Wednesday 5 December 2012

David Foster and Friends: Tentang Sebuah Konser (dan Cerita Lainnya)


Jumat, 9 November 2012
14:07
Mendung di luar. Langit gelap. Saya arahkan pandangan ke jendela lebar di samping kanan dari lantai dua tempat saya bekerja; jalanan Jakarta akhir pekan sudah merayap. Jangan sampai hujan sore ini... Macet di Jakarta akan semakin parah dan itu akan mengacaukan rencana saya petang nanti.

Rupanya hujan memang harus turun. Deras. Angin memainkan pepohonan, membuatnya meliuk-liukan badan. Suara hujan timbul tenggelam melawan Winter Games yang saya putar. Jangan sampai hujan turun malam nanti...

16:30
Lewat dari jam empat. Begitu jarum panjang menyentuh angka 6, segera saya matikan komputer. Saya hentikan semua yang sedang saya lakukan; saatnya untuk pulang.

Hujan di luar sudah reda, syukurlah. Saya rapikan meja kantor, meluruskan keyboard, memasukkan kursi ke bagian bawah meja. Setelah pamit pada bos, saya melesat pulang ke kosan.

18:25
Selepas sholat Maghrib, saya kembali cek barang bawaan saya. Tiket, ok. Kamera, ok. Handphone, ok. Dompet, ok. Kado, ok. DVD A New Journey, ok. Spidol, ok. Tripod, ok. Kacamata, ah..hampir tertinggal!

Ojek langganan sudah menunggu di depan kosan. Saya sudah bilang padanya untuk datang setelah sholat. Dia menanyakan tujuannya. 

“MEIS, Pak. Ancol.”

***


Petang itu saya akan menonton konser David Foster and Friends di Mata Elang International Stadium (MEIS), Ancol. Tiketnya sudah saya beli sejak hari pertama penjualan, 1 September 2012. Saya bukan penggemar berat David Foster, dan melihat lokasi konser yang berada jauh di ujung utara, saya tak akan mungkin berniat menonton kalau bukan karena satu orang: Hayley Westenra.

Hayley Westenra adalah penyanyi classical crossover dari New Zealand, kelahiran 10 April 1987. Tahun lalu ia datang ke Jakarta bersama Andrea Bocelli. Saya sempat menuliskan tentang konser itu di sini. Tahun ini, ia kembali datang; kali ini bersama David Foster. Andrea Bocelli dan David Foster, dua nama yang jadi jaminan mutu untuk industri musik dunia. Well, itu saja sudah menjelaskan keistimewaan kualitas vokal Hayley Westenra.

Tahun lalu saya memang tak bisa bertemu langsung dengan Hayley. Tapi tahun ini berbeda. Dengan sedikit keberuntungan, saya bisa bertatap muka dengan penyanyi idola saya itu. Bukan hanya tanda-tangan dan foto bersama, yang lebih membuat gembira adalah karena Hayley mengenali saya di Twitter. Kisah tersebut bisa dilihat di komik ini, atau di sini kalau ingin tahu versi utuhnya.

Saya sudah mempersiapkan diri untuk konser ini jauh-jauh hari sebelumnya. Saya membuat kaos desain sendiri, juga membuat kartu ucapan dan menyiapkan kado untuk Hayley. Saya senang melakukannya. Saya senang disibukkan untuk membuat sesuatu yang personal untuk orang yang jadi favorit saya.


Petang itu saya harus naik ojek. Kosan saya di Jakarta Selatan bertolak-belakang dengan MEIS, Ancol di Jakarta Utara. Jalanan Jakarta di hari-hari biasa saja identik dengan macet, apalagi menjelang akhir pekan, terlebih setelah hujan. Naik taksi akan lebih nyaman memang, tapi tidak kalau harus jalan merayap dengan argo yang terus berputar. Naik busway tak pernah ada dalam opsi yang saya buat. Terlalu penuh, tidak manusiawi.
 
Ah, Jakarta! Bahkan ojek-pun tak leluasa bergerak. Macet parah dimulai dari Menteng. Banyaknya lampu merah membuat arus kendaraan tersendat. Sampai di Gunung Sahari Raya pun keadaan tak jadi lebih baik. Macet tetap mengular. Baru ketika sampai di Ancol, saya bisa bernapas lega.

Untuk menuju MEIS, ternyata masih cukup jauh perjalanan yang harus ditempuh dari pintu masuk Ancol. Badan sudah terasa pegal, sudah hampir satu jam duduk di atas motor. Menjelang masuk kawasan MEIS, saya lihat mobil-mobil sudah ramai mengantri. Saya yang naik motor bebas melaju. Sampai di venue konser, ratusan orang masih tertahan di depan pintu masuk.


