Sabtu, 28 September 2013. Pagi itu saya bangun
dengan penuh semangat karena rencana pergi ke Amsterdam bersama Eva. Malam
sebelumnya saya sudah cek jadwal kereta, saya sudah baca-baca pula buku travelling tentang Belanda. Pukul
sembilan kami sudah ada di Stasiun Ede-Wageningen. Saya top up OV-Chipkaart di stasiun karena saldo saya saat itu tak
mencukupi untuk membeli tiket kereta Ede-Wageningen ke Amsterdam Centraal sebesar
26 euro pp.
Kami naik kereta pukul 09:41 dari platform 3.
Sudah sesak di dalam hingga saya dan Eva – juga beberapa orang lainnya – mesti berdiri
di dekat pintu. Saya sih senang-senang saja, selama bisa melihat pemadangan di
luar melalui kaca jendela. Nyaris sepanjang jalan saya temui ladang-ladang. Dan
oh, akhirnya saya lihat juga sapi dengan corak putih-hitam yang biasanya cuma
saya lihat di kemasan susu kotak.
Beberapa orang mulai turun di Stasiun Utrecht.
Saya dan Eva langsung menduduki kursi yang kosong. Oya, di dalam kereta ternyata
juga ada pedagang asongan. Si Mbak pirang pedagang asongan ini masih muda,
umurnya paling 20-an. Kalau di Indonesia sih dia sudah bisa jadi artis atau
main di OVJ. Dia jual beraneka biskuit dan minuman panas. Sayang saya tak
sempat ambil fotonya.
Kami sampai di Stasiun Amsterdam Centraal pukul
10:39 melalui platform 8a. Selama perjalanan, tidak ada kondektur yang
memeriksa tiket, karena semuanya memang menggunakan OV-Chipkaart. Kami hanya
tinggal menggesekkan kartu ke mesin otomatis sebelum masuk dan sesudah keluar
dari kereta.
Dari Amsterdam Centraal, kami naik Trem Nomor 5
menuju Museum Rijk. Ini perjalanan pertama saya – juga Eva – ke Amsterdam, saya
hanya ingin fokus ke satu tempat saja. Museum Rijk yang saya pilih karena ada
ikon IAmsterdam di sana. Tulisan putih-merah itu sangat ikonik, saya berniat
foto di depannya. Pergi ke tempat lainnya bisa menyusul kemudian. Yang penting
saya sudah tahu cara ke sana.
Akhirnya, Amsterdam! Beda dengan Ede ataupun
Wageningan yang kecil dan tenang, Amsterdam penuh dengan bangunan-bangunan tua
yang tinggi. Rata-rata didominasi warna coklat atau kelabu, berdempetan.
Orang-orang ramai berjalan kaki, terlihat pula rombongan tour mengikuti tour leader-nya. Saya melewati juga
kanal-kanal khas Belanda, toko-toko souvenir, pasar, taman-taman. Semuanya ada
di Amsterdam.
Kami turun di Halte Museumplein dekat Rijk. Dari jauh,
tulisan IAmsterdam sudah terlihat. Orang-orang sudah banyak yang berfoto-foto
di depannya. Di sebelah kiri Museum Rijk, ada Museum Van Gogh.
Saya dan Eva mulai berfoto-foto juga. Saya
memilih huruf A, dan Eva huruf E. Kami tidak masuk museum, mungkin lain kali
kalau ke Amsterdam lagi. Alih-alih, kami malah memilih-milih postcard di museum shop.
Dari Rijk, saya ingin ke Srikandi. Itu adalah
salah satu resto Indonesia yang terkenal di Belanda. Sempat nyasar, akhirnya
kami sampai di Srikandi dan… ternyata sedang direnovasi. Akhirnya saya
memutuskan makan di Sama Sebo, resto Indonesia yang lain dekat Srikandi.
Ruangan di dalam Sama Sebo sempit, tapi
menimbulkan kesan hangat. Ada suara gending juga dan pernak-pernik yang
Indonesia banget. It feels like home.
Demi kangen saya sama masakan Indonesia, saya
langsung pesan nasi, rendang, dan tumis tauge. Eva pilih sate ayam.
Aaah.. saya sampai hampir lupa kalau kuliner
Indonesia sedemikian enaknya! Total tiga makanan tadi 12 euro, mahal kalau
dikurskan ke rupiah. Tapi saya tak mau tahu. Yang penting saya makan rendang
hari itu!
Setelah puas, kenyang, dan bahagia makan di Sama
Sebo, saya dan Eva kembali ke Amsterdam Centraal naik trem. Dari sana, kami
naik kereta ke Ede-Wageningen. Selesai sudah jalan-jalan setengah hari ke
Amsterdam. Lain kali saya ada waktu, saya akan ke sana lagi dan mengeksplor Kota
1000 Kanal itu.
No comments:
Post a Comment