Menjelang tengah malam. Kos sunyi senyap. Saya masih sibuk
berkutat dengan laptop, menulis untuk update posting terbaru di blog. Kopi di
cangkir masih tersisa setengah, saya sengaja menunda waktu untuk
menghabiskannya. Toh malam masih panjang.
Terdengar suara ketukan. Saya telengkan kepala,
mencari-cari asal suara. Ah, rupanya anak kos belakang! Kos saya berada di daerah
padat penduduk. Terletak dekat Segitiga Emas Jakarta, daerah ini punya banyak
tempat kos untuk mengakomodasi pegawai atau karyawan yang ingin tinggal dekat tempat
kerja. Kiri, kanan, depan, belakang kos saya, semuanya kos atau
kontrakan.
Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras, lebih demanding. Saya lihat jam dinding. Jam
12 lewat beberapa menit.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Wajar,
sudah malam begini! Si pengetuk tak menyerah, kembali ia mengetuk – kali ini
sembari menyebut nama seseorang; mungkin nama orang yang ia harapkan membuka
pintu.
Usahanya berhasil, suara kunci terdengar. Pintu berkereket
pelan, tanda ada orang yang membukanya. Di detik setelahnya, saya terpukau
dengan kejadian tengah malam paling
manis, kejadian yang tak bosan saya ceritakan berulang-ulang jika ada yang mau
mendengarkan.
“Saengil chukha hamnida! Blabla…”
Saya
tak hapal kelanjutannya, tapi itu sebuah lagu! Saya pertegas lagi: sebuah lagu ulang
tahun versi Korea yang dinyanyikan jam 12 malam! Live!
Diiringi
tepukan, lagu itu dinyanyikan oleh beberapa remaja perempuan; suara mereka
menunjukkan itu. Di luar dugaan saya, ternyata ada beberapa
alih-alih
satu orang yang tadi berdiri di depan pintu;
berharap pintu terbuka. Kaget campur senang terdengar dari antusias suara si birthday
girl.
“Awwww… makasih! Makasih!”
Rupanya
ada kue ulang tahun yang dibawa. “Awww..” dan “oooh..” kembali terdengar. Kini
si birthday girl meniup lilin setelah diberi
komando oleh teman-temannya. Tepuk tangan sekali lagi merobek sepinya malam.
Tembok
kamar membatasi pandangan saya pada pertunjukan manis tersebut. Hanya ada
ventilasi di bagian tembok paling atas, tak mungkin saya mengintip lewat situ. Satu-satunya
jendela justru menghadap kamar teman kos seberang saya. Jadilah saya hanya
mendengar dan berusaha mereka-reka detail kejadian menjelang dini hari
tersebut.
Setelah
tiup lilin usai, mereka mulai mengobrol – berbisik-bisik, lebih tepatnya.
Sesekali tawa mereka tak tertahankan, dan “sssstt…” terdengar sebelum mereka
membangunkan tetangga kiri-kanan. Suara mereka semakin lama semakin hilang,
saya pikir pastilah si tuan rumah telah menyilakan mereka masuk.
Kejadian
itu terus membekas di benak saya. Ucapan ulang tahun tepat di jam 12 malam saja
sudah langka, apalagi sampai rela berkunjung ke rumah sahabat tengah malam dan
menyanyikan lagu untuknya bersama-sama. Membawa kue pula!
Kejadian
itu mungkin biasa di beberapa tahun lalu, tapi ini luar biasa untuk jaman
ketika ucapan ulang tahun bisa disampaikan hanya dengan menulis HaBeDe di wall
Facebook.
Kejadian ini mungkin sederhana, tapi tidak untuk jaman ketika Facebook
mengambil alih ingatan kita tentang hari istimewa seseorang.
Itulah
sebabnya, menjelang ulang tahun saya di akhir Juli kemarin, saya sengaja deactivate
akun
Facebook. Well, tak banyak yang mengirimkan ucapan
di sms atau telepon dibanding tahun-tahun lalu. Tapi saya tahu, mereka yang
mengucapkan benar-benar mengingatnya. Bahkan kalaupun mereka dibantu oleh reminder
HP,
itu artinya mereka sengaja menyisihkan waktu menulis tanggal lahir saya di HP
mereka; sesuatu yang lebih bermakna dibanding diingatkan oleh sebuah jejaring
sosial.
26
Juli 2012. Hari ulang tahun saya berlalu biasa saja. Sehari sebelumnya, teman baik yang mendapat beasiswa ke Australia menyempatkan diri mengirimkan kado
beserta kartu ucapan. Ketika sahur, keluarga satu per satu mulai menelepon.
Telepon dan sms dari sahabat baik mulai masuk dari pagi hingga siang hari.
Sehari
setelah 26 Juli. Saya pulang ke kos setelah makan malam dengan seorang teman. Aroma
ulang tahun sudah menguap tak bersisa di hari itu, sebelum seorang teman kos
memberikan bingkisan berwarna silver dengan pita merah muda di atasnya. Kado
untuk saya!
“Tadi
ada mencari-cari. Perempuan, berambut panjang.”
