Thursday 25 August 2011

Cinta Sembilan Tiga

Sama seperti berbelas-belas tahun yang lalu, saya rebahan di tempat tidur sementara nenek saya duduk di sebelah. Minggu kedua Ramadhan, saat kangen membawa saya pulang ke rumah. Dongeng tentang Kancil asli Indonesia, cerita tentang Raja dan Burung Bulbul dari Cina, kisah tentang kakak beradik Kyutaro dan Kyusuke dari Jepang diceritakan dengan sesekali jeda karena ada bagian yang terlupa. Kadang ditambah sedikit modifikasi di sini sana. Kalau dulu nenek saya yang menguasai jalannya cerita setiap kali dongeng diceritakan - membuat saya tak sabar menunggu akhirnya - kali ini giliran saya.

Mbah Amin adalah nenek dari garis ibu saya. Nama ‘Amin’ yang melekat pada mbah adalah nama suaminya, yaitu kakek saya, yang meninggal di usia empat puluhan. Siapkan kalkulator. Lahir pada 6 Juni 1918, tahun 2011 ini mbah sudah berumur lebih dari 93 tahun.

Sembilan.puluh.tiga.tahun.


Mbah sudah lupa semua dongeng dan kisah-kisah para rasul yang pernah diceritakannya pada saya. Tapi saya tahu, mbah tidak akan bisa menolak kisah-kisah yang saya tawarkan. Saya tahu mbah suka bercerita dan suka mendengarkan cerita.

Selama bercerita, saya perhatikan mbah. Mbah tertawa kecil ketika saya ceritakan akal cerdik si Kancil mengelabui Pak Tani. Mbah sedih ketika burung Bulbul keluar dari istana karena sang raja mulai tak peduli padanya. Mbah ikut berkomentar, menyayangkan sikap tokoh sang kakak Kyutaro yang antagonis; beberapa kali bertanya kalau ada yang dirasanya kurang jelas. Mungkin seperti itu juga saya ketika masih kecil. Keadaan terbalik. Mbah sekarang yang jadi anak kecilnya.

Wednesday 17 August 2011

Percaya Saja

Di suatu Sabtu sore. Centro Plasa Semanggi jadi tempat tujuan saya untuk membeli baju kerja sekaligus menghabiskan akhir pekan. Satu orang yang pertama terlintas untuk menemani membeli baju adalah Mbak Vita, personal fashion stylist teman baik saya. Dia selalu bisa memilihkan baju yang cocok untuk saya. Lagipula, dia juga suka belanja. Mengajak Mbak Vita ke Centro sama seperti mengajak Stacey McGill ke Bloomingdale atau mengajak Claudia Kishi ke Museum of Modern Art.

Seperti biasa, Centro penuh dengan diskon. Kami mulai melihat-lihat. Prinsip belanja saya sederhana saja, kalau cocok model dan harganya, langsung saya beli. Saya bukan orang yang suka membanding-bandingkan harga atau berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan nilai keekonomian paling tinggi. Saya tidak betah menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanya memilih satu baju.

Ratusan model baju yang ada – entah tergeletak di rak atau tergantung di hanger – membuat saya melakukan penyortiran cepat. Dalam sekali lihat, saya tahu saya menginginkan atau tidak menginginkan baju itu. Saya cenderung menyukai baju dengan model tertentu. Inilah kenapa saya mengajak Mbak Vita. Kami memiliki selera berbeda, tapi dia tahu ketika ada baju yang pas untuk saya pakai. Dia bisa membuat saya memilih baju yang awalnya saya abaikan. Kalau tidak begitu, bisa-bisa saya memilih baju dengan model yang sama terus, hanya beda warna.

Setelah melihat-lihat sebentar, mood saya untuk membeli baju kerja hilang. Tidak ada model yang menarik perhatian saya, bahkan yang juga dipilihkan oleh Mbak Vita. Kalaupun ada, harganya berkali lipat dari budget. Niat awal untuk membeli baju kerja diperluas untuk membeli apa saja di Centro. Saya ingin pulang membawa sesuatu. Saya melihat-lihat kaos, tas, jeans, sepatu. Sekilas-sekilas. Tetap, tidak ada yang saya rasa pas.

