Whenever I'm hungry >> at home: mom will cook | in Jakarta: I will buy something to eat | here: I will cook.
Sekarang saya punya
hobi baru: memasak. Well, bukan hobi
dink, tapi kebutuhan. Sebagai pencinta masakan Indonesia, lidah saya masih
kurang cocok dengan makanan di Belanda. Apalagi saya harus makan nasi. Belum
lagi harganya mahal. Jajanan ringan macam loempia mini isi 6 dihargai 3 euro atau sekitar Rp45.000.
Itu bisa buat beli Nasi CapCay Solaria + teh manis panas; masih ada
kembaliannya pula.
Oleh karena itu, saya
senang ketika tahu akan punya dapur sendiri di kamar. Ketika masih tinggal di Maurits, saya harus
berbagi dapur dengan seluruh penghuni Building 86. Masih canggung.
Luas kamar saya di
Bornsesteeg 15 meter persegi, dan dibagi menjadi tiga sekat. Yang pertama untuk
tempat tidur. Di situ ada kasur, meja untuk belajar, dan lemari. Setelah tempat
tidur, ada pintu untuk masuk ke sekat yang kedua, yakni dapur. Dapurnya kecil,
cuma ada kompor listrik dan tempat cuci piring. Ada tempat untuk menaruh bumbu
juga dan laci-laci kecil di bagian bawahnya. Berhadapan dengan dapur ada pintu lagi
untuk toilet dan kamar mandi. Setelah dapur dan toilet ada satu pintu lagi. Itu
untuk adalah pintu kamar saya menuju koridor.
Seminggu pertama di Bornsesteeg, saya membeli rice cooker. Modelnya beda dengan yang ada di rumah. Rice cooker yang saya beli berukuran kecil dengan tutup terbuat dari kaca. Harganya 14 euro. Saya juga membeli perlengkapan memasak lainnya. Khusus untuk itu, saya sengaja beli di Emmaus – toko barang bekas di Wageningen. Toh saya tak perlu harus punya – katakan – panci baru untuk memasak. Panci bekas bolehlah. Harganya yang beda jauh jadi pertimbangan saya. Panci baru bisa sekitar 15-30 euro, sementara beli panci bekas di Emmaus hanya 2 euro.
Begitulah. Dengan
pengetahuan dan alat memasak yang terbatas, saya mulai memasak di weekend pertama di Bornsesteeg. Nasi
yang saya masak di rice cooker matang
sesuai harapan saya. Agak lembek, seperti yang saya suka. Nasi di sini
seringnya kering dan kadang berbumbu. Mental di lidah saya. Walaupun berhasil memasak nasi, giliran memasak
sayur, rasanya jadi sangat.. sangat.. aneh.
Saat itu saya menggunakan bubuk bawang sebagai pengganti bawang. Cuma bubuk bawang dan garam untuk membuat orak-arik. Jangan bayangkan rasanya. Tidak enak. Karena trauma dengan hasil masakan sendiri, hari-hari selanjutnya saya isi dengan makan telur ceplok setiap hari.
Pencerahan datang
ketika saya tahu swalayan terdekat dengan Bornsesteeg: C-1000. Beda dengan
swalayan lain, C-1000 menyediakan bumbu-bumbu seperti bawang merah dan bawang putih. Dan yang paling menyenangkan adalah saya bisa menemukan Maggi di
sini. Tidak ada Masako, Maggi pun jadi.
Pencerahan lebih
besar datang setelah saya tahu ada Asian Toko di Ede Centrum. Whoa! Seperti
surga di sana. Ada tempe, tahu, cabe rawit, dan bumbu-bumbu yang aneh-aneh
seperti kunyit, kemiri, merica juga ada. Wedang Jahe, Kecap Bango, Saos ABC, segala
jenis krupuk, ada. Bumbu pecel, Agar-agar Swallow, duh.. Saya bahkan beli cobek
di sana.
Sejak itu, saya stop
beli jajan di luar. Saya stop beli makan di kantin kampus yang rasanya
campur-aduk. Saya memilih masak sendiri karena kangen makanan Indonesia.
Memasak sendiri juga sangat
menghemat pengeluaran. Beli 6 potong chicken
wings di kedai kebab Turki dihargai 5 euro. Dengan 3 euro, saya bisa beli sekotak
chicken wings mentah (isi 15 potong) untuk
digoreng sendiri. See?
Untuk melihat-lihat
resep sederhana, saya cari di Google atau buka Youtube. Bumbu yang susah dicari
saya ganti dengan yang lain, atau saya hilangkan dari resep. Sesimpel itu.
Dua hari lalu saya
tetiba ingin makan mie ayam. Setelah searching
sana-sini dan tanya teman, saya bisa bikin sendiri. Yang penting rasa dan
bentuknya agak mirip. Haha!
Dulu saya heran dengan teman yang rajin memasak. Sekarang
saya tahu kenapa.
No comments:
Post a Comment