Sunday 27 October 2013

Den Bosch!

Mendengar nama Den Bosch, saya jadi ingat Jenderal Van Den Bosch yang merealisasikan Tanam Paksa di masa pemerintahannya di Hindia Belanda (belum Indonesia). Saya pernah membaca tentangnya di buku-buku sejarah jaman SD. Namun Den Bosch yang saya maksud kali ini adalah nama sebuah kota di Provinsi Noord Braban.

Pemandangan sepanjang jalan

Nama resmi kota ini adalah s-Hertogenbosch. Untuk menyingkat dan mempermudah, orang sini menyebutnya Den Bosch saja. Saya ke sana tanggal 24 Oktober 2013 bersama rombongan teman-teman VHL untuk mengambil identity card/verblijfstitel di IND. Jadi, dengan kartu tersebut, kami bisa masuk negara-negara Schengen lainnya. Sayang Inggris dan Irlandia tidak masuk ke dalam daftar negara Schengen. 

 Stasiun Den Bosch

Kami berkumpul pukul 9 pagi, dan naik bis tingkat ke sana. Saya langsung memilih duduk dekat jendela, seperti selalu. Pemandangan sepanjang jalan didominasi ladang-ladang hijau dan sapi-sapi lucu. Kadang muncul perumahan dengan gereja yang menjulang tinggi. Den Bosch sama saja dengan Ede atau Wageningen, tidak terlalu besar. Namun bentuk rumah-rumahnya agak mirip dengan yang ada di Amsterdam, meskipun tidak sepadat di sana. Satu jam kemudian, kami telah sampai tujuan. Karena kantor IND di Den Bosch kecil, kami masuk 10 per 10 dipandu oleh Ms. Aske.

Proses pengambilan kartu hanya sebentar, tidak lebih dari 3 menit. Hanya saja karena rombongan banyak, kami selesai pukul 1 siang. Untunglah hari itu cuaca cerah dengan sinar matahari yang hangat. Suhu berada di kisaran 14-16 derajat, kami tak perlu kedinginan selama menunggu di luar.

Bis kembali membawa kami ke kampus. Saya tertidur di sepertiga perjalanan; ngantuk setelah makan roti selai dan anggur untuk lunch. Sebelum pulang, ada pengumuman dari Ms. Sigrid tentang allowance dan asuransi. Anak-anak beasiswa memang tidak bisa jauh-jauh dari topik seputar dua hal itu. Ternyata pengumumannya tidak hanya itu. Ms. Sigrid bilang VHL merencanakan piknik ke Paris, Prancis pada Desember 2013 dan ke Barcelona, Spanyol pada Mei 2014 untuk semua kelas. WHOA!

Have I told you that I love VHL? :)

Race, Kolb, dan Curhat Saat Kuliah


Setelah Introduction Weeks, kuliah yang sebenarnya dimulai tanggal 14 Oktober 2013. Kelas Management of Development mulai dibagi berdasarkan spesialisasinya. Saya bersama 12 teman lain bergabung di kelas Rural Development and Communication.

Mata kuliah pertama adalah Learning and Transformation (L&T) oleh Ms. de Moor. Selama seminggu kami menghabiskan tiga jam di kelas, dilanjut dengan membaca materi di rumah untuk didiskusikan esok harinya.

Ada dua buku wajib untuk L&T: Making Learning Happen oleh Phil Race dan Communication for Rural Innovation oleh Cees Leeuwis. Buku yang pertama mudah dipahami, sedangkan buku kedua punya bahasa abstrak tingkat dewa. Saya perlu mengulang bacaan beberapa kali untuk tahu maksudnya. Kabar baiknya, teman-teman juga punya pengalaman serupa.

Ada tiga kata yang terus diulang di minggu pertama tersebut, yakni knowledge, learning dan transformation. Melalui diskusi, roleplay, dan membaca buku, kami diminta menyimpulkan hubungan di antara ketiga kata tersebut. Tapi sebelum mencapai kesimpulan, kami belajar tentang definisi dan teori tentang ketiganya.

Ripple’s model dari Phil Race adalah salah satu metode pembelajaran yang kami bahas. Race menganggap metodenya lebih aplikatif dan nyata daripada model pembelajaran versi David Kolb yang dianggap ketinggalan jaman.

