April yang lalu – tepatnya tanggal
4 – adalah ulang tahun pertama blog ini. Saya sengaja tidak menulis satu
postingan-pun, sebagai bentuk kontemplasi.
*hening*
Bohong dink, terutama di
bagian kontemplasinya.
#iLied Meme
Jadi, bulan kemarin itu saya
sedang sibuk-sibuknya di kantor. Ada banyak acara, ada banyak yang harus
dikerjakan. Jangankan menulis di blog, baca buku saja jarang. Nonton film,
apalagi. Buku TOEFL iBT terbitan Kaplan setebal 402 halaman nyaris tak
tersentuh, padahal saya punya target menyelesaikannya sampai akhir Mei. Saya
mentok di halaman 50 sampai detik saya menulis ini. Akhir pekan juga habis
untuk mengerjakan pekerjaan kantor. Intinya, saya sedang sibuk.
Saya punya banyak cerita
untuk dijadikan tulisan. Tapi karena sudah lewat dari sebulan – cerita pertama
bahkan ada di akhir Maret –, saya putuskan untuk merangkumnya untuk dijadikan
satu postingan. Ini beberapa di antaranya:
Serbuan Kantuk
Senin petang. 26 Maret 2012.
Saya pergi ke sebuah hotel di kawasan Thamrin, menemui seorang teman di sana,
sebelum esok harinya dia bertolak ke Amerika. Saya bawa dua kotak Four Fingers,
satu untuknya, dan satu lagi untuk seorang teman yang tak lama datang menyusul.
Kami berencana menghabiskan malam dengan makan dan nonton bareng, tipikal hang out a la kami.
Hujan yang turun deras
hingga malam turun membuat kami agak menunda waktu, sebelum akhirnya ke Grand
Indonesia naik taksi. Puas memutari Grand Indonesia dan Plaza Indonesia, kami
ke EX untuk membeli tiket bioskop. The Raid jadi film pilihan kami, lebih
karena banyaknya review yang menyanjung-nyanjung film itu. Film laga bukan tipe
film saya, sebenarnya. Tapi tak apalah untuk kali ini saja. Dan untuk kali itu
juga, alih-alih membeli tiket XXI, kami membeli tiket The Premiere untuk jadwal
jam 21.55. Sembari menunggu, kami makan sambil mengobrol ini-itu.
Menjelang pukul sepuluh
malam, kami sudah duduk di kursi bioskop sesuai nomor yang tertera pada tiket. Beberapa
orang sudah ada di dalam, kebanyakan sih couple
*iri*. Ini kali pertama saya nonton di The Premiere, setelah sebelumnya
hanya tahu teater film ini dari iklan. Lirik kiri-kanan, saya perhatikan
bagaimana cara membuat kursi jadi memanjang seperti tempat tidur. Selimut saya
ambil dari laci meja di sebelah kiri kursi. AC yang dingin membuat saya
menyelimuti tubuh mulai dari dada hingga ujung kaki. Tempat seperti ini sih
cocoknya dikunjungi bareng pacar sambil nonton film romantis. Eh..
Film The Raid (yang
di-Indonesia-kan sebagai Serbuan Maut) bukan film romantis, tentu saja. Di
menit-menit awal, saya sudah menutup mata saking adegannya yang sadis. Duh!
Saya akui The Raid adalah film yang dahsyat. Dentuman, bising peluru, cabikan,
suara pukulan, tendangan, terdengar detail dan realistis. Kalau ada yang
kurang, mungkin dialognya yang kurang kuat. Tapi siapa mau peduli jika sudah
terpesona dengan gaya tarung Iko Uwais?
Betapapun serunya
perkelahian dalam layar besar di depan, kombinasi AC yang sejuk, selimut yang
hangat, dan waktu yang merambat mendekati tengah malam, membuat mata saya tak
kuat menahan kantuk. Berkali-kali terjaga, berkali-kali pula kalah dengan
godaan untuk sejenak keluar dari semua tokoh dan adegan dalam layar. Puncaknya,
saya sukses terlelap justru di adegan klimaks ketika Rama bertarung dengan Mad
Dog.
-_______-
Saya terbangun ketika closing credit mulai muncul. Saya bahkan
mesti bertanya pada teman tentang bagaimana Rama bisa mengalahkan lawan
utamanya itu. Saran saya, kalau ingin menonton di The Premiere, jangan di
jam-jam menjelang tengah malam. Mengantuk itu pasti, tertidur itu akibat.