Bosan, saya mengajak Mbak Vita ke toko buku bekas di lantai atas. Deretan toko ini adalah yang pasti saya kunjungi setiap ke Plasa Semanggi, selain Gramedia. Mbak Vita sih sudah tahu kebiasaan saya, jadi dia tidak protes ketika saya ajak. Bau baju baru di Centro langsung terganti dengan buku lama. Salah satu buku yang paling saya cari kalau ke sana adalah Petualangan di Sirkus Ajaib oleh Enid Blyton. Kalau buku itu sudah ada di tangan, artinya koleksi seri petualangan saya sudah lengkap. Tapi saya juga suka mencari-cari buku lama yang lain. Masuk dalam daftar pencarian saya adalah Penari Izu, komik Candy-candy, dan you know, serial BSC yang belum saya punya. Saya bisa menghabiskan waktu lebih lama di situ daripada di Centro.

Dari toko buku bekas, kami makan dan mulai mengobrol. Kami terus mengobrol bahkan ketika makanan di depan kami tandas dilahap. Sudah malam ketika kami memutuskan untuk pulang.

Inilah sebenarnya bagian paling penting dari postingan ini.

Untuk pulang ke kos dari Plasa Semanggi, saya biasa naik Kopaja 66 untuk kemudian turun di Sentra Mulia. Dari situ, saya bisa jalan kaki ke kos.

Itu bagian pentingnya?
Bukan.

Untuk naik Kopaja 66, saya harus menunggu di depan Plasa Semanggi; salah satu jalan menuju pintu keluarnya adalah lewat Centro. Mbak Vita ikut mengantar saya ke pintu keluar. Dia naik kendaraan yang berbeda menuju ke kos-nya.

Penting?
Tidak.

Bagian paling pentingnya adalah ketika kami melewati Centro.

Saat itu, saya sudah tidak ada niat untuk membeli baju. Tidak ada niat sama sekali. Kalau mau lebay, saya bisa bilang harapan saya sudah pupus. Ketika sedang berjalan itu, kami melihat ada diskon untuk pembelian tiga item sekaligus. Saya, yang dari tadi bolak-balik melewatinya, mendadak ingin melihat lebih dekat. Niat tidak niat, saya coba dua jeans dan satu kemeja.

Sebagai informasi, saya selalu punya masalah untuk membeli jeans; entah karena kepanjangan atau tidak nyaman dipakai. Jeans yang terakhir saya beli jarang saya pakai karena membuat gerak saya seperti robot.

Saya sudah punya pikiran buruk kalau jeans itu tidak akan muat dan kemeja-nya akan kebesaran.

Salah.

Ketiganya nyaman saya pakai. Tiga-tiganya! Tidak ada yang perlu dipermak. Yang lebih menyenangkan, harganya di bawah budget saya.

Saya langsung bawa ke kasir (keterangan tidak terlalu penting: Laudya Chintya Bella mengantri di kasir sebelah saya). Saya pulang dengan belanjaan dan hati riang.

Sepanjang perjalanan pulang, saya memikirkan kejadian itu. Menembus jalanan Jakarta yang sedang tidak macet, duduk di samping jendela, sebuah kalimat muncul di kepala saya. It happens when you least expect it. Pernah dengar? Ketika sudah tidak terlalu berharap, kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Yang saya alami itu sih baru contoh kecil saja. Coba kalau filosofi ini ditempatkan pada hal lain seperti soal jodoh. Bukan berarti kita hanya menunggu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Bukan berarti kita dengan mudah kehilangan harapan dan menyerah. Kita tetap harus berusaha. Masa sih Tuhan tidak melihat kegigihan kita? Tapi... kalau kita sudah melakukan semuanya dan masih diajak untuk bersabar, terima saja. Mungkin Tuhan punya sesuatu atau seseorang yang lebih baik untuk kita. Percaya saja.


