Thursday 21 July 2011

Bukan Sembarang Random

Seorang perempuan muda berjalan menyusuri rak berisi ribuan jenis koleksi buku. Sesekali langkahnya terhenti ketika matanya sekilas menatap buku yang terlihat lebih bersinar; entah karena judul atau nama penulisnya; sementara yang lain redup. Ia menyentuh buku itu, menghirup aroma buku baru ketika membalik halamannya dengan acak, memberikan tatapan sayang ketika akhirnya ia tahu buku itu sudah mengenai hatinya.

Matahari sore baru muncul dengan hangatnya ketika perempuan itu membawa empat buku bersamanya. Keluar dari toko buku yang ia anggap surga, ia segera mencari cafe tempat ia mendapatkan surganya yang lain. Ia tak perlu menimbang ketika memutuskan untuk duduk di meja luar. Udara segar di luar lebih ia pilih ketimbang menghirup kesegaran AC, yang ia anggap palsu. Cahaya matahari sore ia rasakan pas memantulkan huruf-huruf dari buku yang akan ia baca, jauh lebih nyaman ketimbang membaca di bawah temaram lampu dengan design modern di dalam cafe.

Kini ia sudah duduk di meja favoritnya, dengan buku terbuka, mata tak lepas mengikuti rangkaian kata. Sesekali ia menyesap kopi pesanannya. Matahari sudah berwana jingga ketika ia membuka halaman pertama buku keduanya. Cahaya matahari tak lagi terang. Gelas kedua berisi sisa-sisa kopi sudah dingin sedari tadi. Ia beranjak dari kursi, menyelempangkan tas ke sisi kanan tubuhnya, membawa buku-bukunya dengan tangan kiri. Ia menerobos lalu lalang manusia. Ia tak terlihat istimewa dengan t-shirt dan jeans yang ia pakai. Ia terlihat biasa saja dengan buku dalam genggamannya. Orang-orang tak menoleh dua kali untuk melihatnya. Perempuan itu, terlihat biasa.

***

Seorang lelaki muda mengetuk-ngetukkan jemarinya mengikuti irama musik yang ia dengar. Alih-alih menuju restoran tempat ia akan menghadiahi perutnya dengan makan malam, kakinya melangkah menuju toko CD tempat lagu kegemarannya sedang diputar. Kemeja yang seharian melekat di badannya tak lagi lembab karena penyejuk udara telah menghisap butiran keringat yang sedari siang menempel pada serat-serat pakaian. Tas berisi laptop dan segala dokumen kantornya ia sematkan di punggung, mengandalkan ketangguhan kedua bahunya.

Sebuah CD sudah ada dalam genggamannya. Namun ia masih mencari. Tangannya menyingkap satu per satu CD yang disusun berjajar dalam rak. Ketika menemukan album yang diminatinya, ia akan menarik CD itu, mencermati isi track lagu di dalamnya, untuk kemudian dibandingkan dengan album lain yang serupa. Memorinya akan bekerja dengan cepat, mengingat-ingat lagu mana saja yang sudah dimiliki. Tak perlu waktu lama bagi lelaki ini untuk membeli dua CD sekaligus. Ia bahkan tak melihat harga yang terpampang kecil di label belakang. Sungguh, ia tak peduli jika kedua CD yang ia bawa ke kasir itu adalah CD impor dengan harga dua kali lipat CD yang diproduksi lokal.

Keluar dari toko CD, baru ia merasakan lapar. Ia naik eskalator alih-alih lift karena lelaki ini tak mau diperdaya menunggu lift terlalu lama. Ia masuk ke sebuah restoran franchise, duduk tenang, melihat menu dan segera memesan makanan. Ketika menu favoritnya datang, ia mengangguk ramah pada pelayanan yang membawakan pesanannya. Ia duduk sendiri sementara puluhan orang di sekelilingnya saling bercerita, duduk berkelompok, dan berbagi tawa. Ia terlihat biasa saja dengan kemeja bergaris dan celana dengan lipatan rapi. Orang-orang tak menoleh dua kali ketika tak sengaja bersitatap dengannya. Lelaki itu, terlihat biasa.

***

Perempuan dan lelaki itu memang terlihat biasa, tapi sungguh, mereka tidak biasa.