Kuis Tebak Halaman Donal Bebek
Februari. Nuansa pusat-pusat
perbelanjaan masih didominasi merah muda. Pun dengan salah satu toko buku
langganan saya. Tak seperti biasanya, saya melangkah menuju rak tempat majalah
edisi terbaru dijejer. Pandangan saya langsung tertuju pada majalah Donal Bebek
edisi Valentine. Di sudut kiri atas majalah itu, ada gambar teropong bintang
sebagai hadiah kuis Tebak Halaman. Saya langsung teringat dengan Nanda, adik lelaki
saya. Sudah lama dia ingin teropong bintang, dan saya menjanjikannya teropong
itu kalau dia bisa lulus SMP dengan nilai bagus. Saya beli majalah Donal Bebek
untuk mengikuti kuis itu. Target utama saya teropong bintang, tentu saja. Kalau
menang, sudah saya niatkan untuk Nanda.
Saya baca petunjuk dalam
kuis, dan terpikir untuk membuat postcard
sendiri agar terlihat berbeda. Saya buat dua postcard, satu untuk kuis Tebak Halaman, dan satunya lagi untuk Kuis
The Muppets. Setelah mengirim lewat pos, saya tinggal menunggu pengumumannya di
awal April.
Terlepas dari niat saya
membeli majalah untuk mengikuti kuis, Donal Bebek pernah dekat dengan masa
kecil saya, selain Bobo. Saya bahkan punya satu bendel kumpulan majalahnya.
Membaca majalah ini, seperti menyelam ke masa lalu. Dialog dan font-nya yang khas nyaris tak berubah.
Karakternya juga sama seperti yang saya kenal bertahun-tahun lalu.
Senin pagi, 9 April 2012.
Sebelum ke bandara untuk urusan pekerjaan, saya sempatkan ke kios untuk membeli
edisi terbaru majalah Donal Bebek. Hari itu pengumuman pemenang kuis. Begitu
duduk di kursi Damri, saya langsung sobek plastik pembungkusnya. Saya buka
halaman demi halaman, dan mendapati nama seorang lelaki memenangkan hadiah
teropong bintang.
Hati saya hampir jatuh,
ketika saya lihat nama saya terpampang di ujung kanan halaman. I win a tablet PC, Baby! YAY! Iya,
alih-alih teropong bintang, saya memenangkan sebuah tablet PC.
Senin berikutnya, sebuah
paket sampai di meja kerja saya. Dari majalah Donal Bebek. Akhir pekan itu,
saya pulang ke rumah. Sesuai dengan niat awal, hadiah kuis itu saya berikan
untuk Nanda.
Jakarta Opera Gala Concert
Saya beruntung punya teman
yang update soal konser musik di
Jakarta. Adalah Mbak Tami – yang lagi-lagi – memberi info soal Jakarta Opera
Gala Concert yang diadakan pada 15 April 2012, di Bali Room, Hotel Indonesia
Kempinski. Bersama dua orang teman yang lain, kami berempat sudah booking tiket jauh-jauh hari sebelumnya.
Kami beli tiket paling murah, demi bisa menabung untuk menonton konser-konser
lain serupa.
Minggu malam itu, kami
bertemu di lobi depan Bali Room. Dengan mengantongi tiket paling murah, kami
duduk di kursi paling belakang. Tak terlalu jadi masalah sih, karena banyak kursi
kosong di tengah sehingga pandangan kami tak terhalang. Seorang teman terlambat
akibat terjebak macet, hingga mesti masuk di sela-sela pergantian lagu.
Saya beberapa kali menonton
konser musik klasik, tapi ini pertama kalinya saya menonton opera. Sebelum
adegan dimulai, ada narasi yang dibacakan sehingga penonton tahu maksud
lagunya. Sayangnya, suara yang terdengar seperti teredam. Tidak sejernih
konser-konser klasik lain yang saya tonton. Kalau kata Mbak Tami, itu karena
gedungnya bukan gedung akustik. Beda seperti Aula Simfonia tempat kami
sebelumnya menonton konser.