Thursday 11 August 2011

(Menonton) Konser Pertama Kami

Lampu di auditorium semakin meredup sementara panggung di depan semakin meriah dengan warna-warni cahaya yang didominasi biru. Riuh suara penonton membuat atmosfer konser semakin terasa. Semua bersemangat. Kepala semakin didongakkan, kaki semakin dipaksa untuk berjinjit sampai batas maksimal. Ketika denting piano mulai terdengar, pekikan semakin keras memenuhi auditorium. Semua antusias. Semua mengharapkan seseorang muncul di atas panggung. Ketika dia-yang-ditunggu datang, euphoria tak terbendung lagi. Jakarta, 11 Mei 2011. Pukul 20.15, sebuah lagu menggema di Kartika Expo Center Balai Kartini. Lagu itu menjadi pembuka konser bertajuk sama: Black Star. It’s Avril Lavigne, Baby!

Monday 8 August 2011

:)

Kamu punya saat-saat ketika telingamu sensitif dengan lagu cinta-cintaan. Lirik yang dulu hanya sekedar kata, kamu maknai lebih, disesuaikan dengan perasaanmu saat itu. Lagu-lagu itu terdengar lebih indah, tak bosan kamu putar berulang-ulang. Terkadang malah kamu senandungkan; di kamarmu, di kamar mandi, di tempat karaoke...

Bantal di tempat tidurmu, shower di kamar mandi, dan mic di tempat karaoke jadi saksi betapa kamu menyanyikan lagu itu dengan sepenuh hati. Mereka tahu senyum malu-malu dan mata berbinar yang kamu sembunyikan dari teman-temanmu. Mereka tidak tahu siapa yang sedang kamu pikirkan, mereka hanya tahu kamu sedang bahagia.

Kamu punya saat-saat ketika kamu ingin update status di facebook setiap menit. Kamu ingin menarik perhatian orang yang kamu suka dengan status-statusmu. Kamu mencoba melucu, mencoba puitis, mengutip kata-kata bagus dalam film. Kamu menjadi lebih kreatif, menyelipkan kata-kata yang kamu tahu dia tidak akan bisa mengabaikannya. Kamu mengecek status barumu itu dan tersenyum penuh kemenangan ketika dia memberikan komentar atau sekedar memberikan tanda ‘suka’. Kalaupun tidak, kamu masih punya harapan bahwa dia mungkin saja membaca statusmu.

Ketika dia yang update status terbaru, kamu akan selalu jadi yang pertama tahu. Kamu tahan keinginan untuk memberikan komentar atau tanda ‘suka’ di detik pertama. Kamu tidak ingin dia tahu kamu memperhatikannya. Setelah beberapa komentar dari teman-temannya, barulah kamu masuk. Barulah kamu berkomentar. Di beberapa statusnya, kamu bahkan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Bukan kamu tidak peduli, kamu justru menghindari terlihat terlalu peduli.

Kamu punya saat-saat ketika kamu online di Y!M hanya untuk mengecek apakah dia juga online. Ketika dia offline, kamu tak butuh lebih dari lima menit untuk sign out dari Y!M. Namun ketika dia online, kamu akan berpikir keras, mencoba mencari bahan pembicaraan supaya bisa chatting dengannya. Kamu ubah-ubah status di Y!M kamu, kembali mencoba menarik perhatiannya. Kamu tahu, semuanya harus diawali dengan sapaan yang tepat. Kamu ingin mencoba bersikap se-casual mungkin. Kamu menjaga nada ‘suaramu’. Kamu tidak ingin terdengar sangat bersemangat untuk memulai pembicaraan. Kamu tahu ‘halo’ saja tidak cukup, tapi kamu tidak punya pilihan lain.

Segera setelah mengetik empat huruf itu, kamu menutup kotak chatting-mu dengan dia. Seolah-olah kamu tidak mengetik apapun. Seolah-olah kamu bukan yang pertama memulai pembicaraan. Ketika lama tak ada balasan dari dia, kamu mulai tak tahan. Kamu tidak langsung sign out, karena itu hanya semakin menguatkan kalau kamu online hanya untuk dia. Kamu tunggu sampai beberapa saat, membuang waktu dengan menyapa teman-temanmu, sementara kamu masih berharap dia-lah yang membalas sapaanmu.

