Friday 10 August 2012

Saengil Chukha Hamnida!

Menjelang tengah malam. Kos sunyi senyap. Saya masih sibuk berkutat dengan laptop, menulis untuk update posting terbaru di blog. Kopi di cangkir masih tersisa setengah, saya sengaja menunda waktu untuk menghabiskannya. Toh malam masih panjang.

Terdengar suara ketukan. Saya telengkan kepala, mencari-cari asal suara. Ah, rupanya anak kos belakang! Kos saya berada di daerah padat penduduk. Terletak dekat Segitiga Emas Jakarta, daerah ini punya banyak tempat kos untuk mengakomodasi pegawai atau karyawan yang ingin tinggal dekat tempat kerja. Kiri, kanan, depan, belakang kos saya, semuanya kos atau kontrakan.

Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras, lebih demanding. Saya lihat jam dinding. Jam 12 lewat beberapa menit.

Sepertinya tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Wajar, sudah malam begini! Si pengetuk tak menyerah, kembali ia mengetuk – kali ini sembari menyebut nama seseorang; mungkin nama orang yang ia harapkan membuka pintu.

Usahanya berhasil, suara kunci terdengar. Pintu berkereket pelan, tanda ada orang yang membukanya. Di detik setelahnya, saya terpukau dengan kejadian tengah malam paling manis, kejadian yang tak bosan saya ceritakan berulang-ulang jika ada yang mau mendengarkan.

“Saengil chukha hamnida! Blabla…”

Saya tak hapal kelanjutannya, tapi itu sebuah lagu! Saya pertegas lagi: sebuah lagu ulang tahun versi Korea yang dinyanyikan jam 12 malam! Live!

Diiringi tepukan, lagu itu dinyanyikan oleh beberapa remaja perempuan; suara mereka menunjukkan itu. Di luar dugaan saya, ternyata ada beberapa alih-alih satu orang yang tadi berdiri di depan pintu; berharap pintu terbuka. Kaget campur senang terdengar dari antusias suara si birthday girl.

Awwww… makasih! Makasih!”

Rupanya ada kue ulang tahun yang dibawa. “Awww..” dan “oooh..” kembali terdengar. Kini si birthday girl meniup lilin setelah diberi komando oleh teman-temannya. Tepuk tangan sekali lagi merobek sepinya malam.

Tembok kamar membatasi pandangan saya pada pertunjukan manis tersebut. Hanya ada ventilasi di bagian tembok paling atas, tak mungkin saya mengintip lewat situ. Satu-satunya jendela justru menghadap kamar teman kos seberang saya. Jadilah saya hanya mendengar dan berusaha mereka-reka detail kejadian menjelang dini hari tersebut.

Setelah tiup lilin usai, mereka mulai mengobrol – berbisik-bisik, lebih tepatnya. Sesekali tawa mereka tak tertahankan, dan “sssstt…” terdengar sebelum mereka membangunkan tetangga kiri-kanan. Suara mereka semakin lama semakin hilang, saya pikir pastilah si tuan rumah telah menyilakan mereka masuk.

Kejadian itu terus membekas di benak saya. Ucapan ulang tahun tepat di jam 12 malam saja sudah langka, apalagi sampai rela berkunjung ke rumah sahabat tengah malam dan menyanyikan lagu untuknya bersama-sama. Membawa kue pula!

Kejadian itu mungkin biasa di beberapa tahun lalu, tapi ini luar biasa untuk jaman ketika ucapan ulang tahun bisa disampaikan hanya dengan menulis HaBeDe di wall Facebook. Kejadian ini mungkin sederhana, tapi tidak untuk jaman ketika Facebook mengambil alih ingatan kita tentang hari istimewa seseorang.

Itulah sebabnya, menjelang ulang tahun saya di akhir Juli kemarin, saya sengaja deactivate akun Facebook. Well, tak banyak yang mengirimkan ucapan di sms atau telepon dibanding tahun-tahun lalu. Tapi saya tahu, mereka yang mengucapkan benar-benar mengingatnya. Bahkan kalaupun mereka dibantu oleh reminder HP, itu artinya mereka sengaja menyisihkan waktu menulis tanggal lahir saya di HP mereka; sesuatu yang lebih bermakna dibanding diingatkan oleh sebuah jejaring sosial.

26 Juli 2012. Hari ulang tahun saya berlalu biasa saja. Sehari sebelumnya, teman baik yang mendapat beasiswa ke Australia menyempatkan diri mengirimkan kado beserta kartu ucapan. Ketika sahur, keluarga satu per satu mulai menelepon. Telepon dan sms dari sahabat baik mulai masuk dari pagi hingga siang hari.

Sehari setelah 26 Juli. Saya pulang ke kos setelah makan malam dengan seorang teman. Aroma ulang tahun sudah menguap tak bersisa di hari itu, sebelum seorang teman kos memberikan bingkisan berwarna silver dengan pita merah muda di atasnya. Kado untuk saya!

“Tadi ada mencari-cari. Perempuan, berambut panjang.”