Saya
mengingat-ingat teman-teman perempuan saya. Banyak. Teman berambut panjang? Ada
beberapa, sebagian besar teman saya berjilbab. Tapi yang mau datang ke kos
hanya untuk memberikan kado? Saya tak bisa menebaknya.
Saya buka
kado itu cepat-cepat. Ah, buku Hunger Games! Satu paket lengkap! Ada kartu
ucapan di dalamnya. Melihat nama pengirimnya, saya tak tahu harus bereaksi apa.
Saya
pernah berteman baik dengannya saat kuliah. Bertiga, dengan seorang teman yang
lain. Kami sering saling menginap di kos satu sama lain, memasak dan menonton
film sampai larut malam. Di setiap tugas kampus, kami bertiga selalu di satu
kelompok yang sama. Ketika salah satu dari kami berulang tahun, dua yang lain
akan memberikan kado atau bersusah payah memberikan kue dengan lilin menyala di
atasnya.
Menjelang semester
akhir, saya dan si teman ini bertengkar. Bukan pertengkaran
biasa, karena setelah itu pertemanan kami tak pernah sama lagi. Kami saling
menghindar, tak seakrab di hari-hari kemarin.
Kami
sama-sama bekerja di Jakarta, namun tak pernah bertemu sampai di akhir 2011
lalu. Setelah tiga tahun, hanya sekali itu kami bertemu. Agak canggung obrolan
kami malam itu. Aneh karena sebelumnya kami pernah berteman akrab.
Ia
menceritakan rencananya menikah, memperkenalkan pacarnya melalui foto-foto
mereka berdua. Tampan! Well,
sebanding
dengan si teman yang cantik. Mau tak mau saya mengingat mantan pacarnya – yang saya
pikir akan jadi pendampingnya kelak –, mengingat kisah-kisah mereka. Ah, saya
lupa kalau kami dulu pernah berbagi cerita tanpa canggung seperti ini.
Ia
sempat main ke kos sebelum pulang, dan saya tak menyangka ia kembali datang
untuk memberikan kado. Mengingat hari ulang tahun saya saja sudah akan saya
hargai sungguh-sungguh.
Saya menelponnya
untuk mengucapkan terima kasih. Ia minta maaf karena terlambat memberikan kado,
ia sedang sakit di hari sebelumnya. Saya lagi-lagi tak tahu harus berkata apa,
selain kembali mengucapkan terima kasih. Canggung.
Sampai
dua-tiga hari berikutnya, ucapan-ucapan masih datang dari teman-teman lain.
Sayangnya, ada satu nama yang terlewat hingga di hari saya menulis ini. Padahal
saya sempat bertaruh bahwa satu nama ini adalah teman pertama yang akan
memberikan ucapan selamat. Tapi hey, manusia pada dasarnya memang mudah lupa
kan?
Mungkin
teman saya tidak banyak. Tapi saya tahu, mereka ada.
Saya
sangat bersyukur untuk itu.
Dan
oh, saya tidak bisa tidak teringat pada kutipan dari buku
Neil Pasricha di bawah ini ketika pertama membuka kartu ucapan dari si teman.
Ia seolah berkata:
“I’d like to get together again. I remember our
laughs and know how busy we’ve been. But I hope you agree
that, since life’s short and always wavering, it’s even more
important our friendship is worth enjoying . . . and worth savoring.”
Selamat
ulang tahun!
Dulu aku ingat ulang tahun teman-temanku. Tepat jam 12 malam pasti aku kirim sms ucapan selamat ulang tahun ke mereka. Tapi, itu dulu. Sekarang meski katanya jaman Facebook/Twitter dimana orang-orang dengan mudah mengucapkan "Happi Birthday. Wish you all the best!", aku cuek saja. Semakin ke sini aku semakin jarang mengucapkan selamat ulang tahun meski aku tahu (lewat socmed) mereka berulang tahun. Selain karena cuek itu tadi, aku juga lupa ulang tahun mereka dan bagiku ulang tahun itu tidak begitu penting jadi buat apa diselamati? :D
ReplyDeleteAku tak hapal lagi ulang tahun teman-temanku. Yang aku ingat hanya ulangtahunku dan keluargaku. Hanya teman-teman yang betul-betul aku anggap dekat tetap aku ingat ulang tahunnya dan aku ucapkan selamat ulang tahun. Sisanya aku lupa. Sungguh. Duh, kenapa semakin ke sini aku semakin cuek dengan lingkungan sekitarku ya?
By the way, selamat ulang tahun ya, Anggie! Kalau yang ini aku benar-benar tak tahu hari ulang tahunmu. Mungkin kamu sudah pernah memberitahuku dan aku pun lupa. Maafkan ya! :D
Sama sih, Kim. Aku juga jarang mengucapkan selamat ulang tahun, kecuali untuk orang-orang yang aku anggap dekat. Dan ya, meskipun Facebook memberi tahu siapa punya tanggal lahir kapan, tetap malas kalau memang tidak sungguh-sungguh niat mengucapkan. Btw, makasih buat ucapannya! :)
ReplyDelete