***

19:20
Hanya ada satu pintu masuk ke dalam venue. Pantas saja antrian masih sangat panjang begini! Saking panjangnya antrian, kami sampai hampir berbatasan dengan pantai di belakang. Pasir pantai membuat saya tak nyaman melangkah. Saya tak tahu bagaimana mereka yang memakai high heels super tinggi bisa bertahan sebegitu lama.

Di samping kanan kami ada panggung yang menyuguhkan live music. Beberapa orang ikut bernyanyi. Tiba-tiba rombongan perempuan muda di depan saja maju ke depan. Saya ikut maju. Baru saya sadari kalau mereka menerobos antrian dengan berjalan dari sisi kiri. Tapi toh tak ada yang peduli. Semua sibuk mengobrol satu sama lain. Lagipula tak ada batasan antrian yang jelas. Terlanjur basah, saya terus ikut berjalan. Dalam hitungan menit, saya sudah ada di barisan terdepan. Pun, itu masih perlu menunggu cukup waktu sampai kami diijinkan naik ke atas untuk pemeriksaan barang bawaan.

Setelah gelombang penonton di depan mulai meyusut, saya masuk ke gelombang selanjutnya. Ada dua pintu masuk. Di sebelah kiri untuk penonton Gold dan Silver, di sebelah kanan untuk Bronze dan Tribun. Saya antri di sebelah kanan.

Ketika sampai giliran saya, petugas mengecek sampai ke bagian bawah tas tempat saya menaruh kamera.

“Kamera tidak boleh masuk!”

“Tapi ini bukan kamera SLR, Pak.”

“Tetap saja tidak boleh karena lensanya tele! Silahkan ke panitia sebelah sana.”

Inilah yang saya takutkan, kamera Sony Nex 3 yang saya pinjam dari teman tidak boleh masuk. Kamera ini memang bukan SLR, bukan termasuk jenis kamera profesional. Kamera ini lebih cocok disebut kamera hybrid, perpaduan antara SLR dengan kamera saku. Untuk kualitas, Sony Nex 3 bisa dibilang punya kualitas juara. Itulah kenapa saya mesti repot-repot meminjam kamera itu.

Saya berjalan ke panitia sebelah. Rupanya beberapa orang juga terkena razia kamera. Kami diminta melepaskan baterai kamera dan menaruhnya di amplop putih. Kami mesti menuliskan nama dan nomor KTP di atas amplop itu.

Well, untung saya masih tetap membawa kamera saku saya.

***

Itu adalah kali pertama saya menonton di MEIS. Venue yang disebut-sebut stadion indoor terbesar di Asia Tenggara ini ternyata jauh dari ekspektasi saya. Selain karena pintu masuk yang cuma satu dan membuat antrian panjang jadi tak terhindarkan, bangunan ini juga ternyata belum jadi. Begitu masuk ke dalamnya, saya tak bisa mengabaikan dinding dan lantai yang masih berlapis semen. Untuk menuju tempat pertunjukan, kami mesti berjalan menyusuri karpet yang tergelar panjang. Saya seperti tak sedang menuju tempat konser musisi sekelas David Foster akan digelar.

Sampai di tempat acara, saya segera mencari-cari tempat duduk di Bronze I. Posisi saya cukup di tengah, namun kursi yang tidak berundak membuat pandangan saya terhalang penonton di depan. Masalah yang sama juga ada di Ritz Carlton ketika dulu saya menonton konser Andrea Bocelli dan Il Divo di sana. Kursi hanya berundak setelah beberapa baris. Beruntunglah bagi yang mendapat kursi deret pertama untuk tiap-tiap undakan.

Saya perhatikan tata panggung di depan. Sudah ada piano di tengah-tengah panggung. Di sisi kiri dan kanan ada layar besar. Kursi sebagian besar sudah dipenuhi penonton. Belakangan saya ketahui jika jumlah penonton konser ini mencapai enam sampai tujuh ribu orang. Saya lihat jam tangan, sudah jam delapan lewat. Sudah terlambat dari jadwal acara yang seharusnya.

***

20.35
Layar besar di kiri-kanan panggung mulai menampilkan cuplikan-cuplikan video klip lagu-lagu hits ciptaan atau yang albumnya diproduseri oleh David Foster. Lagu-lagu yang enak di telinga, easy listening, dan mungkin sudah digadang-gadang jadi legenda pada masanya. Beberapa kru sudah berada di panggung, siap dengan alat musiknya masing-masing.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan. Teriakan antusias dan jeritan-jeritan kecil memaksa saya menaruh perhatian pada sisi depan-kanan panggung. Segala handphone dan kamera saku berbagai merk sudah teracung. Pun, demikian juga tablet – yang seharusnya dilarang dibawa ke venue. Semuanya mengarah ke satu titik yang sama. Lampu panggung menyorot satu sosok yang menjadi sumber ‘keributan’ itu, dan dari layar di depan, tahulah saya kalau David Foster muncul dari tengah-tengah penonton menuju panggung.

