Thursday 16 August 2012

Miss L

“What will you do if you win million dollars lottery?” she asked us.

That night we learned about ‘conditional if’. I didn’t pay much attention to the grammar – actually I forgot whether we did it good or not – but I couldn’t forget the answers.

A friend said that she would buy a mini cooper; another said she would save it so she needed not to be worry about her future. Some said about going travelling around the world.

“Easy. I will spend the money to go to UK and Ireland.”

That’s what I said. I couldn’t think anything else. UK and Ireland have been my dream places to go. If I have so much money, those are definitely where I will go.

Each of us had given the answers. Now everybody stared at her. There were six people in the room; she was the only one with the blonde hair. We were expecting her answer.

“If I win million dollars lottery, I will build schools in Africa,” she said.

I could feel heat in my cheeks, embarrassed with my own answer. It’s a ‘conditional if’ question, I know. But somehow, the answer could show who you are, what you like, what you want to do in life. I felt so selfish. Oh well, maybe I took it too seriously.

Her name is L. Let’s just call her Miss L. She’s teaching English in one of the most credible English courses in Jakarta. I’m lucky to be her student. Twice.

Twice?

Yes. I was in Intermediate Class before I join Conversation Class. Both are taught by her.

Miss L’s younger than me, younger than most of her students. She’s just in her early twenties. In the first meeting, she said that she comes from England; north part of England (I practically had those starry eyes when she said ‘England’). This might explain her accent.

Talking about accent, hers is different with British accent that I used to hear. Her accent is… what we call it… unique. When she says ‘cat’, most students will hear the same word rhymes with ‘cut’ in American accent. When she says ‘have’ without putting it in a sentence, students will probably hear ‘half’. She’s jokingly said that she’s better learning American accent more often.

Since we are in Conversation Class, what we do for two hours straight – twice a week – is speaking English. There’s a time when I can’t believe how good she is in speaking English, until I realize that she’s a British.

Conversation Class is designed to make students comfortable to speak. Miss L is very good at it. I notice that she always says ‘good’ or ‘very good’ every time we finished speaking. She encourages us. She corrects the grammar or the vocabulary without making us feel miserable. Oh well, that’s what teachers do, right?

One thing that I envy most about Miss L is the fact that she’s travelled to 32 countries. 32 COUNTRIES!

Europe. Checked. America. Checked. Africa. Checked. Asia. Checked. As far as I could remember, it’s only Australia the continent she never goes to. I believe it’s only the matter of time before she goes there.

Last week we talked about being expert in something. Miss L asked us to write down three things which we are expert in. I found it hard to answer. I like reading, writing, listening to music. But I doubt it shows what I’m very good at. I just like some books, certain musicians. I do it for fun. And me, being expert in writing? I don’t think so. Expert is something that’s bigger than ‘just good’.

When the questions turned to Miss L, her answers proved that she’s Jack of All Trades (I have just learned about this expression). Kinda. She said she’s very good at playing piano. She could play a song just by listening to it. Playing tennis is something she’s great in, too. She told something about a tennis competition in her county, but I forget the detail. I just remember that when she was in a summer camp in US, she taught children playing tennis. Cool!

You can say Miss L is an easy going, adventurous person. But she’s very concern in voluntary actions. She became a volunteer in some country in Africa. In the first weeks of her stay in Jakarta, she asked us about any voluntary action in Jakarta. She wants to join it. Isn’t it nice?

I like talking about this Conversation Class to my close friends or even my co-workers. I will give them new words I learn; I will use it in our English conversation. They are so curious with this Miss L.

“Picture or she doesn’t exist,” they said.

Haha! No, I’m kidding. But some of them really want to know what Miss L looks like. Problem is, I’m not sure she will be okay to take a picture with. She’s a bit ‘complained’ about how often Indonesian people ask her to take a picture with them. You know, just because she’s a ‘bule’. Below is the best picture I could give to you.



Well, she will just spend a year in Jakarta. She might move to another city, or even another country. We may not meet again after the class finished. But I will remember her as my first English-native-speaker teacher, I will remember her as the first British I talk to.

Ps. I just call her Miss L in purpose. I respect her privacy so I don’t give her name in this post.