Para penyanyi yang berakting
di depan memakai baju-baju gaya masa lampau; zaman para pria memakai wig
bergelung warna putih. Perhatian saya baru sepenuhnya tercuri ketika Via Resti Servita dimainkan. Meski tak
paham sama sekali dengan bahasanya, saya bisa menikmati lagu itu lewat gerak
tubuh penyanyinya. Selain lagu itu, The
Telephone di sesi kedua juga sama berkesannya. Di antara semua penyanyi,
yang paling menyedot perhatian adalah Suzanne Shakespeare; soprano solois di
Sydney Opera House. Suaranya yang jernih melengking tinggi selalu diberi
apresiasi tinggi oleh penonton.
Konser di bawah arahan Avip
Priatna ini juga menghadirkan Jakarta Concert Orchestra, Batavia Madrigal
Singers, Farman Purnama (tenor), Rainier Revireino (bariton), BMS Solis
Ensemble, The Resonanz Children Choir, serta penyanyi lainnya.
First in English First
Saya punya target pribadi
seputar belajar Bahasa Inggris. Buku latihan soal, sudah dibeli. Kamus bergambar
terbitan Oxford untuk memperkaya kosakata, juga sudah ada. Tapi rasanya kurang
sah kalau tidak ikut les untuk melatih berbicara. Kebetulan di dekat kosan,
baru dibuka EnglishFirst (EF). Waktu tempuh yang cuma 20 menit berjalan kaki
dari kosan membuat saya tertarik untuk belajar di sana. Apalagi sebagian besar
pengajarnya adalah native speaker. Setelah
beberapa kali tanya-tanya mulai dari harga, jadwal hingga ikut placement test, akhirnya saya memulai
les hari pertama pada Senin tanggal 16 April 2012.
Dalam seminggu, ada tiga
jadwal dengan jeda satu hari. Dimulai jam 7 malam, kelas berakhir setelah 80
menit. Satu kelas ada enam orang. Rata-rata sudah bekerja, kecuali satu yang
masih sekolah.
Kami sedang duduk-duduk di
depan kelas, ketika seorang perempuan muda berambut pirang menyapa. Dari textbook yang dia bawa, tahulah kami
bahwa dia adalah pengajar di kelas ini. Di menit-menit pertama dia
memperkenalkan diri, banyak kata yang hilang sebelum masuk ke telinga saya.
Bicaranya cepat, aksennya tak bisa saya baca.
Yang saya tahu dari
perkenalan singkat itu, nama pengajar kami adalah Miss L. Dia berasal dari
Inggris, di sebuah kota dekat Newcastle. Baru beberapa minggu dia di Indonesia,
setelah sebelumnya – kalau tidak salah ingat – dia mengajar di Sri Lanka dan
Malaysia.
Di pertemuan pertama itu,
kami membahas tentang The Spice of Life.
Kami saling bertanya tentang makanan favorit, dan juga membahas makanan khas
dari sebuah negara berikut perbandingannya dengan negara lain. Ini tema yang
agak sulit buat saya, mengingat saya terlalu cinta masakan Indonesia. Tanyakan
rasa sushi, misalnya, saya tak bisa menjawab. Mencicipinya saja tak pernah -_______-
Di pertemuan-pertemuan selanjutnya,
telinga saya sudah lebih akrab dengan aksen si pengajar. Setelah beberapa pertemuan,
saya bisa membedakan aksen dia yang ‘utara’, dengan aksen Inggris yang
‘selatan’. Saya juga mulai bisa menangkap aksen yang khas ‘Ratu Inggris’. Sepanjang yang saya tahu,
sebagian besar pengajar di EF tempat saya belajar berasal dari UK. Seorang pengajar dari daerah selatan Inggris punya aksen
yang jauh lebih susah dipahami ketimbang aksen yang biasa saya dengar dari
Miss L. Temponya lebih cepat, dan antara satu kata dengan yang lainnya
hampir-hampir tak berjeda. Dari pertemuan-pertemuan itu juga, saya jadi tahu
beda American English dengan British English. Mulai dari istilah sampai
pelafalannya.
Saya paling suka dengan games sebelum atau sesudah pertemuan.
Itu membuat kelas jadi lebih hidup. Yang paling terasa dari les ini adalah
bertambahnya kosakata yang saya ingat di setiap pertemuan. Dan yang paling
penting, berinteraksi langsung dengan native
speaker memang beda. Saya jadi lebih terbiasa dengan aksennya. Minimal,
melatih listening saya.
Well, itulah empat
cerita yang sudah ingin saya bagi dari bulan kemarin. Bulan Mei ini membuat
saya bersemangat karena libur panjang di tengah bulan. Can’t wait for long holiday!