Saya mengingat-ingat teman-teman perempuan saya. Banyak. Teman berambut panjang? Ada beberapa, sebagian besar teman saya berjilbab. Tapi yang mau datang ke kos hanya untuk memberikan kado? Saya tak bisa menebaknya.

Saya buka kado itu cepat-cepat. Ah, buku Hunger Games! Satu paket lengkap! Ada kartu ucapan di dalamnya. Melihat nama pengirimnya, saya tak tahu harus bereaksi apa.

Saya pernah berteman baik dengannya saat kuliah. Bertiga, dengan seorang teman yang lain. Kami sering saling menginap di kos satu sama lain, memasak dan menonton film sampai larut malam. Di setiap tugas kampus, kami bertiga selalu di satu kelompok yang sama. Ketika salah satu dari kami berulang tahun, dua yang lain akan memberikan kado atau bersusah payah memberikan kue dengan lilin menyala di atasnya.

Menjelang semester akhir, saya dan si teman ini bertengkar. Bukan pertengkaran biasa, karena setelah itu pertemanan kami tak pernah sama lagi. Kami saling menghindar, tak seakrab di hari-hari kemarin.

Kami sama-sama bekerja di Jakarta, namun tak pernah bertemu sampai di akhir 2011 lalu. Setelah tiga tahun, hanya sekali itu kami bertemu. Agak canggung obrolan kami malam itu. Aneh karena sebelumnya kami pernah berteman akrab.

Ia menceritakan rencananya menikah, memperkenalkan pacarnya melalui foto-foto mereka berdua. Tampan! Well, sebanding dengan si teman yang cantik. Mau tak mau saya mengingat mantan pacarnya – yang saya pikir akan jadi pendampingnya kelak –, mengingat kisah-kisah mereka. Ah, saya lupa kalau kami dulu pernah berbagi cerita tanpa canggung seperti ini.

Ia sempat main ke kos sebelum pulang, dan saya tak menyangka ia kembali datang untuk memberikan kado. Mengingat hari ulang tahun saya saja sudah akan saya hargai sungguh-sungguh.

Saya menelponnya untuk mengucapkan terima kasih. Ia minta maaf karena terlambat memberikan kado, ia sedang sakit di hari sebelumnya. Saya lagi-lagi tak tahu harus berkata apa, selain kembali mengucapkan terima kasih. Canggung.

Sampai dua-tiga hari berikutnya, ucapan-ucapan masih datang dari teman-teman lain. Sayangnya, ada satu nama yang terlewat hingga di hari saya menulis ini. Padahal saya sempat bertaruh bahwa satu nama ini adalah teman pertama yang akan memberikan ucapan selamat. Tapi hey, manusia pada dasarnya memang mudah lupa kan?

Mungkin teman saya tidak banyak. Tapi saya tahu, mereka ada. Saya sangat bersyukur untuk itu.

Dan oh, saya tidak bisa tidak teringat pada kutipan dari buku Neil Pasricha di bawah ini ketika pertama membuka kartu ucapan dari si teman. Ia seolah berkata:

“I’d like to get together again. I remember our
laughs and know how busy we’ve been. But I hope you agree
that, since life’s short and always wavering, it’s even more
important our friendship is worth enjoying . . . and worth savoring.”

Selamat ulang tahun!


2 comments:

  1. Dulu aku ingat ulang tahun teman-temanku. Tepat jam 12 malam pasti aku kirim sms ucapan selamat ulang tahun ke mereka. Tapi, itu dulu. Sekarang meski katanya jaman Facebook/Twitter dimana orang-orang dengan mudah mengucapkan "Happi Birthday. Wish you all the best!", aku cuek saja. Semakin ke sini aku semakin jarang mengucapkan selamat ulang tahun meski aku tahu (lewat socmed) mereka berulang tahun. Selain karena cuek itu tadi, aku juga lupa ulang tahun mereka dan bagiku ulang tahun itu tidak begitu penting jadi buat apa diselamati? :D

    Aku tak hapal lagi ulang tahun teman-temanku. Yang aku ingat hanya ulangtahunku dan keluargaku. Hanya teman-teman yang betul-betul aku anggap dekat tetap aku ingat ulang tahunnya dan aku ucapkan selamat ulang tahun. Sisanya aku lupa. Sungguh. Duh, kenapa semakin ke sini aku semakin cuek dengan lingkungan sekitarku ya?

    By the way, selamat ulang tahun ya, Anggie! Kalau yang ini aku benar-benar tak tahu hari ulang tahunmu. Mungkin kamu sudah pernah memberitahuku dan aku pun lupa. Maafkan ya! :D

    ReplyDelete
  2. Sama sih, Kim. Aku juga jarang mengucapkan selamat ulang tahun, kecuali untuk orang-orang yang aku anggap dekat. Dan ya, meskipun Facebook memberi tahu siapa punya tanggal lahir kapan, tetap malas kalau memang tidak sungguh-sungguh niat mengucapkan. Btw, makasih buat ucapannya! :)

    ReplyDelete