Pps. I really hope I can speak English better after joining this class. My classmates and I make an agreement to stay 15 minutes longer after Miss L teaches us. We will talk about anything, including the topic we discussed that day with Miss L. When I’m home, I record myself speaking English for at least 10 minutes in my voice recorder. It helps me practicing English.




Friday 10 August 2012

Saengil Chukha Hamnida!

Menjelang tengah malam. Kos sunyi senyap. Saya masih sibuk berkutat dengan laptop, menulis untuk update posting terbaru di blog. Kopi di cangkir masih tersisa setengah, saya sengaja menunda waktu untuk menghabiskannya. Toh malam masih panjang.

Terdengar suara ketukan. Saya telengkan kepala, mencari-cari asal suara. Ah, rupanya anak kos belakang! Kos saya berada di daerah padat penduduk. Terletak dekat Segitiga Emas Jakarta, daerah ini punya banyak tempat kos untuk mengakomodasi pegawai atau karyawan yang ingin tinggal dekat tempat kerja. Kiri, kanan, depan, belakang kos saya, semuanya kos atau kontrakan.

Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras, lebih demanding. Saya lihat jam dinding. Jam 12 lewat beberapa menit.

Sepertinya tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Wajar, sudah malam begini! Si pengetuk tak menyerah, kembali ia mengetuk – kali ini sembari menyebut nama seseorang; mungkin nama orang yang ia harapkan membuka pintu.

Usahanya berhasil, suara kunci terdengar. Pintu berkereket pelan, tanda ada orang yang membukanya. Di detik setelahnya, saya terpukau dengan kejadian tengah malam paling manis, kejadian yang tak bosan saya ceritakan berulang-ulang jika ada yang mau mendengarkan.

“Saengil chukha hamnida! Blabla…”

Saya tak hapal kelanjutannya, tapi itu sebuah lagu! Saya pertegas lagi: sebuah lagu ulang tahun versi Korea yang dinyanyikan jam 12 malam! Live!

Diiringi tepukan, lagu itu dinyanyikan oleh beberapa remaja perempuan; suara mereka menunjukkan itu. Di luar dugaan saya, ternyata ada beberapa alih-alih satu orang yang tadi berdiri di depan pintu; berharap pintu terbuka. Kaget campur senang terdengar dari antusias suara si birthday girl.

Awwww… makasih! Makasih!”

Rupanya ada kue ulang tahun yang dibawa. “Awww..” dan “oooh..” kembali terdengar. Kini si birthday girl meniup lilin setelah diberi komando oleh teman-temannya. Tepuk tangan sekali lagi merobek sepinya malam.

Tembok kamar membatasi pandangan saya pada pertunjukan manis tersebut. Hanya ada ventilasi di bagian tembok paling atas, tak mungkin saya mengintip lewat situ. Satu-satunya jendela justru menghadap kamar teman kos seberang saya. Jadilah saya hanya mendengar dan berusaha mereka-reka detail kejadian menjelang dini hari tersebut.

Setelah tiup lilin usai, mereka mulai mengobrol – berbisik-bisik, lebih tepatnya. Sesekali tawa mereka tak tertahankan, dan “sssstt…” terdengar sebelum mereka membangunkan tetangga kiri-kanan. Suara mereka semakin lama semakin hilang, saya pikir pastilah si tuan rumah telah menyilakan mereka masuk.

Kejadian itu terus membekas di benak saya. Ucapan ulang tahun tepat di jam 12 malam saja sudah langka, apalagi sampai rela berkunjung ke rumah sahabat tengah malam dan menyanyikan lagu untuknya bersama-sama. Membawa kue pula!

Kejadian itu mungkin biasa di beberapa tahun lalu, tapi ini luar biasa untuk jaman ketika ucapan ulang tahun bisa disampaikan hanya dengan menulis HaBeDe di wall Facebook. Kejadian ini mungkin sederhana, tapi tidak untuk jaman ketika Facebook mengambil alih ingatan kita tentang hari istimewa seseorang.

Itulah sebabnya, menjelang ulang tahun saya di akhir Juli kemarin, saya sengaja deactivate akun Facebook. Well, tak banyak yang mengirimkan ucapan di sms atau telepon dibanding tahun-tahun lalu. Tapi saya tahu, mereka yang mengucapkan benar-benar mengingatnya. Bahkan kalaupun mereka dibantu oleh reminder HP, itu artinya mereka sengaja menyisihkan waktu menulis tanggal lahir saya di HP mereka; sesuatu yang lebih bermakna dibanding diingatkan oleh sebuah jejaring sosial.

