Monday 26 September 2011

Di Ujung Bangsal Itu, September Kemarin

Pada sebuah bangsal di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM), Jakarta. Awal September 2010. Saya berbaring dengan kepala ditelengkan ke kanan. Beberapa orang berbaju putih berdiri mengelilingi saya. Saya pejamkan mata, mencoba tidak melihat alat apapun yang nantinya akan merobek leher bagian kiri saya.

Seseorang menyapa saya dengan ramah, menanyakan kesiapan saya. Saya mengiyakan sementara degup jantung semakin kencang.

Saya datang sendirian siang itu.
Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk?
Bagaimana kalau terjadi kesalahan pascaoperasi?
Saya bahkan belum kenal nama dokter yang akan bertanggung jawab atas keselamatan saya minimal satu jam mendatang!

Panik menyergap tepat ketika ia hendak menyuntikkan bius lokal.

Tuesday 13 September 2011

:')

Kamu tahu saat ketika harus menyerah. Masa-masa bulan madu itu telah lewat.

Tidak ada lagi lagu cinta-cintaan. Tidak ada lagi senandung di kamarmu, di kamar mandi, di tempat karaoke... Bagaimana bisa kamu bersenandung ketika hatimu tidak punya apa untuk dinyanyikan? Lagu ‘The Way You Make Me Feel’ milik Steps yang tak sengaja terputar di iPod-mu, segera kamu ganti dengan ‘So Sick’ dari Ne-Yo. Satu album John Denver yang romantis kamu hapus, kamu ganti dengan lagu berdebam-debum khas Angel and Airwaves. Lagu ‘Fixing A Broken Heart’ membuatmu tersengat, sementara Adele dengan ‘Someone Like You’-nya menduduki tempat teratas daftar Top 25 Most Played iPod-mu, menggeser ‘Accidentally in Love’ yang sebelumnya tak tergoyahkan.

Binar matamu meredup dan senyum yang kamu tampilkan semu. Nafsu makan menguap sempurna. Ah, bahkan Mie Siram Solaria terasa hambar di lidah. Jus tomat yang segar kamu rasakan tidak lebih enak daripada jamu gendongan yang tiap pagi dijajakan di pinggir-pinggir jalan kampung. Kalau Charlie Brown pernah kehilangan selera pada selai kacang favoritnya, kini kamu tengah hilang rasa pada semuanya.

Wednesday 7 September 2011

So I Listen to The Radio

Selain kopi, radio adalah teman saya yang paling setia. Meskipun siang membuat kami berjarak, malam selalu bisa menyatukan kami bertiga. Sebelum kopi, radio sudah lebih dulu menjadi kawan karib saya.

Semuanya diawali dengan selembar kertas warna putih bergaris biru, sama seperti warna seragam sekolah saat saya pertama mengenalnya. Ada lima kata utama di dalamnya: dari, untuk, lagu, acara, dan pesan. Kertas itu disebut kertas atensi. Dibanderol seharga Rp350,- per lembarnya, atensi dari Radio Anita di kota saya di Tegal menjadi yang paling laris. Wajar, karena saat itu, Radio Anita menjadi parameter lagu-lagu paling up to date di sana.

Saya termasuk rajin mengirim atensi. Saya tak sungkan menyisihkan uang saku untuk membeli selembar kertas itu. Saat itu acara musik di televisi tidak sebanyak sekarang. MP3 bajakan belum merajalela. Belum jaman juga download lagu di internet. Uang yang saya keluarkan tak seberapa dibanding rasa senang saat lagu favorit saya diputar. Lagu yang paling nge-hits saat itu adalah lagu-lagunya Sheila on Seven (SO7). Mulai dari Dan, Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki, Jadikan Aku Pacarmu, you name it. Album pertama SO7 adalah album yang paling saya dari grup band asal Jogja tersebut.

Selain mendengarkan, saya juga suka merekam lagu-lagu yang saya request. Saya beli kaset kosong dan mulai ahli merekam lagu-lagu yang diputar di radio. Dengan cara itu, saya bisa hemat banyak. Saya tak perlu beli satu album hanya demi beberapa lagu yang saya suka. Dengan cara itu, satu kaset hasil saya merekam bisa dipastikan berisi semua lagu favorit saya.

Radio Anita juga punya acara curhat. Waktu itu belum ada Facebook dan Twitter, orang jadi curhat lewat radio. Saya ingat penyiarnya, bernama Krisna dan Selly. Pendengar mengirim surat berisi curhatan mereka, kemudian dibacakan oleh salah satu penyiar tersebut. Musik yang mengiringi biasanya instrumentalia, supaya kesan galaunya lebih berasa. Curhatannya biasanya seputar cinta-cintaan anak sekolah.

