Monday 5 November 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (vi)

Jadwal saya selama pelatihan IBIL2 setiap harinya – kecuali akhir pekan – selalu sama. Saya akan ke kantin pukul 8 pagi untuk sarapan. Selesai sarapan saya akan balik ke kamar untuk mengambil catatan dan materi pelatihan hari itu, dan turun ke ruang kelas sebelum pukul 9.

Pukul 9 kurang 5 menit, ada seorang panitia yang akan memperkenalkan pembicara dan materi di hari itu. Jam 9 tepat, kelas dimulai. Satu setengah jam kemudian, ada break lima belas menit. Saya biasa memanfaatkannya untuk ke toilet atau membeli kopi kalengan seharga 140 yen di vending machine sebelah kelas.



Kelas akan kembali berjalan sampai pukul 12 siang. Setelah itu ada istirahat selama satu jam. Biasanya saya akan ke kamar dulu untuk sholat sebelum makan siang di kantin. Jam 1, kelas kembali dimulai. Jam setengah 3, ada break kedua. 15 menit selanjutnya, kelas dimulai lagi dan akan berakhir pukul 4 sore.

Dalam sehari, ada satu sampai dua pembicara. Satu pembicara kadang mengisi materi selama dua hari, memberikan kami tugas untuk dibahas keesokan harinya. Pembicara biasanya merupakan profesor atau pengajar dari universitas terkemuka di Jepang, selain praktisi bisnis lainnya.

Di minggu pertama pelatihan, kami masih dibiarkan duduk sesuai keinginan. Saya biasanya duduk sederetan dengan teman-teman dari Indonesia. Namun di minggu berikutnya, kami mulai dibagi berdasarkan kelompok yang berbeda tiap harinya. Ada 9 peserta non-Jepang dan kami tak pernah dimasukkan dalam satu kelompok. Kabar baiknya, ini mempermudah kami berkenalan dengan peserta magang dari Jepang.

Peserta magang dari Jepang terbagi menjadi dua bagian: pekerja dan pelajar. Selama berinteraksi dengan teman-teman dari Jepang melalui diskusi, saya sedikit banyak jadi tahu karakter mereka. Orang Jepang terkenal dengan sifat santunnya. Saya sempat salah tafsir untuk yang satu itu. Jadi, ketika ada yang menyampaikan pendapatnya, yang lain akan menganggukkan kepalanya. Saya anggap itu adalah sebuah persetujuan. Namun itu ternyata berarti “Saya memahami pendapat Anda” alih-alih “Saya setuju dengan pendapat Anda”.

Diskusi kadang berjalan alot. Ketika disuruh mencari jalan keluar sebuah kasus, mereka akan benar-benar memikirkannya sehingga lama dalam mengambil keputusan. Sebagian dari mereka akan berpikir konvensional, menolak hal-hal baru yang tidak mereka kuasai. Padahal kadang saya berada di satu titik menyadari bahwa ini hanya sebuah studi kasus; tak apa dengan solusi baru, tak apa dengan pemikiran-pemikiran out of the box. Pemikiran konvensional biasanya ada pada peserta yang sudah bekerja. Peserta yang masih kuliah lebih kritis, lebih terbuka.

Di antara semua materi, yang paling kurang saya minati adalah Financial Analysis. Ini sih lebih karena hitung-hitungannya. Saya tak pernah suka berkecimpung dengan angka-angka. Tapi materi-materi lainnya dalam pelatihan ini saya akui sangat bagus. Materi tentang Kaizen membuat saya kagum dengan semangat kerja orang Jepang. Mereka sangat detail dan teratur. Materi tentang negosiasi yang dilanjutkan dengan praktek negosiasi betulan termasuk yang saya suka. Belum lagi materi tentang cara-cara berbisnis dengan budaya lain. Ini cocok dengan materi kuliah saya di Ilmu Komunikasi dulu.

Materi yang paling rumit – namun menarik – adalah materi bertajuk “Charting Your Course in an Uncertain World”. Intinya sih kita harus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di masa mendatang, kemungkinan-kemungkinan yang akan mempengaruhi bisnis kita. Sebagai studi kasus, kami diandaikan mengelola bisnis Machiya – rumah tradisional Jepang yang bisa disewakan. Kami diminta membuat kemungkinan kondisi yang bisa terjadi sepuluh tahun mendatang serta strategi yang digunakan untuk bisa terus survive dengan semua kondisi tersebut.

Banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi. Bukan hanya kondisi Jepang, kami pun harus memperkirakan kondisi dunia sepuluh tahun lagi. Pikiran kami dibiarkan berimajinasi seluas-luasnya. Konflik Jepang dan China memperebutkan pulau sengketa di Laut China Timur juga menjadi bahan untuk melihat masa depan politik Jepang dengan negara-negara tetangga.

Kami pun mesti jeli dengan kekuatan-kekuatan baru yang mungkin menggeser dominasi politik dan ekonomi Amerika Serikat. BRIC (Brazil, Rusia, India, China) menjadi populer karena potensi besar yang dimiliki. Iya, kami memang hanya membahas bisnis Machiya, namun sebagai awal, kami diminta menuliskan apa saja yang bisa berdampak pada bisnis ini.


Setiap kelompok kemudian diminta mempresentasikan hasilnya. Dari semua jawaban, dipilihlah empat jawaban yang menempati urutan tertinggi. Dari situ, dibuatlah kondisi dunia dan Jepang masa depan, mulai dari kondisi damai dengan ekonomi bagus, sampai kondisi perang dengan ekonomi berantakan. Sengaja kondisinya dibuat ekstrim begitu supaya kami punya daya survival yang tangguh. Poin utama dari kuliah ini adalah tentang strategi bertahan dalam bisnis bagaimanapun kondisi yang dihadapi.

Selama dua minggu pelatihan, ada banyak ilmu yang didapat. Bukan hanya dari para pengajar, namun juga dari sesama peserta melalui diskusi. Belajarlah sampai ke Negeri China, demikian yang lazim dikatakan orang. Uh oh, saya lebih memilih belajar di negeri tetangganya saja.


No comments:

Post a Comment