26 Juli 2012. Hari ulang tahun saya berlalu biasa saja. Sehari sebelumnya, teman baik yang mendapat beasiswa ke Australia menyempatkan diri mengirimkan kado beserta kartu ucapan. Ketika sahur, keluarga satu per satu mulai menelepon. Telepon dan sms dari sahabat baik mulai masuk dari pagi hingga siang hari.

Sehari setelah 26 Juli. Saya pulang ke kos setelah makan malam dengan seorang teman. Aroma ulang tahun sudah menguap tak bersisa di hari itu, sebelum seorang teman kos memberikan bingkisan berwarna silver dengan pita merah muda di atasnya. Kado untuk saya!

“Tadi ada mencari-cari. Perempuan, berambut panjang.”

Saya mengingat-ingat teman-teman perempuan saya. Banyak. Teman berambut panjang? Ada beberapa, sebagian besar teman saya berjilbab. Tapi yang mau datang ke kos hanya untuk memberikan kado? Saya tak bisa menebaknya.

Saya buka kado itu cepat-cepat. Ah, buku Hunger Games! Satu paket lengkap! Ada kartu ucapan di dalamnya. Melihat nama pengirimnya, saya tak tahu harus bereaksi apa.

Saya pernah berteman baik dengannya saat kuliah. Bertiga, dengan seorang teman yang lain. Kami sering saling menginap di kos satu sama lain, memasak dan menonton film sampai larut malam. Di setiap tugas kampus, kami bertiga selalu di satu kelompok yang sama. Ketika salah satu dari kami berulang tahun, dua yang lain akan memberikan kado atau bersusah payah memberikan kue dengan lilin menyala di atasnya.

Menjelang semester akhir, saya dan si teman ini bertengkar. Bukan pertengkaran biasa, karena setelah itu pertemanan kami tak pernah sama lagi. Kami saling menghindar, tak seakrab di hari-hari kemarin.

Kami sama-sama bekerja di Jakarta, namun tak pernah bertemu sampai di akhir 2011 lalu. Setelah tiga tahun, hanya sekali itu kami bertemu. Agak canggung obrolan kami malam itu. Aneh karena sebelumnya kami pernah berteman akrab.

Ia menceritakan rencananya menikah, memperkenalkan pacarnya melalui foto-foto mereka berdua. Tampan! Well, sebanding dengan si teman yang cantik. Mau tak mau saya mengingat mantan pacarnya – yang saya pikir akan jadi pendampingnya kelak –, mengingat kisah-kisah mereka. Ah, saya lupa kalau kami dulu pernah berbagi cerita tanpa canggung seperti ini.

Ia sempat main ke kos sebelum pulang, dan saya tak menyangka ia kembali datang untuk memberikan kado. Mengingat hari ulang tahun saya saja sudah akan saya hargai sungguh-sungguh.

Saya menelponnya untuk mengucapkan terima kasih. Ia minta maaf karena terlambat memberikan kado, ia sedang sakit di hari sebelumnya. Saya lagi-lagi tak tahu harus berkata apa, selain kembali mengucapkan terima kasih. Canggung.

Sampai dua-tiga hari berikutnya, ucapan-ucapan masih datang dari teman-teman lain. Sayangnya, ada satu nama yang terlewat hingga di hari saya menulis ini. Padahal saya sempat bertaruh bahwa satu nama ini adalah teman pertama yang akan memberikan ucapan selamat. Tapi hey, manusia pada dasarnya memang mudah lupa kan?

Mungkin teman saya tidak banyak. Tapi saya tahu, mereka ada. Saya sangat bersyukur untuk itu.

Dan oh, saya tidak bisa tidak teringat pada kutipan dari buku Neil Pasricha di bawah ini ketika pertama membuka kartu ucapan dari si teman. Ia seolah berkata:

“I’d like to get together again. I remember our
laughs and know how busy we’ve been. But I hope you agree
that, since life’s short and always wavering, it’s even more
important our friendship is worth enjoying . . . and worth savoring.”

Selamat ulang tahun!