Saturday 15 October 2016

Menulis Ulang Jepang (5): Kembali ke Jaman Edo




Di hari keempat, Minggu 11 September 2016, saya hanya punya dua agenda: mengunjungi Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum dan Tokyo Skytree Tower. Saya selalu suka dengan open museum karena suasananya yang diciptakan seperti masa lalu, termasuk dengan orang-orang (selain pengunjung) di dalamnya juga yang biasanya sukarelawan. Para sukarelawan ini seringnya memakai kostum seperti jaman dulu dan melakukan pekerjaan-pekerjaan pada masa itu. Sebelum museum di Tokyo ini saya pernah mengunjungi open museum di dua kota: di Arnhem, Belanda dan Oslo, Norwegia.

Jarak tempuh dari Minami-senju ke Higashi-kogaeni – stasiun yang paling dekat dengan museum – sekitar satu jam. Kereta yang awalnya penuh berangsur-angsur sepi karena menjauhi pusat kota. Meskipun hari Minggu, saya melihat beberapa orang memakai baju kantoran berjas ataupun dipadu blazer.

Setelah sempat ketiduran karena AC yang dingin dan perjalanan yang panjang, akhirnya saya sampai juga di Stasiun Higashi-kogaeni. Karena belum sarapan, begitu keluar dari stasiun saya langsung cari makan. Ada beberapa kedai kecil, tapi saya tertarik dengan grilled beef yang kelihatannya enak. Sebelum saya masuk, ada bapak-bapak yang masuk lebih dulu. Saya mengekor di belakang.


Enak!

Alih-alih langsung duduk, si bapak tadi langsung menuju semacam mesin mirip ATM yang ada persis setelah pintu masuk, di sebelah kiri. Rupanya dia memilih menu dan membayar langsung dari situ. Saya sudah pernah dengar konsep kedai seperti ini sebelumnya, tapi mencobanya sendiri tetap seru.

Setelah memilih makanan dan membayarnya, saya duduk di meja untuk dua orang. Di seberang saya, ada kakek-kakek yang minum sake sendirian, makanannya tidak tersentuh bahkan sampai saya selesai makan. Mungkin dia sedang sedih…

Grilled beef yang saya pilih rasanya enak. Bumbunya minimalis, tapi kuat di rasa. Didukung nasi jepang, makan siang saya hari itu memuaskan!

Selesai makan, saya langsung ke terminal bis di depan stasiun untuk mencari bis tujuan museum. Dan saat itu, saya bingung. Tidak ada petunjuk apapun, apalagi yang memakai Bahasa Inggris. Tidak ada yang terlihat bisa ditanyai. Akhirnya saya ke kantor polisi untuk menanyakan arah. Seorang polisi muda dengan Bahasa Inggris terpatah-patah menyarankan saya untuk naik bis warna pink.

Kebetulan bis pink masih ada di halte dan siap-siap berangkat. Saya mengejarnya dan hanya dengan 100 yen, saya langsung diantarkan ke museum.

Well, mestinya sih begitu.

Kenyataannya, bis terus berputar-putar sampai saya curiga kalau museum sudah lewat. Saya pikir, bis itu punya rute khusus ke museum. Ketika di satu tempat orang ramai turun, saya ikut turun. Apalagi ada taman di sebelah kanan; mungkin itu pintu masuk ke museum.

 Salah masuk taman

Ternyata itu semacam hutan kota. Saya foto-foto sebentar terus kembali ke halte untuk menunggu bis pink yang lain lewat. Oiya, halte di sini bukan bangunan permanen, tapi cuma ditandai dengan papan bertuliskan kanji. Orang-orang menunggu sambil berdiri. Tapi di halte yang dekat taman tadi ada tiga kursi diletakkan berderet. Pun demikian, tidak ada yang mendudukinya.

 'Halte' sederhana

Suasana di area Tokyo pinggiran ini beda dengan pusat kotanya. Lebih sepi dan nyaris tidak ada informasi dalam Bahasa Inggris. Ini sangat menyulitkan bagi turis asing yang tidak bisa berbahasa dan membaca tulisan Jepang.

Saya naik bis lagi dan alih-alih kembali ke Stasiun Higashi-kogaeni, bis membawa kami ke Stasiun Musashi-Kogaeni. Dari peta, saya tahu kalau stasiun ini beda satu stasiun dari yang sebelumnya. Di depan ke Stasiun Musashi-Kogaeni juga ada terminal bis. Enaknya, langsung ada informasi bis nomor berapa yang tujuannya ke Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum. Saya naik bis dimaksud dan akhirnya dengan selamat sampai museum T_T Total saya menghabiskan waktu hampir satu jam sendiri untuk muter-muter naik bis.

Jalan masuk dari gerbang depan ke museum lumayan jauh juga. Ada banyak keluarga yang memanfaatkan taman di sana untuk bersantai atau berolah raga. Saya langsung ke museum, membayar tiket masuk ke dalamnya setelah dibekali dengan peta museum.

 Museum menyatu dengan taman kota

Karena konsepnya arsitektur dari sekitar jaman Edo, bangunan di sana punya gaya yang khas dan menarik. Ada yang terlihat kuno-antik, namun ada pula yang terpengaruh budaya Barat. Ada yang bisa dimasuki, ada yang tidak. Ketika bisa masuk ke sebuah bangunan pun, tidak semua ruangan di dalamnya bisa dimasuki. Kita harus memperhatikan papan informasi agar tidak melanggar.



