Jadwal saya selama pelatihan IBIL2 setiap
harinya – kecuali akhir pekan – selalu sama. Saya akan ke kantin pukul 8 pagi
untuk sarapan. Selesai sarapan saya akan balik ke kamar untuk mengambil catatan
dan materi pelatihan hari itu, dan turun ke ruang kelas sebelum pukul 9.
Pukul 9 kurang 5 menit, ada seorang panitia yang akan memperkenalkan pembicara dan materi di hari itu. Jam 9 tepat, kelas dimulai. Satu setengah jam kemudian, ada break lima belas menit. Saya biasa memanfaatkannya untuk ke toilet atau membeli kopi kalengan seharga 140 yen di vending machine sebelah kelas.
Pukul 9 kurang 5 menit, ada seorang panitia yang akan memperkenalkan pembicara dan materi di hari itu. Jam 9 tepat, kelas dimulai. Satu setengah jam kemudian, ada break lima belas menit. Saya biasa memanfaatkannya untuk ke toilet atau membeli kopi kalengan seharga 140 yen di vending machine sebelah kelas.
Kelas akan kembali berjalan sampai pukul
12 siang. Setelah itu ada istirahat selama satu jam. Biasanya saya akan ke
kamar dulu untuk sholat sebelum makan siang di kantin. Jam 1, kelas kembali
dimulai. Jam setengah 3, ada break kedua.
15 menit selanjutnya, kelas dimulai lagi dan akan berakhir pukul 4 sore.
Dalam sehari, ada satu sampai dua
pembicara. Satu pembicara kadang mengisi materi selama dua hari, memberikan
kami tugas untuk dibahas keesokan harinya. Pembicara biasanya merupakan
profesor atau pengajar dari universitas terkemuka di Jepang, selain praktisi
bisnis lainnya.
Di minggu pertama pelatihan, kami masih
dibiarkan duduk sesuai keinginan. Saya biasanya duduk sederetan dengan
teman-teman dari Indonesia. Namun di minggu berikutnya, kami mulai dibagi
berdasarkan kelompok yang berbeda tiap harinya. Ada 9 peserta non-Jepang dan
kami tak pernah dimasukkan dalam satu kelompok. Kabar baiknya, ini mempermudah
kami berkenalan dengan peserta magang dari Jepang.
Peserta magang dari Jepang terbagi menjadi
dua bagian: pekerja dan pelajar. Selama berinteraksi dengan teman-teman dari
Jepang melalui diskusi, saya sedikit banyak jadi tahu karakter mereka. Orang
Jepang terkenal dengan sifat santunnya. Saya sempat salah tafsir untuk yang
satu itu. Jadi, ketika ada yang menyampaikan pendapatnya, yang lain akan
menganggukkan kepalanya. Saya anggap itu adalah sebuah persetujuan. Namun itu
ternyata berarti “Saya memahami pendapat Anda” alih-alih “Saya setuju dengan pendapat Anda”.
Diskusi kadang berjalan alot. Ketika
disuruh mencari jalan keluar sebuah kasus, mereka akan benar-benar
memikirkannya sehingga lama dalam mengambil keputusan. Sebagian dari mereka
akan berpikir konvensional, menolak hal-hal baru yang tidak mereka kuasai.
Padahal kadang saya berada di satu titik menyadari bahwa ini hanya sebuah studi
kasus; tak apa dengan solusi baru, tak apa dengan pemikiran-pemikiran out of the box. Pemikiran konvensional
biasanya ada pada peserta yang sudah bekerja. Peserta yang masih kuliah lebih
kritis, lebih terbuka.
Di antara semua materi, yang paling kurang
saya minati adalah Financial Analysis.
Ini sih lebih karena hitung-hitungannya. Saya tak pernah suka berkecimpung
dengan angka-angka. Tapi materi-materi lainnya dalam pelatihan ini saya akui
sangat bagus. Materi tentang Kaizen membuat
saya kagum dengan semangat kerja orang Jepang. Mereka sangat detail dan
teratur. Materi tentang negosiasi yang dilanjutkan dengan praktek negosiasi
betulan termasuk yang saya suka. Belum lagi materi tentang cara-cara berbisnis
dengan budaya lain. Ini cocok dengan materi kuliah saya di Ilmu Komunikasi
dulu.
Materi yang paling rumit – namun menarik –
adalah materi bertajuk “Charting Your
Course in an Uncertain World”. Intinya sih kita harus mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di masa mendatang, kemungkinan-kemungkinan
yang akan mempengaruhi bisnis kita. Sebagai studi kasus, kami diandaikan
mengelola bisnis Machiya – rumah tradisional Jepang yang bisa disewakan. Kami
diminta membuat kemungkinan kondisi yang bisa terjadi sepuluh tahun mendatang
serta strategi yang digunakan untuk bisa terus survive dengan semua kondisi tersebut.
Banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi. Bukan hanya kondisi
Jepang, kami pun harus memperkirakan kondisi dunia sepuluh tahun lagi. Pikiran
kami dibiarkan berimajinasi seluas-luasnya. Konflik Jepang dan China
memperebutkan pulau sengketa di Laut China Timur juga menjadi bahan untuk
melihat masa depan politik Jepang dengan negara-negara tetangga.
Kami pun mesti jeli dengan kekuatan-kekuatan
baru yang mungkin menggeser dominasi politik dan ekonomi Amerika Serikat. BRIC
(Brazil, Rusia, India, China) menjadi populer karena potensi besar yang
dimiliki. Iya, kami memang hanya membahas bisnis Machiya, namun sebagai awal,
kami diminta menuliskan apa saja yang bisa berdampak pada bisnis ini.
Setiap kelompok kemudian diminta
mempresentasikan hasilnya. Dari semua jawaban, dipilihlah empat jawaban yang
menempati urutan tertinggi. Dari situ, dibuatlah kondisi dunia dan Jepang masa
depan, mulai dari kondisi damai dengan ekonomi bagus, sampai kondisi perang
dengan ekonomi berantakan. Sengaja kondisinya dibuat ekstrim begitu supaya kami
punya daya survival yang tangguh.
Poin utama dari kuliah ini adalah tentang strategi bertahan dalam bisnis
bagaimanapun kondisi yang dihadapi.
Selama dua minggu pelatihan, ada banyak
ilmu yang didapat. Bukan hanya dari para pengajar, namun juga dari sesama
peserta melalui diskusi. Belajarlah
sampai ke Negeri China, demikian yang lazim dikatakan orang. Uh oh, saya lebih memilih belajar di
negeri tetangganya saja.
No comments:
Post a Comment