Menurut Race, ada tujuh faktor yang membuat proses pembelajaran menjadi sukses. Yang pertama adalah wanting (keinginan). Ini bersama dengan needing (kebutuhan) akan menciptakan ripple yang pertama. Wanting dan needing bisa muncul bersamaan, atau hanya muncul salah satu. Akan tetapi keduanya akan memudar tanpa doing (mengerjakan sesuatu). Ripple selanjutnya adalah making sense (membuatnya jadi masuk akal), ini akan diperkuat dengan ripple berikutnya yakni feedback (masukan) dari orang-orang sekitar. Untuk membuat pembelajaran sukses, faktor selanjutnya adalah teaching/explaining (mengajarkan/menjelaskan). Setelahnya, untuk memperdalam pemahaman, diperlukan faktor yang terakhir yakni assessing (penilaian).

Kenapa disebut Ripple’s model? Karena ketujuh faktor tadi seperti ripple (riak air), satu riak memicu riak yang lain. Ketika ketujuh faktor tadi ada, proses pembelajaran dianggap akan mencapai tujuannya yakni understanding (pemahaman yang utuh).

Meskipun aplikatif dalam dunia akademis, model ini punya celah di dua faktor yang terakhir. Kalau seorang guru mendapatkan pemahaman yang semakin utuh dengan mengajarkan sebuah materi ke murid dan memberikan penilaian melalui ujian, hal serupa tidak dapat diterapkan pada jenis learning yang lain seperti  seseorang yang belajar naik sepeda misalnya. Jadi menurut saya, model Race lebih cocok diterapkan untuk para guru atau trainer.

Sementara itu, model pembelajaran versi Kolb lebih umum. Dan lebih abstrak. Kolb membuat modelnya seperti sebuah lingkaran yang tidak terputus. Model ini menjelaskan bagaimana seseorang belajar melalui pengalaman.


Kolb's model of learning

Ada satu hal yang menarik dari mata kuliah ini. Di hari terakhir kelas sebelum autumn break, Ms. De Moor membagi kami menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok menata kursi hingga membentuk lingkaran.

Kami diminta menceritakan kembali tentang apa-apa saja yang telah kami pelajari selama seminggu itu. Uniknya, mendengarkan justru dianggap lebih baik. Kalau tidak benar-benar punya sesuatu yang bermanfaat untuk disampaikan, lebih baik diam dan mendengarkan teman yang lain. Kami harus berbicara dengan suara pelan, bukan selayaknya diskusi. Ketika ada yang bicara, yang lain memperhatikan. Menambahkan kalau ada yang mau ditambahkan. Tidak boleh menyanggah apalagi mencela. Tidak boleh tidak setuju karena apa yang disampaikan adalah refleksi dari apa yang didapat dan dirasa.

Kalau menurut Ms. De Moor, ini seperti meditasi.

Ketika saya mulai berpikir tentang teori-teori, ‘curhatan’ teman-teman ternyata lebih besar dari perkiraan saya. Mereka berpikir tentang bagaimana mengimplementasikan ilmu yang didapat untuk membangun negaranya. Mereka mempertanyakan kenapa pembangunan di negaranya masih tertinggal. Seorang teman perempuan semakin bersemangat ingin memajukan kaum perempuan di tempat dia tinggal setelah mempelajari teori tentang knowledge.

Dan saya? Masih terpaku pada model-model pembelajaran. Duh!

Saya senang dengan ‘curhat’ model tadi. Ini seperti membuka pengetahuan baru, selain tentu saja memperdalam pemahaman tentang materi kuliah. Semoga curhat-curhat seperti itu lebih sering dilakukan.

Tentang Memasak


Whenever I'm hungry >> at home: mom will cook | in Jakarta: I will buy something to eat | here: I will cook.

Sekarang saya punya hobi baru: memasak. Well, bukan hobi dink, tapi kebutuhan. Sebagai pencinta masakan Indonesia, lidah saya masih kurang cocok dengan makanan di Belanda. Apalagi saya harus makan nasi. Belum lagi harganya mahal. Jajanan ringan macam loempia mini isi 6 dihargai 3 euro atau sekitar Rp45.000. Itu bisa buat beli Nasi CapCay Solaria + teh manis panas; masih ada kembaliannya pula.

Oleh karena itu, saya senang ketika tahu akan punya dapur sendiri di kamar. Ketika masih tinggal di Maurits, saya harus berbagi dapur dengan seluruh penghuni Building 86. Masih canggung.

Luas kamar saya di Bornsesteeg 15 meter persegi, dan dibagi menjadi tiga sekat. Yang pertama untuk tempat tidur. Di situ ada kasur, meja untuk belajar, dan lemari. Setelah tempat tidur, ada pintu untuk masuk ke sekat yang kedua, yakni dapur. Dapurnya kecil, cuma ada kompor listrik dan tempat cuci piring. Ada tempat untuk menaruh bumbu juga dan laci-laci kecil di bagian bawahnya. Berhadapan dengan dapur ada pintu lagi untuk toilet dan kamar mandi. Setelah dapur dan toilet ada satu pintu lagi. Itu untuk adalah pintu kamar saya menuju koridor.