Di salah satu bangunan, ada dua kakek sedang merebus air untuk membuat teh. Mereka adalah relawan museum ini. Mereka menyapa saya memakai Bahasa Inggris dan mengajak saya minum teh bareng. Kami ngobrol mulai dari cuaca sampai pekerjaan mereka sebagai relawan. Salah satunya bahkan mempraktekan cara merebus air dengan cara tradisional dan meminta saya mencobanya. Saya juga diberi souvenir kecil seperti wadah dari anyaman.

 Dua kakek baik ini sukarelawan museum

Di bangunan yang lain, saya melihat seorang perempuan sedang memainkan wayang boneka di depan anak-anak. Di tempat lainnya lagi, ada orang yang membuat payung kertas. Saya menjelajahinya satu per satu, sesekali duduk sambil minum Pocari Sweat.

 Kalau kakek yang ini membuat payung dari kertas



Jualan orang jaman Edo

 Nenek-nenek sukarelawan yang sengaja memakai kimono

Museum ini sebetulnya bagus dan patut dikunjungi, tapi mood saya saat ke sana sedang kurang oke. Mungkin karena sebelumnya saya nyasar-nyasar naik bis. Sudah capek duluan. Selain itu, banyak spot yang menarik untuk foto-foto tapi karena datang sendiri, jadi banyak yang terlewatkan. >,<

Saat berjalan di taman, saya melihat seseorang yang mirip dengan Kashiwagi Yuki. Gaya dia mengikat rambutnya pun sama. Ketika saya berjalan melewatinya, saya lihat dia sedang menangkap Pokemon di taman. Selain Yukirin, dua kali saya melihat seseorang yang mirip member AKB48. Yang pertama adalah Shimada (bukan Shimazaki) Haruka saat saya naik kereta ke Shibuya dan yang kedua adalah Miyawaki Sakura saat saya menunggu di Stasiun Akihabara. I know it was only my imagination.

Dari Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum, niatnya saya mau ke Tokyo Skytree Tower. Tapi karena lelah, saya malah ke Asakusa yang searah.

Saya pernah ke kuil Asakusa sebelumnya, tapi itu di malam hari. Datang ke sana di saat hari masih terang punya kesan yang berbeda. Jalanan menuju kuil lebih ramai, dan sesak oleh pengunjung. Souvenir yang dijual di sana rata-rata harganya sama, tapi saya menemukan satu yang paling murah di antara lainnya. Saya sekalian beli oleh-oleh di situ. Kalau saya perhatikan, toko yang paling ramai memang toko souvenir murah-meriah receh yang menjual macam gantungan kunci, magnet, dan lainnya. Kedai jajanan juga laris. Toko-toko yang sepi biasanya yang menjual cinderamata khas Jepang dengan kualitas bagus yang harganya belasan hingga puluhan ribu yen. Malah saya sempat melihat toko yang saking sepinya, penjaganya yang nenek-nenek sampai ketiduran. Padahal suasana di sepanjang jalan di depannya penuh orang lalu-lalang.


Asakusa sore hari

Menjauhi jalan utama, saya berbelok masuk ke jalanan yang lebih sepi. Ada satu kedai di pojokan yang dipenuhi orang-orang yang mengantri. Ternyata yang dijual adalah melonpan. Tanpa pikir panjang, saya langsung ikut mengantri.

 Melonpan kesukaan oshi


 Tokyo Skytree Tower terlihat dari Asakusa

Melonpan adalah roti kesukaan Matsui Rena. She was my oshi in SKE48 before she announced her graduation from the group last year. Di Jakarta juga ada melonpan – saya mencicipinya beberapa kali di Pan Ya, demi – tapi mencobanya langsung di Jepang jadi lebih seru. Kedai melonpan di Asakusa tadi menawarkan berbagai variasi melopan: mulai dari yang polos sampai yang diisi es krim. Saya pilih yang terakhir itu.

Ukuran melonpannya terbilang lumayan besar; bikin kenyang. Selain lebih besar dari yang biasa saya makan di Pan Ya, rasanya juga lebih manis bahkan tanpa es krim sekalipun. Melonpan di Pan Ya rasanya lebih plain. Yang paling saya suka, tekstur luarnya itu krispi. Es krimnya juga enak; meleleh-leleh sampai ke tangan. Melonpan ini pasti lebih enak kalau porsinya dikurangi sedikit. Eh, itu sih menurut saya ya…

Di jalan pulang ke hotel, saya melihat ada warung kecil dengan menu ayam karaage atau ayam goreng khas Jepang, biasanya dengan dibalur tepung. Saya memang sudah kenyang makan melonpan, tapi malam masih panjang dan saya malas kalau tiba-tiba lapar tengah malam. Akhirnya saya pesan ayam goreng untuk dibawa ke hotel. Ketika saya mengatakan ingin memesan “chicken karaage”, penjualnya yang bapak-bapak tidak tahu artinya “chicken”. Tetiba saya teringat dari Majisuka Gakuen kalau Bahasa Jepangnya ayam adalah “tori. Baru setelah saya bilang “tori karaage”, si penjual mulai ngeh. 

Beli ayam karaage di sini

Sebelum tidur, saya packing dengan  mellow karena waktu terasa cepat di sana. Saya masih ingin ke Akihabara lagi. T_T

No comments:

Post a Comment