Perempuan muda tadi bukan hanya seorang pencinta buku, bukan hanya penggila kopi, namun juga seorang teman. Ia adalah orang yang menyebarkan energi positif seperti sinar laser ketika mendapati temannya sedang murung. Hidup dirasanya lebih mempesona ketika ia bisa mengulas senyum di wajah temannya. Perempuan ini menyapa temannya dengan nama-nama yang menyenangkan hati mereka, memberikan hadiah-hadiah kecil berupa foto atau tulisan atau gambar lucu bahkan ketika tidak ada apa untuk dirayakan. Perempuan itu tidak pernah membaca buku keempat yang ia beli. Buku itu bukan untuknya. Ia berniat untuk menghadiahkannya untuk teman yang baru ia kenal satu bulan. Ya, ia memang sebaik itu pada teman-temannya.

Lelaki itu bukan hanya seseorang random yang tiba-tiba masuk ke sebuah toko, membeli CD, dan kemudian keluar. Lelaki ini juga seorang anak. Ia adalah putra keluarga, yang namanya selalu disebut dengan kebanggaan oleh ayahnya, yang membuatnya ibunya selalu rindu. Ia adalah seorang anak yang sedari kecil selalu mencium tangan ayah-ibunya setiap kali ia hendak pergi, yang mencium pipi ibunya dengan sayang setiap kali pulang ke kota kecilnya. Lelaki itu tidak pernah menyobek kemasan plastik CD kedua-nya. CD itu bukan untuknya. Ia tahu ayahnya akan lebih senang menerima CD koleksi lagu lama yang langka itu dengan plastik yang masih membungkus rapi. Lelaki ini ramah pada pelayan restoran karena ia ingat ibunya mengajarkannya demikian. Ia menyayangi kedua orang tuanya dengan memberikan kejutan-kejutan kecil dan mendengarkan suara-suara mereka.

Perempuan dan lelaki itu memang terlihat biasa, tapi sungguh, mereka tidak biasa. Mereka istimewa bagi orang-orang di sekeliling mereka. Mereka adalah anak, kakak, adik, kekasih, teman, sepupu, keponakan, rekan kerja, sebut sajalah. Mereka adalah kita juga. Lain kali kita melihat seseorang, lihatlah ia dengan utuh. Lihatlah bahwa ada sesuatu yang istimewa yang pasti ada pada orang tersebut. Hebatnya lagi, ini berlaku vice versa. Setiap kali kita merasa biasa saja, tidak spesial, ingatlah bahwa pasti ada yang istimewa pada diri kita. Dan hey, pasti ada meskipun satu saja orang di luar sana yang meyakini dengan sepenuh hati bahwa kita benar-benar istimewa.

Wednesday 13 July 2011

Dicari: Penari Izu

“Ketika kukira jalan berliku-liku mendaki yang kutempuh itu mendekati puncak Gunung Amagi, hujan pun turun renyai, membuat hutan sagi nampak putih meruap naik dari kaki gunung mengejarku dari belakang.”

Bahkan sampai sekarang, sepotong narasi di atas menduduki peringkat nomor satu kalimat pembuka terbaik versi saya. Selain karena ditulis dengan bahasa yang puitis, saya sebagai pembaca juga bisa ikut merasakan atmosfer yang menjadi latar dalam cerita tersebut. Alasan personalnya, karena kalimat tersebut menyatukan tiga hal favorit saya: gunung, hujan, dan Jepang.

Monday 11 July 2011

Setelah Review dari Kimi

Ketika Jumat minggu lalu Kimi berbaik hati ‘mereview’ blog ini di blognya, perbedaan langsung berasa dalam hitungan jam. Follower saya bertambah, ada yang komentar selain Kimi (iya, cuma Kimi yang biasanya kirim komen di blog ini, baik ya?) dan statistik langsung meruncing setelah di hari-hari sebelumnya rata seperti talenan. Akun blog saya bahkan sampai crash saking banyaknya pengunjung. Okay, abaikan kalimat terakhir tadi. Jangan bayangkan juga kuantitas yang berlimpah. Kenyataanya, follower saya memang bertambah (1), ada pemberi komen selain Kimi (3), dan statistik bertengger di angka 43 setelah biasanya berkisar di seputar hitungan jari tangan. Sekian tentang angka.

Masalahnya adalah, saya sedang jarang menulis minggu-minggu ini. Ketika pertama membuat blog, saya pikir saya bisa menulis setiap hari. Atau setidaknya dua hari sekali. Atau setidaknya di tiap akhir pekan. Saya punya banyak bahan yang siap dibuat tulisan. Saya bahkan bilang tidak ingin hiatus terlalu lama -_________-