Ha! Kalau kamu sedang beruntung, dia akan menyapa balik. Dia mengembalikan ‘halo’-mu dengan ‘hai’. Kamu kembali berpikir, berusaha menemukan kata-kata tepat supaya chatting kalian tidak putus sampai di dua kata tujuh huruf itu. Karena berpikir itulah sehingga kamu lama memberikan respon. Kamu, orang yang dikutip kata-katanya oleh teman-temanmu, kehilangan kata-kata di depan dia. Kamu memilah dan memilih kalimat selanjutnya. Kamu sangat berhati-hati. Kamu takut salah bicara. Kamu takut menanyakan hal yang tidak seharusnya ditanyakan. Ah, chatting tidak pernah kamu rasakan serumit ini... Dan juga semenarik ini.

Kamu punya saat-saat ketika apapun mengingatkanmu pada dia. Apapun. Kamu ingin mengatakan padanya kalau kamu mengingatnya ketika sedang menonton bola, ketika melihat birunya langit, ketika mendengarkan lagu ‘The Way You Make Me Feel’ milik Steps, ketika berjalan sambil menghirup udara pagi yang masih basah, ketika merasakan hujan. Namun pada akhirnya, selalu kamu urungkan niat itu. Kamu tahu, menjaga perasaan itu diam-diam akan lebih baik.

Kamu punya saat-saat ketika hal kecil yang dia lakukan punya efek besar untuk kamu. Sungguh kamu tidak berniat menghapalkan semua tentangnya, tapi otak kamu punya kemampuan super saat merekam semua peristiwa yang melibatkan dia.

Kamu punya saat-saat ketika senyum kecilnya membuat harimu cerah.

Kamu punya saat-saat ketika kamu punya jantung yang berdebar lebih kencang dari biasanya, punya mata yang melihat semuanya lebih indah, punya telinga yang mendengarkan semuanya lebih merdu.

You are in love, my friend!
Or maybe not.

It doesn’t matter. It isn't important. All you know is the fact that you LOVE the feeling.
The feeling is…



AWESOME!

Thursday 4 August 2011

Selamat Seperempat Abad! >> 26 Juli 2011

Pagi itu saya datang ke kantor tanpa ekspektasi apapun. Setengah malas, saya seret langkah menuju kubikel saya. Belum juga sampai, teman kerja saya bilang ada paket untuk saya yang datang sehari sebelumnya, saat saya tengah ada acara di Jogja. Dia bilang paket itu dari Filipina.

FILIPINA!

Kado ulang tahun saya yang pertama tahun ini sudah sampai! Saya menyegerakan langkah ke kubikel. Saya tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat paket putih bertuliskan FedEx di meja kerja saya. Hati-hati saya membukanya, meskipun antusias membuat tangan saya tidak bisa tenang. Saat paket itu terbuka, senyum saya semakin lebar. Kalau saja bahagia bisa membuat orang bersinar, teman-teman satu ruangan saya pastilah butuh kacamata hitam saat menatap saya pagi itu. Ookay...

 
 Happy advance birthday! 

Paket untuk saya berisi buku, kartu ucapan, pembatas buku, dan beberapa postcard. Tebak apa yang pertama saya ambil? Seratus untuk yang bilang saya memilih kartu ucapan. You know me so well then. Iya, kartu ucapan jadi yang pertama saya ambil. Saya membacanya dengan pelan, mencermati setiap katanya, dan menebak-nebak karakter si pengirim dari tulisan tangannya. Setelah itu, saya buka halaman pertama buku berjudul ‘A Pocket Book of Short Stories’. Ada kutipan dari Sir Gustave F. yang ditulis tangan: ‘Do not read, as kids do. To amuse yourself, or like the ambitious, for the purpose of instruction. No. Read in order to live.’ Saya akan ingat itu, terutama kalimat yang terakhir.

 
I <3 Postcards!

'Even the most beautiful days eventually have their sunsets'

 
I don't really like pink, until I see this card :)

Setelah kartu ucapan dan buku, saya beralih ke postcard-postcard yang menggambarkan Filipina. Beberapa postcard diberi tulisan tangan di belakangnya. Postcard seperti itu langsung jadi favorit saya. Saya perhatikan juga kata-kata pada pembatas buku: ‘The world would be a comfier, cozier place... if there were more friends like you.’ dan ‘How fast the hours fly that are filled with friendship and laughter.”


That’s just...

AWESOME!