Monday, 15 October 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (v)

Dalam balutan biru, ia berdiri dengan jumawa. Mata terasa panas; saya alihkan pandangan ke luar jendela. Tak lucu kalau saya sampai menangis di dalam mobil. Ketika saya kembali menghadap depan, ia sudah tersembunyi di balik bukit-bukit. Tapi itu tak lama. Jalanan yang berkelak-kelok memunculkannya lagi tepat di hadapan. Ia kembali hadir dengan segala pesonanya. Inilah tempat nomor satu bagi saya di Jepang.

Gunung Fuji adalah salah satu tempat yang paling ingin saya kunjungi di Jepang. Beruntung dua teman magang dari Jepang – Manami san dan Wada san – berbaik hati mengantar saya dan Mbak Cici ke sana. Berempat kami naik mobil di Minggu pagi, 26 Agustus 2012. 


Meskipun berangkat sejak pagi, kami masih juga terjebak macet di tengah jalan. Ada truk terguling di jalan. Selain itu, kami datang ke sana tepat di akhir pekan terakhir anak-anak libur sekolah.

Tapi toh itu tak menyurutkan semangat saya untuk ke Gunung Fuji. Sepanjang jalan saya puaskan mata melihat-lihat gaya bangunan yang saya lewati – rata-rata berbentuk kotak dengan warna coklat atau kelabu. Semakin lama, bangunan menghilang berganti bukit-bukit di kiri kanan jalan. Bangunan kotak tergantikan oleh rumah-rumah dengan jarak jarang-jarang satu sama lainnya. Terkadang kami melewati hutan dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Kami juga melewati terowongan panjang, yang mau tak mau mengingatkan saya pada Amagi pass – salah satu latar di novel Izu No Odoriko. Setelah dua jam perjalanan, kami mampir sebentar ke rest area untuk membeli makan sebagai bekal. Perjalanan masih panjang.


Setelah rest area, jalanan semakin berbukit-bukit dengan kelokan yang semakin sering. Di saat itulah saya melihat Gunung Fuji untuk pertama kali. Bukan di website, buku, majalah, koran, kalender, TV, film, seperti sebelumnya. Saya melihatnya langsung! Mungkin saya yang terlalu sentimentil, tapi momen itu hanya bisa disaingi ketika saya menonton konser Hayley Westenra di Jakarta tahun lalu. Itu seperti... dream comes true. Sesuatu yang dulunya tak terjangkau, seperti tak nyata, sekarang benar-benar ada di hadapan.

Awalnya kami berencana naik sampai stasiun 5. Tapi melihat kemacetan yang panjang, kami memutuskan untuk menikmati Gunung Fuji dari kejauhan. Danau Kawaguchi menjadi tempat yang kami pilih untuk itu.

Kami sampai di Danau Kawaguchi satu jam kemudian. Danau ini dikelilingi oleh bukit-bukit, dan satu sisinya kita bisa melihat Gunung Fuji dengan jelas. Beberapa orang terlihat memancing. Beberapa yang lain berfoto dengan Gunung Fuji sebagai latarnya; kami pun melakukan hal serupa.


Siang itu awan-awan menggantung di langit biru. Sebagian menutupi puncak gunung. Wada san menolak untuk meninggalkan tempat sebelum melihat puncak Gunung Fuji. Konon kalau kita berdoa ketika melihat puncaknya, doa kita akan dikabulkan.

Sembari menunggu awan tersapu angin, kami beristirahat sambil makan es krim. Hawa panas membuat es cepat meleleh. Saya harus makan cepat-cepat sebelum tangan saya basah dan lengket terkena lelehan es. 


Wada san menatap Gunung Fuji untuk ke sekian kali. Ketika dilihatnya awan masih kuat bergelayut, ia memutuskan untuk meninggalkan tempat menuju tempat wisata selanjutnya: Ice Cave.

Seperti namanya, Ice Cave adalah gua berisi es abadi di dalam tanah. Hari itu, suhu di dalam 0 derajat celcius. Termasuk mending dibanding hari-hari sebelumnya yang mencapai minus derajat.

Saya mengantri dengan gelisah. Membayangkan berada di gua dengan suhu beku tanpa baju hangat membuat saya khawatir. Kunjungan ini memang dadakan karena kami tak jadi naik ke Gunung Fuji, jadi tak satupun dari kami yang menyiapkan jaket. Manami san bahkan memakai rok mini dan high heels.

Sampai di mulut gua, hawa dingin sudah terasa. Saya mengepalkan jari-jemari tangan, menggesekannya untuk menciptakan hangat. Kami masuk dari tangga kiri dan keluar dari sisi kanan. Orang-orang yang baru keluar dari gua muncul dengan napas terengah-engah dengan wajah merah. Pastilah di dalam sangat dingin!
 
Semakin turun ke bawah, tangga semakin licin. Sekeliling semakin gelap, udara semakin lembab. Di kiri saya ada dinding dengan lukisan-lukisan jaman dulu. Diceritakan jika es balok sempat bernilai istimewa hingga dijadikan upeti bagi para raja. Lukisan ini sempat mengalihkan saya dari dingin yang menusuk tulang.

Kami berjalan terus mendekati gundukan es abadi ini. Uap dingin menampar-nampar wajah, napas menjadi lebih berat, pipi seperti kaku. Lewat dari es abadi ini, tangga mulai menanjak untuk keluar dari gua. Napas mulai tersengal, tapi demi melihat cahaya di atas sana kami harus tetap maju. Sampai di atas, berempat kami duduk melepas lelah.

Setelah lelah agak berkurang, kami belanja oleh-oleh di toko di sana. Banyak pernak-pernik lucu, makanan pun dikemas menarik. Tak lama, kami menuju jalan pulang setelah sebelumnya kami makan siang di kedai udon pinggir jalan. 

Jalan pulang di sore hari lebih padat dari pagi sebelumnya. Mobil berjalan pelan, terkadang berhenti sebentar. Matahari sore mulai tenggelam, bukit-bukit yang hijau berganti warna menjadi lebih gelap. Gunung Fuji muncul dengan puncak sempurna, tanpa awan-awan yang menutupinya. Mobil semakin melaju, meninggalkan Gunung Fuji di belakang. Saya membalikkan badan, melihatnya sampai ia menghilang dari pandangan; berharap itu bukan kali terakhir saya berjumpa dengannya.

Pantas gunung ini menjadi salah satu ikon Jepang. Menurut Manami san, Gunung Fuji bukan hanya merupakan gunung tertinggi di Jepang, tapi Fuji juga dipuja karena keindahan bentuknya. Ia menjadi inspirasi bagi banyak satrawan dan seniman dalam menciptakan karya-karyanya. Saya tak bisa tak setuju untuk itu.

Petang sudah datang. Dari radio mobil, mengalun What A Wonderful World dari seorang penyanyi cover perempuan. Entah siapa. Suara Louis Armstrong yang serak digantikan suara jernih dan lembut dengan alunan nada yang sama. Saya ikut menyanyikannya dalam hati, mengucap syukur untuk hari ini.

“I see skies of blue... clouds of white
Bright blessed days... dark sacred nights
And I think to myself...
What a wonderful world...”

No comments:

Post a Comment