ueno karena masih penasaran dengan Chicken Man yang katanya enak. Sama seperti hari sebelumnya, saya belum juga bisa menemukan tempat dimaksud. Akhirnya saya malah makan kebab. Kebab di Jepang beda dengan yang ada di Belanda atau Jerman. Isi sayurannya kurang variatif; kebanyakan kubis. Well, mungkin saya pas dapat yang begitu. ^^’

 Malah nemu jaketnya Four Heavenly Queens-nya Majisuka

Makan kebab

Saat menuju kembali ke stasiun, saya melihat Tsutaya di seberang jalan. Seorang teman pernah bilang kalau itu adalah toko CD musik yang lumayan komplit koleksinya. Jepang memang keren. Industri musik mereka sangat hidup. Toko CD masih banyak di sana, bandingkan dengan di Indonesia yang sulit untuk mencari toko CD fisik original. Lantai pertama Tsutaya digunakan sebagai toko buku. Lagi-lagi banyak wajah familiar member 48Group dan 46Group yang saya kenali di sampul buku atau majalah.

 Tsutaya

 Oya, orang Jepang memang cinta banget dengan kucing rupanya. Ada satu rak khusus untuk photobook hewan peliharaan dan yang paling banyak adalah kucing. Saya sempat melihat satu dan senyum-senyum melihat pose kucingnya yang lucu-lucu >,<

Naik ke lantai 2 – tempat CD – saya langsung disambung poster single terbaru HKT48. Ada pula Love Trip dari AKB48 dan Kin no Ai, Gin no Ai dari SKE48 yang juga ditaruh di display. Sementara itu, CD dari Nogizaka46 dan Keyakizaka46 juga banyak tersedia. Saya ingin beli CD terbaru SKE48 tapi tidak ada yang cover-nya Jurina. Memang aneh sih, di Akihabara pun dari sekian banyak toko CD, tidak ada yang menjual CD dengan cover Jurina padahal mestinya ada.

Dari Tsutaya, saya langsung ke Harajuku. Kalau dulu saya sempat ke Harajuku di malam hari, sekarang saya ke sana di siang hari. Tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok seingat saya. Saya ke Takeshita Street yang ramai oleh pengunjung. Saya beli kaos di situ dan sempat ingin membeli sweater yang lucu tapi saya urungkan. Saya tidak ingin menambah berat ransel untuk pulang nanti. 

 Takeshita Street di Harajuku

Dari Harajuku, saya berjalan kaki ke Meiji Shrine. Saya cerita kan kalau saya sedang tidak dalam kondisi paling sehat saat jalan-jalan ke Jepang? Meski sudah minum suplemen penambah darah, kadang saya masih suka agak limbung. And it was scary karena saya jalan-jalan sendirian. Ini agak aneh sih, karena saya jarang sekali merasakan ini sebelumnya. Untuk menyiasatinya, saya jalan pelan-pelan dan beberapa kali berhenti. Saya juga selalu menyediakan minuman ion macam Pocari Sweat yang sangat membantu menjaga tetap segar.

Meiji Shrine itu dekat dengan Harajuku, tapi masuk ke dalamnya butuh waktu juga. Sama seperti di Toshogi Shrine, suara tonggeret juga tak putus-putus di Meiji Shrine. Bedanya, Meiji Shrine lebih hijau dan rimbun. Saya terus berjalan dan setiap ada spot yang oke, saya foto selfie sendirian. 

 Foto di depan gerbang masuk


 Jalan masuk ke shrine


Cuci tangan dulu sebelum masuk

Mendekati shrine, ada kios-kios yang menjual pernak-pernik souvenir. Yang menarik, pengunjung bisa menguji peruntungan dengan omikuji (puisi ramalan). Kita hanya perlu membayar 100 yen untuk satu ramalan. Ada dua versi bahasa: Inggris dan Jepang; saya pilih Inggris.

Jualan pernak-pernik di sekitaran shrine

Jadi ada kotak berisi lidi-lidi dengan nomor tertentu. Kita harus mengocoknya, kemudian mengeluarkan salah satu lidi tersebut. Semisal kita mendapat nomor 14, maka kita memberi tahu penjaganya untuk membawakan kita puisi dengan nomor 14. 

 Mencoba omikuji

Puisi ini yang saya dapatkan:
“Left neglected and unpolished
Even a bright gem
Will forever be as dull
As an earthen tile”
-       Empress Shoken

Ada keterangan maksudnya juga di bawah puisi tadi.

Jadi, puisi pendek tradisional Jepang yang menjadi puisi ramalan di Meiji Shrine itu ditulis oleh Kaisar Meiji atau Permaisuri Shoken. Dipercaya kalau puisi yang kita dapatkan menggambarkan arti atau saran dalam hidup kita. Kaisar Meiji atau Permaisuri Shoken terkenal dengan puisi-puisi pendek ciptaan mereka. Sepanjang hidupnya, Kaisar Meiji menulis 100.000 puisi dan permaisuri 30.000 puisi. Hebat yah!

Ini mereka sedang apa ya?

Di Meiji Shrine juga ada kumpulan ema (papan kayu) yang ditulisi harapan dan doa-doa. Karena sedang selow, saya membaca nyaris semua ema berbahasa Inggris yang tergantung di sana. Doa untuk kebahagiaan, kesehatan, dan kesuksesan menjadi harapan universal yang lintas negara maupun agama. Setidaknya ada delapan bahasa yang saya kenal: Jepang, Inggris, Belanda, Indonesia, Malaysia, Prancis, Spanyol, dan Korea. Mungkin ada juga bahasa lainnya yang terlewatkan. Saya ingin membeli ema juga tapi bingung dengan apa yang mau ditulis. Akhirnya saya malah tidak beli satu pun. Dari Meiji Shrine, saya mampir ke Tokyo Tower. Cuma lewat di depannya saja sih, tidak sampai masuk ke dalam.

 Papan berisi harapan

Pohon rimbun di Meiji Shrine
 

Pulangnya mampir ke Tokyo Tower

Pulang ke hotel – seperti sebelumnya, saya beli jajan dulu di kios dekat Juyoh. Untuk makan malam, saya juga beli beef curry di Yoshinoya untuk dibawa pulang. Guess what, di Yoshinoya saya juga menemukan poster AKB48 ditempel di dinding. They’re literally everywhere!

Sambil makan, saya nonton TV dan muncul HKT48 yang tampil live dengan single terbaru mereka. Entah ya, rasanya beda nonton mereka di YouTube dengan yang live begini hehe..

Tiba-tiba saya merasakan ruangan bergoyang. Awalnya saya pikir saya berhalusinasi, tapi setelah melihat baju di gantungan bergerak ke kiri dan ke kanan, itu artinya satu hal: gempa. Dari Twitter, saya tahu kalau Tokyo mengalami gempa 5,2 skala Richter dengan kedalaman 50 km. Tidak ada ancaman tsunami. Saya tahu Jepang adalah negara yang rawan gempa, tapi mengalaminya secara langsung tetap saya membuat khawatir. Saya tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Saat itu saya sudah memakai yukata dan siap-siap untuk tidur. Saya memikirkan opsi turun ke lantai paling bawah, tapi tidak ada warning apapun dari hotel. Ketika saya buka jendela, saya lihat orang di bawah sana jalan dengan santai seperti tidak terjadi apapun.

Alhamdulillah tidak ada gempa susulan. Karena capek jalan seharian, malam itu saya tidur pulas dan tidak mengkhawatirkan gempa yang baru saja terjadi.

Cerita bersambung ke sini.

No comments:

Post a Comment