Seminggu pertama di Bornsesteeg, saya membeli rice cooker. Modelnya beda dengan yang ada di rumah. Rice cooker yang saya beli berukuran kecil dengan tutup terbuat dari kaca. Harganya 14 euro. Saya juga membeli perlengkapan memasak lainnya. Khusus untuk itu, saya sengaja beli di Emmaus – toko barang bekas di Wageningen. Toh saya tak perlu harus punya – katakan – panci baru untuk memasak. Panci bekas bolehlah. Harganya yang beda jauh jadi pertimbangan saya. Panci baru bisa sekitar 15-30 euro, sementara beli panci bekas di Emmaus hanya 2 euro.

Begitulah. Dengan pengetahuan dan alat memasak yang terbatas, saya mulai memasak di weekend pertama di Bornsesteeg. Nasi yang saya masak di rice cooker matang sesuai harapan saya. Agak lembek, seperti yang saya suka. Nasi di sini seringnya kering dan kadang berbumbu. Mental di lidah saya. Walaupun berhasil memasak nasi, giliran memasak sayur, rasanya jadi sangat.. sangat.. aneh.


Saat itu saya menggunakan bubuk bawang sebagai pengganti bawang. Cuma bubuk bawang dan garam untuk membuat orak-arik. Jangan bayangkan rasanya. Tidak enak. Karena trauma dengan hasil masakan sendiri, hari-hari selanjutnya saya isi dengan makan telur ceplok setiap hari.

Pencerahan datang ketika saya tahu swalayan terdekat dengan Bornsesteeg: C-1000. Beda dengan swalayan lain, C-1000 menyediakan bumbu-bumbu seperti bawang merah dan bawang putih. Dan yang paling menyenangkan adalah saya bisa menemukan Maggi di sini. Tidak ada Masako, Maggi pun jadi.

Pencerahan lebih besar datang setelah saya tahu ada Asian Toko di Ede Centrum. Whoa! Seperti surga di sana. Ada tempe, tahu, cabe rawit, dan bumbu-bumbu yang aneh-aneh seperti kunyit, kemiri, merica juga ada. Wedang Jahe, Kecap Bango, Saos ABC, segala jenis krupuk, ada. Bumbu pecel, Agar-agar Swallow, duh.. Saya bahkan beli cobek di sana.

Sejak itu, saya stop beli jajan di luar. Saya stop beli makan di kantin kampus yang rasanya campur-aduk. Saya memilih masak sendiri karena kangen makanan Indonesia.

Memasak sendiri juga sangat menghemat pengeluaran. Beli 6 potong chicken wings di kedai kebab Turki dihargai 5 euro. Dengan 3 euro, saya bisa beli sekotak chicken wings mentah (isi 15 potong) untuk digoreng sendiri. See?

Untuk melihat-lihat resep sederhana, saya cari di Google atau buka Youtube. Bumbu yang susah dicari saya ganti dengan yang lain, atau saya hilangkan dari resep. Sesimpel itu.

Dua hari lalu saya tetiba ingin makan mie ayam. Setelah searching sana-sini dan tanya teman, saya bisa bikin sendiri. Yang penting rasa dan bentuknya agak mirip. Haha!


Dulu saya heran dengan teman yang rajin memasak. Sekarang saya tahu kenapa.

Thursday 24 October 2013

Pengamatan Sebulan


Saya baru sebulanan tinggal di Belanda. Masih terbilang sebentar sih. Tapi ada beberapa hal yang saya perhatikan dari kehidupan masyarakat di sini. Ini beberapa di antaranya:



1.      Cards…cards…everywhere…

Baru 34 hari di Belanda dan saya sudah punya 5 kartu: money card, OV-Chipkaart, Chipknip, student card dan kartu debit. Money card diberikan kampus untuk men-transfer uang beasiswa. Kartu itu hanya untuk sementara sampai anak-anak beasiswa punya rekening bank. Kartu debit saya dapatkan setelah membuka rekening di bank ABN-Amro. Orang-orang di sini seringkali membayar menggunakan kartu, entah debit entah kredit. Kecuali belanja dengan nominal kecil, jarang saya liat orang belanja di supermarket dan membayar dengan uang.



Oya, bahkan untuk membayar sewa kamar di InFacilities dan Idealis saja harus menggunakan money card (atau selanjutnya kartu debit). Ada mahasiswa yang datang membawa uang tunai untuk membayar biaya sewa, langsung ditolak. Semua harus memakai kartu.