Meskipun dikawal ketat oleh bodyguard, David Foster tetap bisa menerima jabat tangan atau ajakan untuk berfoto bersama dari penonton. Massa semakin padat menyemut, membuatnya sulit bergerak. Ketika David Foster akhirnya tiba di panggung, ia segera duduk menghadap piano, jari-jemarinya lincah memainkan tuts piano. Energi positif yang terpantul dari tiap-tiap jeritan dan tepuk tangan penonton membuatnya gembira. Wajahnya berseri-seri. Winter Games menjadi lagu pembuka untuk konser malam ini.

***

Tepuk tangan untuk David Foster masih belum sepenuhnya hilang ketika ia mulai berdiri dan berkisah tentang pertemuannya dengan seorang gadis kecil, bertahun-tahun yang lalu. Ia berkata bahwa sejak dulu, ia selalu tahu bahwa si gadis cilik ini akan menjadi penyanyi hebat. Prediksinya tak meleset. Sekarang, di usia yang sudah menginjak 25, si gadis cilik telah tumbuh menjadi wanita muda dengan pengalaman menyanyi di hadapan ratu-raja. Bahkan sebelum David Foster menyebut namanya, saya sudah tahu siapa yang ia maksud: Hayley Westenra.

Hayley muncul dengan rambut kecoklatan tergerai di sisi bahu sebelah kiri. Ia memakai dress panjang, sama seperti yang ia pakai di konser Singapura. Untuk sesaat, saya masih tak percaya kalau dua hari sebelumnya saya menemuinya dan berfoto bersama.


Hayley menyanyikan I Dreamed A Dream, sesuatu yang saya antisipasi karena sebelumnya sudah melihat konser David Foster and Friends di Singapura dan Bangkok melalui YouTube. Saya sibuk mengeluarkan kamera saku untuk merekam gambar ketika cewek di sebelah saya mulai berkomentar ini-itu. Omongan saja mungkin masih mending, tapi saya tak tahan ketika ia mulai berteriak-teriak takjub; terlebih ketika Hayley mengambil nada-nada tinggi.

Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat saya kesal. Jarak saya yang jauh dari panggung ditambah kursi yang tidak berundak membuat saya kesulitan mengambil gambar. Saya jadi menyesal tidak mengambil kelas tiket yang lebih baik.

Saya menyerah untuk mengambil gambar atau bahkan memotret. Akhirnya saya fokuskan untuk menikmati Hayley menyanyikan lagunya. Dan seperti selalu, mendengarkan suara Hayley secara live memunculkan sensasi yang berbeda.

Setelah I Dreamed A Dream, Hayley langsung menyanyikan Amazing Grace – yang juga ia nyanyikan di konser Andrea Bocelli tahun lalu – lalu disambung dengan duet bareng Fernando Varela di lagu The Prayer. Ketika lagu ketiga itu usai, selesai juga konser itu di mata saya. Apalagi? Sudah tidak ada yang dinanti-nanti.

Selain itu, saya agak khawatir karena harus pulang larut ke kos yang jauh di ujung selatan; sendirian. Melihat ribuan orang penonton, saya takut tak kebagian taksi untuk pulang nanti. Baru awal konser tapi saya sudah memikirkan penuhnya antrian pulang.

Namun pikiran itu teralihkan ketika saya googling daftar lagu-lagu yang Hayley nyanyikan di Singapura dan Bangkok. Ada Wuthering Heights di daftarnya! Saya memutuskan untuk tinggal, barangkali nanti Hayley muncul lagi.

Setelah Hayley dan Fernando Varela, ada Paul Young, Dirty Loops, Kenneth Edmonds ‘Babyface’, satu-satunya penyanyi Indonesia yang tampil Raisa, dan Chaka Khan yang tampil memukau dengan gayanya yang energik dan suaranya yang melengking. Saya tak paham benar lagu-lagu yang mereka nyanyikan; asing buat saya. Kecuali lagu yang dibawakan oleh Raisa, tentu saja. Ia dengan gayanya menyanyikan I Have Nothing yang dipopulerkan oleh Whitney Houston.

Jeda antara satu penampil dengan penampil lainnya biasanya dimanfaatkan oleh David Foster untuk berinteraksi dengan penonton, seolah mengingatkan bahwa ini adalah konsernya. Ia menjadikan seseorang dari deretan kursi terdepan – dan termahal – bernama Pri sebagai pusat perhatian. Tanyakan tentang Pri pada siapa saja yang menonton konser malam itu. Semua orang akan tahu saking Pri sangat populer karena ‘ledekan-ledekan’ David Foster yang diarahkan padanya. Bahkan, nama Pri masuk dalam lirik lagu yang diciptakan mendadak oleh Babyface.

