Monday, 14 October 2013

From Maurits to Bornsesteeg


Selama tinggal di temporary housing di Building 86 Maurits, saya selalu menunggu-nunggu email dari International Student Service (ISS) untuk kepastian permanent housing saya. Eva sudah mendapatkan email setelah seminggu dia tinggal di Maurits. Dia akan pindah ke Asserpark tanggal 3 Oktober.

Ada beberapa permanent housing yang disediakan oleh kampus: Building 9 dan 10 Maurits, Bornsesteeg, Djikgraaf, Asserpark, Beringhem, Haarweg, Hoevestein, dan beberapa tempat lain yang kurang familiar buat saya. Dari semua itu, yang paling dekat adalah Bornsesteeg. Hanya lima menit jalan kaki ke kampus. Saya berharap bisa dapat tempat tinggal di sana.

Hampir dua minggu tinggal di Maurits, saya belum juga dapat email. Teman-teman lain rata-rata sudah dapat email, bahkan ada yang sudah pindah ke tempat baru. Hingga akhirnya tanggal 30 September, saya dapat email juga dari ISS.

Saya deg-degan ketika membuka lampiran email. Apapun yang ada di dalamnya, akan menjadi tempat tinggal saya selama setahun ke depan. Kalau ada yang keberatan dengan housing yang dipilihkan kampus, bisa minta permohonan pindah setelah tinggal selama dua bulan. Tapi itu pun tidak menjamin tempat selanjutnya bisa cocok seperti yang diminta. Ini seperti lotere, ada yang beruntung, banyak yang tidak.

Ketika melihat tempat yang dipilihkan kampus, saya senang bukan main. Bornsesteeg! Bukan hanya itu, saya pun mendapat self-contained room. Artinya, saya mendapat kamar dengan dapur, kamar mandi, dan toilet pribadi. Whoa! Harga kamar per bulan 391 euro, sementara kamar lainnya tanpa fasilitas tersebut dihargai 360 euro. Beda 31 euro per bulan rasanya tak seberapa dibanding kenyamanan yang saya dapat.

Kamar mandi dan toilet pribadi adalah hal yang paling saya harapkan. Selama tinggal di Maurits, saya berbagi keduanya dengan teman-teman yang lain, perempuan ataupun lelaki. Itu sungguh tidak nyaman. Pernah sehabis mandi, saya mendapati lelaki sedang menggosok gigi di wastafel -_____-“

Selain itu, toilet di Maurits tidak dilengkapi shower. Saya mesti membawa dua botol air setiap kali ke sana. Belum lagi kalau malam-malam ingin ke toilet. Kamar saya tidak terlalu jauh dengan toilet, tapi udara sepanjang koridor dingin. Bayangan punya toilet dan kamar mandi sendiri rasanya menyenangkan.

Masalahnya, saya harus pindah tanggal 1 Oktober. Tanggal itu pula saya mesti check out dari Maurits. Saya hanya punya waktu satu hari untuk packing dan pindah ke Bornsesteeg. Masalahnya lagi, terlepas saya benci harus berbagi toilet dan kamar mandi dengan orang lain di Maurits, sebenarnya saya sudah merasa nyaman tinggal di sana. Saya sudah menganggap Maurits sebagai rumah. Saya sudah terbiasa dengan kamar yang hangat. Apalagi saya sudah punya teman juga. Ketika pindah ke tempat baru, artinya saya harus memulai semuanya lagi dari awal.

Pulang kuliah, saya segera menata barang dan memasukannya ke dalam koper. Saya jadi sedih. Padahal baru 12 hari saya tinggal di Building 86.

Esoknya, tanggal 1 Oktober, pagi-pagi sekali saya sudah bangun. Jam tujuh – di luar masih gelap – saya sudah mulai menyeret koper seberat 30 kilo keluar kamar. Yang saya bawa belum semuanya. Sebagian ditinggal di kamar Eva, seperti selimut tebal yang baru saya beli di sini. Rencananya, saya mau ambil lagi sore nanti.

