Sunday 25 October 2015

Jenewa-Chamonix Pada Suatu Waktu (2)


Sabtu, 19 April 2014. Seharian itu sudah saya niatkan untuk mengelilingi Jenewa. Sehari sebelumnya resepsionis memberikan saya peta petunjuk wisata di Jenewa. Saya sudah melingkari tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga diberikan tiket untuk keliling Jenewa gratis naik kendaraan umum apapun; asal masih di dalam kota. Kerennya, tiket ini valid selama saya di Jenewa. Sangat lumayan untuk mengurangi ongkos transportasi.

Setelah sarapan roti dan jus di hotel, saya segera keluar yang langsung disambut udara dingin. Begitu dingin hingga setiap udara yang dihembus lewat mulut langsung menjadi uap putih. Di depan hotel ternyata ada pasar buah dadakan setiap Sabtu pagi. Saya cuma melihat-lihat sebentar untuk kemudian menuju halte tram terdekat. Tujuan pertama saya adalah markas PBB. 

 Pasar pagi di samping hotel. Di belakang pasar ada Asian Toko 
tempat saya beli mie instan.

Jenewa adalah kota yang tenang. Di sepanjang jalan, saya tak menemukan geliat yang kentara. Orang-orang di sekeliling saya berbicara dalam bahasa yang tak saya pahami. Bahkan saat itu pun pergi ke Swiss sendirian rasanya seperti mimpi.

Saya kembali melihat peta dan turun di halte terdekat dengan pusat PBB. Di situ saya mulai hilang arah. Gedung PBB tak terlihat dari tempat saya turun tadi. Padahal mestinya gedung tersebut mencolok dengan kursi raksasanya. Saya bingung harus melangkah ke mana. Well, demi sebuah petualangan di negeri orang, saya berjalan dengan sok pede seolah-olah tahu jalan. Alih-alih menemukan PBB, saya malah sampai ke UNHCR.

Saya kembali lagi ke halte semula melalui jalan yang berbeda. Kali ini saya berjalan berlawanan arah dari yang pertama. Saya melewati taman dengan bunga-bunga pink yang bermekaran dengan indah. Akhirnya! Terlihat juga kursi raksasa yang ikonik tanda saya tak salah langkah.



 
Saya mendekat ke markas PBB dan langsung berfoto-foto selfie. Ada perempuan muda Kaukasia yang sedari tadi juga foto selfie. Dari ranselnya yang penuh (dan terlihat berat), saya kira dia seorang backpacker yang mungkin sudah menjelajah setengah dunia; atau setidaknya Eropa. Hanya butuh kontak mata sepersekian detik bagi kami untuk memaklumi salah satu hal yang paling diinginkan solo traveler: difoto oleh orang lain.  We were so done with too much selfie. Jadilah kami saling memotret satu sama lain.

Kalau saya tipikal orang yang asik dan gaul, saya pasti akan ngobrol-ngobrol dengan dia, seperti yang sering saya baca di buku-buku traveling. I would have made friends and shared our itinerary; atau malah jalan-jalan bareng karena toh dia juga sendirian. Sayangnya saya tidak jago berteman; apalagi dengan orang yang sama sekali asing. Jadilah dialog kami terbatas hanya pada saling minta difoto. Kami bahkan tak saling tukar nama dan asal negara.

Cuaca yang sedari pagi mendung membuat saya kuatir juga, takut mendadak hujan. Mau kembali ke hotel rasanya sayang. Si bule tadi – dengan peta di tangannya – pergi menjauh dari markas PBB. Dia pastilah punya spot yang menarik untuk dikunjungi. Saya ikuti arah dia berjalan; hingga sampailah saya pada sebuah taman dengan lonceng besar khas Asia. Si bule dengan cepat hilang dari pandangan tapi saya terlanjur terpesona dengan taman ini.

Di tengah taman, ada semacam istana kecil dengan air mancur di hadapannya. Ada kursi untuk duduk-duduk dan bunga-bunga kecil berwarna pink membuat taman tampak lebih manis. Menuju gerbang keluar, kerikil-kerikil putih membentuk jalan sementara di kiri-kanannya didominasi rerumputan dengan bunga kuning-putih. Tidak ada seorang pun di sana hingga tempat itu seperti milik saya sendiri. Saya merasakan kesunyian yang aneh karena tempat tersebut terasa seperti berasal dari masa lalu. Belakangan, dari Google saya tahu kalau tempat itu adalah Musee Ariana. Dari namanya saja sudah kelihatan cantik! Saya tak masuk ke dalamnya dan hanya menikmati dari luar. Dari Google pula saya tahu kalau Musee Ariana adalah museum keramik dan kaca. 