OV-Chipkaart diperlukan untuk membayar biaya transportasi, entah naik bis, trem, atau kereta. Saat naik bis, kita bisa membayar dengan uang euro. Tapi jatuhnya jadi lebih mahal. Sebagai gambaran, tanpa OV-Chipkaart kita harus membayar 2 euro untuk rute dekat-jauh dalam kota. Tapi dengan kartu tersebut, harganya tak sampai 2 euro.



Di kampus, Chipknip paling sering digunakan. Ingin beli kopi? Pakai Chipknip. Ingin minum coklat panas? Beli dengan Chipknip. Ingin fotocopy dan nge-print? Bayar menggunakan Chipknip. Uang betulan kalah dengan Chipknip. Ini membuat saya frustasi di awal-awal. Saya punya uang tapi tidak bisa membeli coklat panas seharga 0.65 euro. Itu kan menyebalkan! Yang sering terjadi, saya pinjam Chipknip teman dan membayarnya dengan uang. Sekarang setelah saya punya Chipknip, semuanya jadi lebih mudah.



2.      Appointment is a must

Ritme kerja orang Belanda teratur. Mereka juga sangat mengapresiasi waktu. Telat 5 menit saja bisa disindir habis oleh dosen. Mungkin karena itulah, apa-apa mereka butuh janjian.



Untuk lapor diri ke kantor walikota, kampus sudah menjadwalkan waktu untuk kami. Kalau dibilang jam 2, kami harus datang jam 2. Cobalah datang jam 1, pasti tidak dilayani.



Ketika saya hendak membuka rekening bank, yang pertama saya datangi adalah Rabo Bank. Ternyata untuk hal sederhana itu saja saya harus membuat appointment terlebih dulu; dan itu butuh waktu sampai tiga minggu. Akhirnya saya memilih mendaftar melalui kampus untuk membuka rekening di ABN-AMRO.



Appointment bukan hanya untuk hal yang formal, orang sini terbiasa membuat appointment untuk berkunjung ke rumah teman atau saudara. Kalau belum kenal dekat, tidak disarankan berkunjung mendadak ke rumah teman. Mereka bisa saja merasa terganggu.



3.      Hoi!

Atau goedenmiddag, goedenmorgen, hello, atau sapaan khas Belanda hoi! Setiap kali naik bis, orang di sini rajin menyapa supir bis. Begitupun sebaliknya. Saya jadi terbawa ikut menyapa juga. Dan oh, itu juga berlaku untuk  kasir di swalayan atau penjual di toko-toko besar ataupun kecil.



4.      You need a bag? Buy one please…

Di swalayan, kantong plastik itu tidak gratis seperti di Indonesia. Karena tidak ingin terus membayar untuk kantong plastik, saya selalu membawa kantong sendiri kemana-mana. Orang di sini juga begitu. Mereka biasanya punya kantong yang lebih tebal untuk menaruh belanjaan mereka. Oya, mereka juga punya semacam troli kecil untuk berbelanja. Dengan begitu, mereka tidak perlu mengangkat belanjaan. Mereka hanya tinggal mendorong/menyeret troli berisi belanjaan tadi.



5.      Dog walking

Orang di sini suka mengajak anjingnya jalan-jalan. Setiap kali ke Centrum, pasti ada saja yang membawa anjingnya. Karena saya takut anjing – selucu apapun itu – biasanya saya memilih menghindar atau setidaknya menjauh. Anjing juga diperbolehkan naik bis. Pernah orang yang duduk di sebelah saya membawa anjingnya. Saya langsung berharap si anjing tidak mencium aroma takut saya.



6.      Biking!

Bicara tentang orang Belanda tanpa membicarakan sepeda? Rasanya kurang lengkap. Bersepeda seperti hal yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Belanda. Setiap saat saya melihat orang-orang bersepeda. Beberapa yang sudah mahir bersepeda dengan hanya satu tangan, sementara tangan yang lain memegang HP. Saya beberapa kali juga melihat orang bersepeda lepas tangan. Sepertinya mudah saja buat mereka.



Awalnya saya sempat niat membeli sepeda, tapi demi melihat student housing yang dekat dengan kampus, saya batalkan niat itu. Saya masih takut naik sepeda. Saya pernah bisa naik sepeda, tapi sekarang sudah tidak pede lagi.



Well, itu beberapa hal yang saya amati sebulanan ini. Mungkin di postingan selanjutnya ada hal-hal lain yang bisa saya tambahkan.