Sama seperti berbelas-belas tahun yang lalu, saya rebahan di tempat tidur sementara nenek saya duduk di sebelah. Minggu kedua Ramadhan, saat kangen membawa saya pulang ke rumah. Dongeng tentang Kancil asli Indonesia, cerita tentang Raja dan Burung Bulbul dari Cina, kisah tentang kakak beradik Kyutaro dan Kyusuke dari Jepang diceritakan dengan sesekali jeda karena ada bagian yang terlupa. Kadang ditambah sedikit modifikasi di sini sana. Kalau dulu nenek saya yang menguasai jalannya cerita setiap kali dongeng diceritakan - membuat saya tak sabar menunggu akhirnya - kali ini giliran saya.
Mbah Amin adalah nenek dari garis ibu saya. Nama ‘Amin’ yang melekat pada mbah adalah nama suaminya, yaitu kakek saya, yang meninggal di usia empat puluhan. Siapkan kalkulator. Lahir pada 6 Juni 1918, tahun 2011 ini mbah sudah berumur lebih dari 93 tahun.
Sembilan.puluh.tiga.tahun.
Mbah sudah lupa semua dongeng dan kisah-kisah para rasul yang pernah diceritakannya pada saya. Tapi saya tahu, mbah tidak akan bisa menolak kisah-kisah yang saya tawarkan. Saya tahu mbah suka bercerita dan suka mendengarkan cerita.
Selama bercerita, saya perhatikan mbah. Mbah tertawa kecil ketika saya ceritakan akal cerdik si Kancil mengelabui Pak Tani. Mbah sedih ketika burung Bulbul keluar dari istana karena sang raja mulai tak peduli padanya. Mbah ikut berkomentar, menyayangkan sikap tokoh sang kakak Kyutaro yang antagonis; beberapa kali bertanya kalau ada yang dirasanya kurang jelas. Mungkin seperti itu juga saya ketika masih kecil. Keadaan terbalik. Mbah sekarang yang jadi anak kecilnya.
Sepanjang ingatan saya, mbah selalu ada. Kedua orang tua saya bekerja dari pagi hingga siang sebagai guru. Selama mereka tidak ada, saya tinggal berdua bersama mbah. Adik-adik saya belum lahir waktu itu.
Mbah mengajari saya dasar-dasar mengaji, mengajarkan bedanya huruf ‘ba’ dan ‘nun’, telaten memberi tahu beda antara huruf ‘ta’ dengan ‘ya’. Mbah adalah orang yang menggandeng tangan saya ketika saya ke TK di hari pertama, mengajari cara menyeberang jalan. Mbah juga yang menjemput saya dan mendengarkan cerita-cerita saya seharian.
Pernah suatu kali teman-teman sepermainan saya punya mainan baru, berupa ikan-ikanan yang bisa dipancing dengan magnet. Warna-warninya membuat mata anak-anak saya menjadi silau. Saya minta dibelikan juga oleh bapak-ibu, dan ditolak. Saya kesal. Mbah rupanya tahu apa yang membuat saya kesal.
Mbah tiba-tiba menyuruh saya mengumpulkan sandal jepit yang sudah tidak terpakai. Saya tidak tahu apa yang akan mbah lakukan. Dengan saya duduk di sampingnya, mbah mulai menggambar pola. Saya acuh tak acuh, masih marah karena tidak dibelikan mainan baru. Mbah mulai memotong sandal mengikuti pola yang sudah dibuatnya. Tak lama, sandal jepit berubah bentuk menjadi ‘ikan-ikan’ berukuran sedang. Bayangkan saja sebuah biskuit berbentuk ikan, hanya saja ini terbuat dari sandal. Di sisi atas ‘ikan-ikan’ itu, mbah masukkan kawat kecil bundar. Mbah juga sudah memikirkan lidi dengan tali pengait sebagai pancingnya.
Saya mulai tertarik. Mbah masuk ke dalam rumah dan keluar membawa baskom berisi air. Ikan dari sandal itu diapungkan di atas air. Mbah mulai memancingnya satu per satu. Saya ikut mencobanya dan merasa senang. Teman saya memang punya ikan bermagnet yang lebih menarik, tapi saya punya nenek yang lebih kreatif.
Mbah memang kreatif.
Saya menemukan ide kreatif mbah yang lain dari buku harian yang ibu tulis untuk saya. Ibu cerita kalau suatu saat ada tukang sate ayam lewat depan rumah. Saya yang masih TK mendekati abang tukang sate dan menghirup aroma sate yang sedang dibakar. Sate itu bukan untuk saya. Ibu tak membelikan sate karena ada lauk hati ayam di rumah, tapi saya tak suka. Saya selalu mual melihat bentuk hati ayam. Melihat saya tak mau jauh-jauh dari tukang sate, mbah tak kehabisan akal
Beberapa saat kemudian, mbah memanggil saya. Mbah bilang satenya sudah ada di dalam rumah. Tak percaya, saya tetap masuk ke dalam. Rupanya benar sudah ada sate di meja makan. Saya makan dengan lahap.
