Tuesday 19 April 2016

Makan Malam wa Jejepangan desu



Awal Desember 2015. Sebuah pesan masuk ke inbox Facebook; dari Ai-san. Dia adalah kenalan saya saat mengikuti management training selama dua minggu di Tokyo tahun 2012. Ai-san bilang pada Maret nanti dia akan datang ke Indonesia untuk menyaksikan gerhana matahari total. Dia mengajak saya dan Mbak Tika – teman training juga – untuk ketemuan pada bulan itu.

Kalau bukan karena berteman di Facebook, mungkin saya sudah lupa-lupa ingat tentang Ai-san. Yang saya tahu, dia adalah orang yang ramah. Tapi kami tidak punya satu memori khusus; beda dengan Wada-san dan Manami-san yang akan selalu saya ingat karena mengajak saya jalan-jalan mulai dari Akihabara hingga Fujiyama.

Tipikal orang Jepang yang detail dan well-planned, Ai-san menanyakan resto lokal yang enak untuk ketemuan dan memastikan kalau kami tidak ada acara di hari yang ditentukan. Dia juga menanyakan hal-hal lain seperti cuaca di Jakarta pada bulan Maret, baju yang mesti dibawa, sampai tempat-tempat wisata yang oke buat dikunjungi.

Saat itu, Maret terasa masih sangat lama namun hari terus berganti, tahun berganti, dan tadaa..awal Maret mulai datang! Ai-san hanya punya waktu seminggu di Indonesia, tetapi sebagian besar akan dia habiskan di Belitung untuk mengejar gerhana matahari. Waktu lowong dia hanya sehari.

Kecuali dengan teman-teman dekat, saya selalu nervous untuk sebuah meet up. Saat itu saya berharap kalau Ai-san akan terlalu sibuk hingga membatalkan rencana ketemuan dengan kami. Saya sempat berpikir untuk tidak available di hari itu. Toh masih ada Mbak Tika.

Setelah bolak-balik berkirim pesan, akhirnya ditentukan kalau kami akan ketemuan di Lotte Avenue pada hari Minggu tanggal 6 Maret pukul 18.30. Kami berencana makan malam bareng di Seribu Rasa karena Ai-san ingin mencicipi makanan Indonesia.

H-1, Mbak Tika mendadak tidak bisa datang. Melihat Ai-san yang antusias – terlihat dari pesan-pesan yang dia kirimkan lewat inbox, sepertinya saya tidak tega untuk ikut membatalkan janjian yang – mind you – sudah Ai-san pastikan dari tiga bulan sebelumnya.

Uh well, ternyata Ai-san akan mengajak beberapa temannya juga. Kalau bertemu dengan Ai-san saja sudah membuat saya mulas, apalagi kalau mesti bertemu teman-temannya yang lain. Bagaimana kalau nanti awkward? Bagaimana kalau nanti garing? Bagaimana kalau nanti saya membosankan? Saya sempat memikirkan opsi mengajak teman saya juga, but then I thought it was the battle with my own self that I should overcome.

Minggu siang saya sempat ketemuan dengan besties dan makan bubur di Ta Wan yang enak luar biasa. Kalau orang bule punya sup ayam, saya memilih bubur Ta Wan kalau sedang sakit. Dari beberapa hari sebelumnya saya sudah tidak enak badan, mungkin syndrom gugup karena meet up ini. Iya, saya bisa sepayah itu.

Setelah sholat Maghrib, saya langsung keluar kosan ke Lotte Avenue. Saya punya waktu 15 menit sebelum janjian pukul 18.30. Karena tahu betul orang Jepang itu tepat waktu, saya mencoba untuk tidak terlambat. Darn! Tidak ada ojek. Jadilah saya berjalan kaki ke Lotte. Itu sebenarnya tidak masalah…

…kalau saja tidak hujan.

WOI!! T_T

Hujan masih rintik ketika saya melewati Ambassador tetapi semakin deras ketika mulai mendekati Mega Kuningan. Saya lari..lari..daaaaan lari hingga sampai di Lotte Avenue. Rambut sudah lepek karena basah, kacamata penuh dengan air, baju terasa lembab. 

18.35.

Saya terlambat 5 menit dan di inbox Facebook, Ai-san sudah menanyakan kabar. Dia sudah sampai sejak setengah jam sebelumnya.

Ketika akhirnya bertemu dengan Ai-san, saya hampir-hampir tidak mengenalinya. Rambutnya lebih panjang, dan well, itu ternyata membuat dia terlihat berbeda.

Saya minta maaf karena terlambat dan Ai-san langsung mengajak saya menemui teman-temannya; mereka sudah menunggu di Starbucks. Langkah saya semakin pelan melihat mereka duduk bergerombolan. Total ada enam orang yang Ai-san ajak.

ENAM. ORANG.

Saya ingin pulang ke kosan dan membaca Miiko sambil tiduran.

Alih-alih, saya behave dan menyalami mereka satu per satu. Ai-san memperkenalkan masing-masing orang; mulai dari yang terlihat paling senior (kepala observatorium) sampai anak kecil yang paling imut dengan pipi merah bernama Taiyo. Selain mereka, ada pula fotografer, juru kamera, dan kru TV lainnya. Taiyo sendiri adalah semacam duta anak untuk memperkenalkan budaya Jepang kepada anak-anak Indonesia.

Ai-san bilang rombongannya tidak bisa berbahasa Inggris, kecuali Taiyo. Itu pun sedikit-sedikit. Tugas Ai-san dalam ekspedisi memburu gerhana matahari adalah sebagai penerjemah dari Jepang ke Inggris, dan sebaliknya.