Ketika SMA, Radio Anita mulai saya tinggalkan. Musik kesukaan saya mulai terbentuk. Saya suka lagu-lagu Barat lama. Radio Anita yang gaul tidak cocok untuk saya. Maka beralihlah saya ke Radio Sananta. Di atas jam sembilan malam, ada segmen lagu-lagu lama yang diputar. Saya suka belajar sambil mendengarkan acara tersebut. Karena sering mengantuk selepas jam sembilan, mulailah saya berkenalan dengan kopi. Belajar tidak pernah lebih menyenangkan tanpa radio dan kopi, dan juga malam.

Saya tidak pernah mengirimkan atensi untuk Radio Sananta. Saya sudah pasang telepon rumah saat SMA. Untuk request lagu, saya selalu menelepon secara offline, ketika sedang iklan atau saat ada lagu yang diputar. Saya masih malu menelepon online, kecuali saat ada kuis.

Iya, kuis.

Saya termasuk orang yang suka berburu kuis di radio. Suatu ketika pernah ada kuis dari Majalah Aneka dan Seventeen (atau Sweet Seventeen?), produk baru untuk remaja putri. Hadiahnya adalah paket lengkap dari Seventeen, mulai dari facial scrub sampai splash cologne. Tempting! Selain itu, dapat undangan meet and greet dengan model dari Majalah Aneka.

Untuk mendapatkan hadiah itu, pendengar hanya tinggal menelepon dan menanyakan apa saja terkait produk Seventeen. Line telepon saat itu sangat sibuk. Saya terus mencoba hingga akhirnya berhasil masuk. Nada dering – bukannya nada sibuk – yang saya dengar membuat saya nervous. Pertanyaan saya biasa saja, hanya berupa satu kalimat tanya, tapi saya gugup saat menyampaikannya. Saya merasa aneh mendengar suara sendiri di radio. Saya merasa seperti sedang didengar oleh seluruh orang di kota saya. Namun gugup saya berubah senang karena saya berhasil mendapatkan paket dan undangan itu.

Ketika era SMS masuk saat saya kelas 2 SMA, saya mulai mengganti minta lagu lewat telepon menjadi lewat SMS. Radio favorit saya bertambah satu, yakni Radio DLC. Meski DLC adalah radio baru di kota saya, penggemarnya sudah mulai banyak. Saya salah satunya. Acara yang paling saya suka adalah acara jam sepuluh malam yang dibawakan oleh Dani Rumangsa. Benar, lagu yang disetel adalah lagu-lagu lama macam Bright Eyes, Song for You, dan You Feel Up My Senses.

Saya belajar paling rajin saat SMA. Bapak kadang sampai menyuruh saya tidur, agar tidak belajar semalaman. Padahal saya senang belajar ditemani radio dan kopi. Buku pelajaran yang saya baca dan PR setumpuk bisa saya selesaikan dengan hati ringan. Acara Dani dari jam sepuluh sampai dua belas malam terasa sangat cepat. Suaranya yang menenangkan membuat saya menjadikannya penyiar favorit saya, sampai sekarang.

Ketika saya kuliah di Purwokerto, saya segera mencari radio favorit yang lain. Saya menemukan dua yang saya suka: Radio Pro Dua FM dan Dian Swara. Kembali segmen lagu lama yang saya cari.

Kini saya tinggal di Jakarta. Radio sudah mulai jarang saya setel. Tidak ada lagi malam-malam menyesap kopi sambil mendengarkan radio. Alih-alih radio, telinga saya sudah terbiasa dengan iPod.

Dulu, radio pernah sangat istimewa. Pantas saja The Corrs mengabadikannya menjadi judul sebuah lagu. Dengarlah liriknya.

“…..

So I step inside, pour a glass of wine
With a full glass and an empty heart
I search for something to occupy my mind
…..
So, I listen to the radio
And all the songs we used to know
So I listen to the radio
Remember where we used to go

….. ”

Excelente!

Ketika kemarin saya pulang ke rumah di Tegal, saya kembali coba mendengar acara Dani Rumangsa di Radio DLC. Tahu lagu pertama yang mampir di telinga saya? ‘I Started a Joke’ dari Bee Gees. Bau Nescafe Originale langsung menyeruak. Gambaran buku-buku bertebaran di atas meja dengan lampu belajar di sampingnya mengingatkan saya betapa sudah lama saya tidak merasakan saat-saat itu. Tiba-tiba, saya kangen berinteraksi dengan penyiar – yang bahkan tidak pernah saya tahu wajahnya – meski hanya lewat sebuah pesan pendek.

Saya tidak jadi mengirimkan SMS pada Dani Rumangsa malam itu. Saya keburu mengantuk, tertidur dengan radio menyala.