Jalan dari Building 86 ke pintu keluar tidaklah rata. Itu PR besar buat saya. Saya mesti menyeret, mendorong, melakukan apapun supaya koper terus bergerak. Hari masih gelap, di luar dingin, tapi saya sudah berkeringat.

Setelah pintu keluar, PR lainnya lebih sulit. Saya harus melewati jalan setapak yang penuh dengan dedaunan. Setiap kali saya seret koper, daun-daun yang basah itu berkumpul menjadi satu, menghalangi laju roda koper. Saya berhenti beberapa menit sekali untuk menyingkirkan daun-daun itu dari koper saya.

Setelah itu, PR yang sesungguhnya datang ketika saya harus mengangkat koper melewati tangga. Tangganya pendek sih, cuma terdiri dari lima anak tangga untuk menuju halte bis. Tapi saya hampir tidak kuat ketika harus mengangkat koper ke anak tangga pertama. Saya limbung dan hampir jatuh. Untungnya saya dibantu oleh adrenalin.

Setelah naik dan turun tangga membawa-bawa koper, mestinya saya naik bis 88. Tapi demi melihat ada taksi di sana, saya berubah pikiran dan memilih naik taksi. Kalau naik bis 88, saya tetap harus menyeret koper lagi dari halte ke Forum. Kalau naik taksi, saya langsung bisa turun di depan Forum.

Sampai di Forum, saya titipkan koper itu ke Service Point. Pulang kuliah sore itu, saya seret-seret koper lagi ke Bornsesteeg. Kali ini saya dibantu Pastory dari Tanzania yang juga tinggal di Bornsesteeg.

Saya dapat kamar di lantai 20, kamar paling atas. Kamarnya lebih sempit dari kamar saya di Maurits, belum terasa homey. Setelah menaruh barang-barang sekenanya, saya bawa koper kosong ke Maurits dan mengambil sebagian barang yang tertinggal di sana. Proses tadi pagi berulang, walaupun sekarang lebih ringan. Ketika pindahan usai, saya terlalu lelah hingga ingin menangis.

Kamis, 3 Oktober, Eva dan Karen mulai mencicil pindahan juga dari Maurits. Mereka harusnya check out hari itu, tapi karena ada wisata ke museum, keduanya belum bisa ke Idealis untuk mengambil kunci kamar. Mereka menitipkan sebagian barang mereka ke kamar saya. Besoknya, Eva dibantu Shimmy pindah ke Asserpark sementara saya membantu Karen pindah ke Haarweg.

Karen bilang, mestinya saya minta tolong dia untuk membantu saya pindahan. Well, sebenarnya saya tidak enak minta tolong begitu. Kami belum begitu dekat. Karen pun tidak pernah minta saya menolongnya. Saya hanya inisiatif untuk ikut membantu dia pindahan, karena saya tahu, pindahan itu melelahkan kalau dilakukan sendirian.

Kamar Karen di Haarweg lebih besar dari kamar saya, dengan harga lebih mahal. Hanya saja, dia harus berbagi dapur, toilet, dan kamar mandi dengan teman-teman satu koridornya. Haarweg juga tidak bisa dibilang dekat dari Forum Building. Karen tetap harus naik bis ke kampus. Sementara itu, kamar Eva di Asserpark sama luasnya dengan kamar saya. Eva bisa berjalan kaki ke kampus, namun perlu waktu lebih lama dibanding saya. Dia berencana membeli sepeda untuk memudahkannya ke kampus. Dari kami bertiga, hanya kamar saya yang self-contained.

Sekarang sudah dua minggu saya tinggal di Bornsesteeg. Saya sudah kerasan tinggal di sana. Tinggal di lantai 20 punya keuntungan lebih buat saya. Pemandangan dari balik jendela selalu bisa membuat saya terpesona. Kalau pagi sedang cerah, saya bisa lihat semburat merah tanda matahari mulai terbit. Saya anggap itu sebagai bonus.


 



Dari skala 1-10, saya berikan 8.6 untuk Bornsesteeg.

No comments:

Post a Comment