Dari museum, saya kembali ke halte tram melewati kantor Palang Merah Internasional. Ada museumnya juga di sana, namun saya urung ke sana karena masih banyak tempat yang ingin dikunjungi.

Tram membawa saya ke pusat kota di Jenewa. Cuaca sudah lebih bersahabat kali ini. Saya turun dekat Grand Theatre Geneve dan mulai berjalan dari situ. Dari peta terlihat tempat-tempat yang ingin saya datangi bisa dicapai dengan berjalan kaki. Setiap melihat spot yang menarik, saya langsung berhenti dan berfoto di sana.

Yang pertama saya datangi adalah Le Parc de Bastions; sebuah taman dengan  catur raksasa yang bisa dimainkan. Kemudian saya menuju Reformation Wall yang menjadi salah satu landmark di kota ini. Di sana, saya melihat dua orang remaja yang saling memotret namun terlihat kesulitan untuk foto bersama. Saya menawarkan diri untuk memotret mereka berdua. Sebagai gantinya, salah satu dari mereka memotret saya.



Sungguh saya lupa siapa yang memulai, namun kami akhirnya sama-sama tahu kalau tujuan kami selanjutnya sama; yakni St. Pierre Cathedral. Kami pun memutuskan untuk jalan bareng. Mereka bilang mereka baru saja dari La Treille; bangku terpanjang di dunia dengan panjang 120 meter. Mengetahui saya belum ke sana, mereka mengajak saya ke La Treille. 

Pemandangan dari La Treille sama seperti yang saya lihat saat pertama kali turun dari pesawat: pegunungan berselimut salju putih di pucuk-pucuknya. Kami tak lama di sana. Kami segera turun untuk mencari tempat wisata tujuan berikutnya.


Dari ngobrol-ngobrol di jalan, saya tahu kalau mereka berasal dari Amerika Latin. Maafkan saya karena ingatan yang pendek membuat saya lupa asal negara mereka. Entah Paraguay, entah Uruguay. Mereka sedang kuliah di Spanyol dan waktu liburan mereka manfaatkan untuk jalan-jalan ke beberapa negara di Eropa sekaligus; termasuk Swiss. They did introduce themselves tapi saya lupa nama mereka.  Yeah..  I was that bad in making new friends.

Saya beruntung bertemu dengan mereka. Mereka jago membaca peta sehingga praktis saya mengekor saja. Akhirnya kami menemukan tempat tujuan. Seperti sebuah kontrak tak tertulis yang akhirnya usai setelah tujuan tercapai, kami pun berpisah di sana. Mereka ingin melanjutkan ke tempat lain sementara saya masih ingin menikmati St. Pierre Cathedral yang merupakan salah satu gereja paling berpengaruh di Jenewa.

Dua teman jalan yang saya temui. St. Pierre Cathedral jadi latar foto.

Dari sana, saya ke arah pulang melewati Musee International de la Reforme. Iseng-iseng saya masuk ke museum. Museum itu ternyata berisi sejarah pergerakan Reformasi di Eropa yang diinisiasi oleh Martin Luther, John Calvis, dan lainnya. Ada lukisan, manuskrip dan dokumen lainnya di sana, tapi saya tak begitu dapat feel-nya. Saya hanya mampir sebentar di sana untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat belanja. 

 Taman di tengah museum

Di jalan, saya sempat melihat ada pemusik yang tampil lengkap dengan cello, gitar, flute, biola, dan jembre. Tipikal Eropa! Dimana-mana banyak pemusik jalanan yang mempesona. Mereka juga menjual CD rekaman mereka pada orang-orang yang menonton.


Karena lapar, saya segera mencari tempat makan – dan bersyukur karena menemukan guess what..kebab. Porsi kebabnya super besar dan membuat saya kekenyangan. Dari sana, saya berjalan untuk menemukan Flower Clock yang jadi salah satu must-visit places di Jenewa.