Di buku harian itu, ibu bilang kalau mbah mengiris hati ayam kecil-kecil dan menusukannya pada beberapa batang tusuk sate. Mbah melumurinya dengan kecap. Jadilah sate seperti keinginan saya.
Ketika saya kelas 2 SD, mbah membuatkan saya tas dari sisa-sisa kain wol. Mbah pintar memadukan warna-warni wol sisa tadi hingga terlihat menarik. Sebagai pemanis, mbah menambahkan boneka di salah satu sisinya. Saya menerima tas dari mbah dengan separuh perasaan tak enak. Saya malu memakainya, karena tas teman-teman yang lain lebih bagus. Tas saya beda sendiri. Tapi saya tak sampai hati bilang tidak suka pada mbah. Mbah sudah merajutnya untuk saya.
Saat saya pakai ke sekolah, saya sudah siap diledek teman-teman. Seorang teman menghampiri saya, memegang-megang tas saya. Dia bilang tas-nya bagus. Saya tak malu lagi memakai tas itu.
Setiap kali ada tugas membuat sebuah prakarya, saya selalu bisa mengandalkan mbah. Mbah membantu membuat belimbing dari lilin besar, mengajari menggambar ayam, mengukir gambar burung pada sebilah bambu. Nilai Kesenian saya bagus kalau dibantu mbah. Padahal, mbah bukan pelukis, bukan juga pemahat atau pengukir. Dulu mbah adalah seorang perawat.
Mbah suka menceritakan kisah-kisah jaman perang mulai dari Belanda hingga Jepang. Mbah dulu tinggal bersama budhe-nya yang menikah dengan anak tiri orang Belanda. Budhe-nya tidak punya anak, hingga minta ijin pada orang tua mbah untuk mengasuh mbah dan adiknya. Meskipun pakdhe-nya hanya anak tiri, dia mendapat perlakuan khusus. Buktinya, mbah dan adiknya mendapat pendidikan yang lumayan. Mbah masuk Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dengan bahasa pengantar Belanda. Padahal saat itu banyak bumiputera yang masuk Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Sampai sekarang, sedikit-sedikit mbah masih bisa menggunakan bahasa Belanda. Mbah bahkan punya lagu favorit yang menggunakan lirik bahasa Belanda.
Dulu mbah suka cerita tentang jaman perang. Mbah cerita bagaimana susahnya harus mengungsi dari satu kota ke kota lain. Mbah masih ingat bunyi sirine tanda akan terjadi pengeboman. Mbah akan langsung sembunyi di bunker bersama yang lainnya. Mbah juga cerita kalau dulu ada upacara membungkukkan diri menghadap matahari saat penjajahan Jepang. Saya selalu antusias mendengarkan cerita mbah. Saya seperti belajar sejarah dengan cara yang lebih menarik. Dan lebih dramatis, karena dituturkan langsung oleh seorang yang mengalami masa penjajahan itu.
Saat saya SMP, ada lomba mengarang untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Saya ditunjuk mengikuti lomba itu mewakili kelas. Saya cuma punya satu hari untuk mengumpulkan bahan yang sesuai dengan tema itu. Saat itu Google belum masuk dalam hidup saya. Mbah jadi orang yang saya tanya-tanyai. Mbah adalah Google pertama saya. Saya tanya tentang keadaan Indonesia saat masih dijajah. Saya ingin membuat karangan dengan sejarah yang kental ditambah dengan memunculkan nilai-nilai yang lebih personal. Saya dapat juara satu untuk lomba itu.
Saya lupa kapan mbah mulai pikun. Tiba-tiba mbah lupa mematikan kompor, lupa menaruh barang-barang dan uang. Kami sekeluarga jadi khawatir dan mulai menjauhkan mbah dari dapur. Saya kehilangan masakan mbah yang sederhana namun enak. Saya akan selalu kangen sambal tauge buatan mbah, ataupun bubur ayam dan tahu dengan kecap sambal. Saya juga akan selalu ingat sayur bayam dan perkedel jagung atau kentang yang mbah suka masak.
Karena sudah pikun, mbah mulai menceritakan hal yang sama berulang-ulang. Kadang kami bosan, tapi kami tahu suatu saat kami akan kangen dengan cerita-cerita mbah. Mbah dulu suka sekali membaca, tapi kini kacamata sudah tidak bisa mempertajam pandangannya. Itulah kenapa, saat saya pulang di awal Ramadhan ini saya menceritakan dongeng untuk mbah. Saya tahu mbah bosan karena tidak segesit dulu lagi.
Meskipun begitu, di usia yang ke-93 ini mbah masih sehat. Alhamdulillah. Mbah jarang mengeluh sakit. Saya sudah memegang tiket untuk mudik besok malam. Saya pastikan, akan ada lebih banyak lagi dongeng untuk mbah.
Aku jadi kangen mbahku. :'(
ReplyDeleteAs I said... kayaknya aku ngga punya good memories ttg masa kecilku... :D
ReplyDelete@ Kimi: Aku juga kangen mbah terus :'(
ReplyDelete@ Coach: Lupakan masa lalu, tatap masa depan. This is what I'd say for I'm speechless =D *hug