Sunday 19 February 2017

[Sekilas 2016] Jessica-Mirna, Trump-Hillary, dan Lainnya

Banyak kejadian nasional dan internasional yang memorable di tahun 2016. Di awal tahun, kasus kematian Mirna yang diduga diakibatkan karena racun kopi sianida menjadi headline di hampir semua media massa. Kasus ini kemudian menyeret Jessica Wongso, teman Mirna yang memesankan kopi untuknya. Banyak hal yang janggal di kasus ini. Meskipun Jessica dianggap mempunyai motif dan peluang untuk membunuh, namun tidak ada satupun yang dapat membuktikan kalau dia benar menaruh racun di kopi Mirna. Sidang Jessica dalam kasus Mirna disiarkan langsung di beberapa stasiun TV berita dan selalu menyedot perhatian masyarakat. Endingnya, Jessica dituntut hukuman penjara selama 20 tahun namun dia akan mengajukan banding. Kasus ini masih panjang belum jelas ujungnya.

Kasus hukum juga menjerat Ahok karena kata-kata yang dia lontarkan saat kunjungan ke Pulau Seribu dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pernyataannya dianggap sebagai sebuah penistaan agama, ditambah hiruk-pikuk pilkada DKI Jakarta, jadilah kasus ini melebar dan menjadi perhatian nasional. Ini juga yang mengakibatkan demo besar-besaran, diawali dengan aksi 411 (4 November) dan aksi 212 (2 Desember). Jutaan orang turun ke jalan, mendesak pemerintah memproses kasus hukum Ahok dan mengusutnya hingga tuntas.

Saya sempat khawatir Jakarta akan rusuh, kejadian Mei 1998 terulang, dan itu sungguh ngeri. Alhamdulillah Jakarta relatif aman. Aksi berlangsung damai, yang sayangnya sempai ternodai dengan penjarahan di daerah Jakarta Utara dan percikan konflik antara massa dan aparat saat demo 411. Aksi 212 berganti konsep dari long march ke doa bersama. Di tengah guyuran hujan deras, massa memenuhi Monas hingga melebar ke jalanan sekitarnya. Presiden Jokowi yang tak nampak saat aksi 411 secara mengejutkan hadir saat aksi 212; berjalan kaki dengan membawa payungnya sendiri. He definitely stole someone’s thunder.

Pilkada DKI Jakarta digelar pada Februari 2017, namun gaungnya sudah ada sejak pencalonan calon gubernur dan calon wakil gubernur di pertengahan 2016, atau bahkan jauh sebelumnya. Ada tiga calon yang melaju ke kompetisi: Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Saeful Hidayat, dan Anies Baswedan – Sandiana Uno. Perang viral antara ketiga pendukung calon sudah sengit sejak saat itu. Dan war game masih terus berlangsung hingga sang pemenang terpilih di 2017 nanti.

Dari politik nasional yang memanas, mari kita beralih ke sektor olahraga. Piala AFF 2016 menumbuhkan harapan baru akan Timnas Indonesia. Meskipun tampil dengan skuad yang tak maksimal karena masalah internal dan sempat hampir tersingkir sejak awal, Timnas ternyata mampu membalikkan keadaan dimulai saat unggul 2-1 lawan Singapura. Timnas melaju ke semifinal menghadapi Vietnam yang sebelumnya menyingkirkan Tuan Rumah Myanmar. Pertandingan leg pertama Indonesia vs Vietnam berlangsung di Stadion Pakansari Cibinong karena Stadion Gelora Bung Karno tengah dipersiapkan untuk Asian Games 2018. Indonesia unggul dengan mudah 2-1 di kandang tapi saat bertandang ke Vietnam, tim lawan luar biasa tangguh. Pertandingan Indonesia vs Vietnam di leg kedua untuk mendapatkan tiket ke final sangat seru, penuh drama hingga menit-menit terakhir. Harus saya akui daya juang Tim Vietnam layak membuat mereka memenangkan pertandingan, namun pertahanan Indonesia juga rapi dan berganti menyerang menjelang akhir pertandingan. Indonesia akhirnya memastikan melaju ke final dengan skor agregat 4-3.

Di final, Timnas berhadapan dengan Thailand. Leg pertama di kandang dimenangkan dengan relatif mudah, meskipun cedera Andik Firmansyah di laga tersebut membuat Timnas kehilangan striker terbaiknya untuk pertandingan di leg berikutnya. Indonesia menang 2-1 dan masyarakat gegap-gempita merayakannya seolah kita sudah juara. Di leg kedua di Rajamangala Stadium Thailand, tim dari Thailand tampil dengan kekuatan penuh setelah Siroch Chatthong kembali ke lapangan setelah di leg pertama absen. Pemain ini juga yang melesakkan gol dua kali ke jaring Timnas. Endingnya, Indonesia kalah agregat 3-2. Sedih karena Indonesia gagal juara, lagi.

Di dunia internasional, setidaknya ada dua berita yang happening  di 2016. Kemenangan pendukung Brexit menandai keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa. Sentimen antiimigran sempat muncul dan viral di media sosial. Beralih ke Amerika Serikat, 2016 menjadi pertarungan Hillary Clinton dan Donald Trump untuk menjadi orang nomor satu di negara itu. Masing-masing (pendukung) calon saling serang dan bahasan tentang Hillary dan Trump tak pernah habis diberitakan media.

Hillary tersandung kasus penyalahgunaan email pribadi saat menjabat Menteri Luar Negeri namun Trump tak kalah banyak skandalnya. Trump dianggap rasis dan bocoran rekamannya menjelang pemilu disebut cabul karena merendahkan perempuan. Ide Trump untuk membangun dinding pembatas antara Amerika Serikat dan Meksiko dianggap konyol dan tak masuk akal.

Di dunia viral, Hillary menang. Namun ternyata banyak silent majority yang tak sependapat dengan apa yang ada di media sosial. Trump yang awalnya tak dipercaya bakalan menang, ternyata membalikkan keadaan. Dia dengan jargon Make America Great Again (MAGA) berhasil menarik banyak orang untuk memilihnya. Dunia tersentak dan imbas ke depannya, perdamaian dunia bisa menjadi taruhannya.

Brexit dan terpilihnya Trump seperti tak berkaitan, tetapi dua hal itu mengerucut pada upaya ‘menutup diri’ dari imigran. Sama seperti kejadian di Inggris Raya, di Amerika Serikat pun kejadian rasisme muncul di sana-sini saat Trump memenangkan pemilu. Para pendatang menjadi orang yang paling riskan terkena dampaknya, terlebih lagi pendatang muslim.

Melihat arah dunia ke depannya, terus terang saya khawatir. ISIS di Timur Tengah mulai meluas dan menyatakan bertanggung jawab atas beberapa serangan di Eropa. Gemanya semakin kentara muncul di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Paham ekstrimisme berkembang. Sementara negara paling berpengaruh di dunia dipimpin oleh seorang Trump yang kata-katanya dipenuhi amarah dan kebencian. Rasa aman menjadi semakin mahal harganya. Perang Dunia Ketiga rasanya bisa terjadi sewaktu-waktu. Saya berharap ini cuma perasaan parno saya saja yang bicara. Semoga manusia bisa belajar dari sejarah bahwa perang hanya akan menambah luka peradaban manusia.

No comments:

Post a Comment