 Suasana pusat kota

Lagi-lagi karena buta peta, saya nyasar ke pelabuhan. Awan semakin tebal dan anginnya kencang. Saya mencoba berjalan ke anjungan dan sempat takut kalau saya terbawa angin dan jatuh ke laut. Dari pelabuhan, saya berjalan terus hingga akhirnya menemukan Flower Clock yang sudah ramai didatangi orang-orang. Di dekatnya, ada Le Peuple Genevois statue dimana orang-orang mesti mengatre untuk berfoto di depannya.





Dan uh, karena sendirian dan tak ingin merepotkan orang, untuk ke sekian kalinya hari itu saya mesti selfie lagi; kali ini di depan Flower Clock. Saya membayangkan, pastilah foto-foto perjalanan saya sebagian besar dipenuhi gambar diri sendiri dengan komposisi setengah badan. Tipikal! Setelah puas jalan-jalan di Old Town, saya kembali ke arah hotel dan sempat mampir ke taman Monumen Brunswick. Taman ini dihiasi bunga warna oranye yang mengingatkan saya pada Belanda.



Sebelum benar-benar ke hotel, saya pergi ke stasiun bus Gare Routiere untuk membeli tiket one day tour ke Chamonix, Mont Blanc, Prancis. Ini hanya sekitar 90 menit dari Jenewa. Mont Blanc adalah puncak tertinggi Pegunungan Alpen bagian Prancis. Dari dulu saya selalu ingin pergi ke Alpen. Sebelum ke Swiss, saya sudah googling tentang Mont Blanc dan tertarik untuk ikut tour ke sana. Harga tiket untuk tour sehari ini mahal, hampir dua juta rupiah. Itu pun belum termasuk makan. Tapi saya pikir, kapan lagi menikmati salju di Alpen kalau bukan sekarang? Mumpung saya masih di Eropa; mumpung saya sedang di Swiss.

Awalnya saya sempat ingin booking di awal dengan kartu kredit BRI, entah kenapa selalu ditolak (belakangan setelah konfirmasi dengan pihak bank, saya tahu kalau transaksi saya dicurigai karena dilakukan di luar Indonesia; BRI melakukan tindakan preventif dengan menutup akses transaksi online). Jadilah saya mesti datang langsung ke agen tour dan membayar dengan cash. Setelah ikut one day tour di Irlandia yang harganya cuma 20 Euro, tour ke Chamonix langsung terasa mahalnya. Ada sih opsi yang lebih murah, tapi itu tidak termasuk naik kereta dan cable car. But you know, in the end it’s not about the money we’ve spent. It’s more about the experience we’ve got. Sekarang saat saya sedang menulis ini, saya semakin yakin kalau keputusan untuk membeli paket tour ini tidak keliru.

Malam itu saya kembali tidur awal, karena keesokan harinya, saya mesti bangun pagi untuk mulai tour ke Alpen!

(to be continued)

Jenewa-Chamonix Pada Suatu Waktu (1)



Turun dari KLM KL1929, saya setengah berjingkrak keluar melalui skybridge. Di sebelah kiri saya ada kaca tembus pandang dimana saya bisa melihat pesawat yang sedang parkir di bandara. Jauh di belakang, pegunungan dengan puncak-puncak putih bersalju menjadi latarnya. Pegunungan dan salju, dua hal yang tidak saya dapatkan selama di Belanda. Oh wait, saya pernah sih merasakan salju untuk kali pertama dan satu-satunya menjelang Natal 2013 di sana. Tapi salju hanya setipis kapas yang langsung mencair begitu menyentuh tanah.

Negeri yang saya kunjungi ini terkenal dengan pegunungan dan saljunya. Jangan lupakan juga coklat dan merk jamnya yang sering muncul di film James Bond. Kota yang saya kunjungi berbahasa Prancis namun bermata uang CHF. Kota ini juga menjadi denyut banyak organisasi internasional di bawah PBB. Ya, Swiss menjadi negara ke-6 yang saya kunjungi di Eropa, dan Jenewa adalah kota pertama yang saya datangi.