Oya, tentang lagu dadakan ini, saya punya satu cerita yang lumayan menjadi salah satu highlight dalam konser David Foster. Jadi, Babyface akan membuat satu lagu dadakan dan meminta penonton untuk menyumbang tiga buah kata untuk dimasukkan dalam lagu tersebut. David Foster sudah titip nama ‘Pri’, tinggal dua lagi. Seorang penonton mengusulkan nama Obama, yang baru saja terpilih menjadi presiden Amerika Serikat untuk kali kedua. Tinggal satu kata lagi.

David Foster menghampiri seorang perempuan muda, meminta usulan kata. Dengan wajah berseri-seri, ia bilang karena ia berasal dari Kuala Lumpur, ia ingin KL dimasukkan dalam lagu. Hening. Satu dua orang memberikan ‘huuuu...’ samar-samar. Paham situasi, David Foster meminta kata yang lain.  Si perempuan muda menyebut ‘Malaysia’. Sekarang seluruh venue dipenuhi ‘huuuu...’ lebih keras. Tak diduga, cewek di sebelah saya berteriak lantang.

“WOIII! SALAH NEGARA, MBAK!”

Ah, harusnya saya tidak terkejut ia bisa berteriak sebegitu kencang.

Akhirnya si perempuan muda mengalah. Setelah agak kebingungan mencari kata lain – mungkin karena gugup diteriaki penonton – ia memilih kata ‘rainbow’. Selesai sudah drama kecil untuk menciptakan satu lagu ini.

Pun demikian, pikiran saya masih dibayang-bayangi teriakan tadi. Saya separuh yakin, kalau perempuan itu dari negara lain – apapun itu selain Malaysia – mungkin penonton tidak seagresif itu. Ini konser David Foster, lho. Dari awal acara penonton sangat manis, tepuk tangan tak sungkan diberikan, teriakan-teriakan yang ada hanya berisi sanjungan. Penonton pun banyak yang dari negara luar. Salah satu penonton luar bahkan ada yang didaulat menyanyi oleh David Foster, penonton mengapresiasi dengan tepukan. Tapi ketika ‘KL’ dan ‘Malaysia’ hendak dimasukkan ke lagu dalam sebuah konser di Indonesia, ada luka yang kembali terbuka. Malam ini milik kami! Mungkin itu kira-kira pesan yang ingin disampaikan lewat ‘huuu...’ tadi.

Sampai Chaka Khan selesai tampil, tak ada tanda-tanda Hayley akan kembali muncul. Ah ya, tentu Hayley kembali – bersama-sama semua penyanyi yang lain – untuk menyanyikan Earth Song, tapi itu adalah lagu terakhir.

Lagu belum usai ketika saya sudah berjalan meninggalkan venue. Beberapa penonton juga mulai beranjak dari kursinya. Saya membawa kado untuk Hayley, tapi saya tak tahu mesti kemana. Saya coba titipkan ke panitia dari promotor, tapi semua panitia yang saya temui bukan dari Dyandra Production. Setelah mengambil baterai kamera yang sempat ditahan panitia, saya memutuskan untuk pulang.

Masalahnya, tak ada taksi di sekitaran MEIS. Saya harus naik ojek ke depan Ancol untuk mencari taksi di sana. Saya agak-agak takut juga ketika naik ojek; sudah hampir tengah malam. Supaya tahu kalau tukang ojeknya orang baik-baik, saya ajak ngobrol terus dia sepanjang jalan. Dari obrolan singkat itu, saya tahu kalau dia ojek resmi Ancol. Dia malah menawarkan mengantarkan saya langsung ke kosan daripada saya naik taksi yang tak jelas namanya; tidak aman. Entah kenapa, tapi saya percaya saja.

Tapi, saya masih punya ganjalan tentang kado untuk Hayley. Tahun kemarin saya tak bisa memberikan kado buat Hayley, menitipkannya pun tidak. Saya tidak ingin kejadian tahun lalu terulang. Saya minta si tukang ojek untuk putar balik. Saya kembali ke venue.

Eskalator sudah mati. Saya berjalan melawan arah dengan satu-dua penonton yang baru keluar dari venue. Saya masuk lagi ke tempat konser dengan canggung. Ada beberapa orang yang mulai membongkar panggung. Tak ada panitia dari promotor di sana, yang ada hanya panitia dari MEIS. Kado untuk Hayley saya titipkan padanya, supaya kembali dititipkan lagi pada panitia dari Dyandra, untuk kemudian diberikan pada Hayley. Selesai memberikan kado, saya pulang.

***

Sampai saya menulis ini, saya tak tahu apakah kado itu sampai ke tangan Hayley atau tidak. Kalau saya beruntung, kado itu akan sampai padanya. Kalau tidak, well, saya masih menganggap diri saya beruntung karena pernah bertemu dengan Hayley Westenra.