Dari Starbucks, kami naik ke lantai 3F menuju Seribu Rasa. Saya ngobrol dengan Ai-san.

“Taiyo means..sun, right?”
“Yes, how do you know?”

Saya mau bilang kalau saya tahu dari Bukiyou Taiyou-nya SKE dan Boku no Taiyou-nya AKB, tapi saya urungkan.

Sampai di Seribu Rasa, kami mulai memesan makanan. Ai-san banyak bertanya tentang makanan Indonesia, dan dia juga menerjemahkan pertanyaan dari teman-temannya. Semakin lokal, dia semakin suka. Salah satu yang saya pilihkan adalah sayur daun singkong karena itu Indonesia banget. Kata Ai-san, itu enak.

Saya pikir makan malam kami akan menjadi super awkward karena obrolan yang terbatas.

Well, saya salah. Teman-teman Ai-san ngobrol sendiri-sendiri dan saya terus ngobrol dengan Ai-san karena cuma dia yang bisa Bahasa Inggris; dan karena dia menyenangkan dan membuat nyaman. Serius. Kami cerita banyak hal, mulai dari update pekerjaan masing-masing (tipikal Jepang), jadwal dia selama di Belitung, Kawabata Yasunari, Gunung Fuji, sampai ngobrol soal teman-teman training dulu. Ini pertama kalinya dia ke Indonesia dan dia belum menemukan hal yang bisa dikomplain.

Ai-san ternyata membawa oleh-oleh dari Jepang. Saya seriusan lupa kalau orang Jepang suka memberi kado.

You can open it now,” katanya.

Saya buka dan ada tumbler Starbucks di dalamnya. Khas Kyoto. Duh, saya sukaaaa! Ada juga permen manis bermotif sakura dan bunganya. Rasanya saya tidak tega memakannya karena terlalu imut. Ai-san juga membawa kado serupa untuk Mbak Tika yang dititipkannya pada saya.

Taiyo sempat mempertontonkan tarian Jepang (mirip wotagei) dan Ai-san bilang kalau Taiyo bercita-cita ingin jadi aktor. Dan..ehmm..Taiyo juga suka dengan idol group. You know who. Anyway, ketika saya tanya pendapat Ai-san tentang AKB, dia menjawab diplomatis begini, “Well..they’re just idols.”

Ookay…

Saya perhatikan, Ai-san kadang memanggil Taiyo dengan sebutan Taiyo-kun, tapi pernah juga dia memanggil Taiyo-chan. Setahu saya, –kun  adalah panggilan untuk anak lelaki dan –chan untuk anak perempuan atau untuk anak laki-laki yang masih kecil seperti Shinnosuke Nohara aka Shinchan. Kata Ai-san, normalnya dia akan memanggil Taiyo dengan Taiyo-kun, tapi kalau dia ingin meminta tolong - misalnya, dia akan membuatnya terdengar lebih imut dengan memanggilnya Taiyo-chan. Saya jadi memperhatikan penggunaan dua sufiks tadi. Ini yang saya ingat.

“Taiyo-kun, how old are you?”
“Taiyo-chaaaan, please pass me the food..”

Noted.

Ai-san tinggal di prefecture Miyazaki. Jauh di selatan sana. Dekat dengan Sashihara Rino di HKT.

“Come visit me when you’re in Japan. Stay at my place so you don’t need to spend money for hotel. I’ll take you to onshen; we have nice one near my house.”

I know she’s just being nice tapi itu saja sudah bikin bahagia. Kalau dia tinggal dekat Tokyo, mungkin saya akan usahakan mampir untuk hang out makan monjayaki bareng.

Kami sempat foto-foto beberapa kali sebelum makan malam usai – yang ditraktir oleh Kepala Observatorium. Oya, bapak ini sempat bingung saat saya hanya memilih air mineral untuk minum. Dia bilang di Jepang kalaupun ada yang pesan air mineral, mereka pasti pesan minuman lainnya juga seperti jus. Tapi karena saya menghindari kekenyangan, saya hanya pesan air mineral saja.

Selesai makan, kami turun menuju lobi. Saat menggunakan eskalator, tanpa komando mereka langsung berdiri satu-satu di baris kiri. Ai-san lalu menjelaskan beda norma eskalator di Tokyo dan Osaka. Di Tokyo, kita harus berdiri di sebelah kiri sementara Osaka di sebelah kanan. Dia juga menjelasakan tentang asal-muasal aturan itu. Menarik!

Ai-san memesan tiga taksi untuk membawa mereka kembali ke hotel. Setelah dadah-dadah dan melihat taksi mereka meninggalkan Lotte Avenue, saya pun berjalan pulang ke kosan.

Kami hanya bertemu sekitar dua jam tetapi ada banyak insights yang saya dapatkan. Mungkin karena saya sedang tertarik lagi dengan jejepangan, jadi saya perhatikan setiap detailnya; baik yang subtle ataupun tidak. Dan serius, ngobrol dengan Ai-san itu menyenangkan. She was interested with what I said, and I was too with what she said. She paid attention and answered my question with great details. My English is far from perfect, but talking to her made me forget about the language barriers. It was so easy I didn’t put much efforts. It was that easy like I talked with a long-lost friend, not just a casual acquaintance I’ve just met after years.

Meeting up with new people is like a battle with my own self that I should overcome. And you know what, I think I won the battle that night.


No comments:

Post a Comment