Pertengahan April 2014, kegiatan kampus libur selama seminggu yang saya manfaatkan dengan jalan-jalan dari tanggal 18-21 ke Swiss. Awalnya saya ingin ke Zurich, tapi tiket pesawat ke sana lebih mahal daripada ke Jenewa. Dari hasil googling, saya jadi tahu kalau Swiss dipengaruhi oleh dua budaya: Jerman dan Prancis. Zurich lebih ke Jerman, masyarakat sana berbicara dengan Bahasa Jerman sementara Jenewa terpengaruh Prancis hingga bahasa yang banyak dipakai pun Bahasa Prancis. Selain karena tiket dan akomodasi yang murah, alasan lain kenapa saya lebih memilih Jenewa daripada Zurich adalah karena saya trauma dengan Jerman. Pengalaman saya pertama kali ke Jerman sangat tidak menyenangkan, berkebalikan dengan saat di Prancis. Jadi meskipun review orang-orang mengatakan Jenewa itu membosankan dan tak hidup seperti Zurich, saya tak peduli.

Saya sampai Bandara Jenewa hampir pukul dua siang. Saya mengikuti arah petunjuk menuju kereta yang akan membawa saya ke kota. Ada banyak mesin tiket otomatis untuk membeli tiket kereta, sementara antrian untuk membeli tiket secara manual sangatlah panjang. Beberapa kali saya gagal membeli melalui mesin tiket; mau bertanya ke orang lain, segan. Tidak nampak petugas yang bisa saya tanya-tanya. Akhirnya saya memilih mesin tiket yang paling sepi, kemudian mencobanya lagi. Voila! Tiket ke pusat kota berhasil saya dapatkan.

 Kereta menuju pusat kota

Dari stasiun di bandara, saya turun di Stasiun Cornavin dan berniat menuju Hotel St. Gervais, tempat saya akan menginap. Hotel ini seharusnya dekat, hanya 300 meter dari stasiun kereta. Saya mengikuti peta petunjuk dari Google Map yang sudah saya screen capture, dan ternyata malah nyasar. Karena lapar dan lelah menggendong ransel kemana-mana, saya berhenti dulu untuk makan kebab. Selesai makan, saya tanya si mas penjual tentang Hotel St. Gervais, tapi dia tidak tahu. Saya berputar-putar lagi, agak deg-degan kalau-kalau kejadian di Dublin terulang lagi.

Satu jam lebih saya mencari-cari Hotel St. Gervais, diseling duduk dan bertanya pada orang-orang. Akhirnya, sampai juga saya di sana. Ternyata beberapa kali saya melewatkannya karena tempatnya agak tertutup di pojok. Memang benar hotel ini dekat dengan stasiun. Yang membuatnya terasa jauh adalah karena sejak awal saya sudah salah mengambil langkah. Mestinya belok ke kanan, saya malah ke kiri.

Hotel St. Gervais adalah hotel tua. Lift yang dipakai juga tua, gap antara lift dan lantai terlihat jelas; ketinggiannya juga terkadang berbeda. Lift ini sangat kecil, paling hanya muat untuk dua atau tiga orang. Di depan lift ada pintu yang dibuka dengan memencet tombol kecil. Jadi sebelum masuk lift, kita harus melewati sebuah pintu dulu.

Dibanding hotel yang setara di negara-negara lain, hotel ini termasuk mahal. Namun harganya masih terjangkau, lebih murah daripada hotel-hotel di Jenewa lainnya. Teman saya menyarankan saya untuk menginap di sejenis guest house yang banyak juga di Jenewa. Namun saya paling malas kalau disuruh berbagi dorm. Saya lebih memilih menginap di tempat yang lebih mahal namun saya bisa menikmati satu kamar sendirian. Oya, kamar saya di Hotel St. Gervais adalah yang paling murah. Selain karena single, kamar ini juga tidak memiliki toilet dan kamar mandi pribadi. Kamar saya berbagi kamar mandi di luar dengan dua kamar lainnya.

Sesuai dengan review dari Booking.com, resepsionis hotel ini memang ramah dan helpful. Ketika saya minta air panas untuk membuat mie rebus dalam cup, resepsionis dengan baik hati membuatkannya untuk saya. Dia juga memberikan saya peta seputar Jenewa dan menginformasikan tempat-tempat menarik yang worth to visit.

Pukul lima sore, di luar masih terang. Saya berjalan-jalan di sekitaran hotel untuk menghapal jalan. Saya ke Jet d’Eau atau air mancur yang jadi ikon Jenewa dan berfoto di sana dengan Danbo. Satu jam kemudian saya balik ke hotel dan mulai mempersiapkan rencana untuk menjelajah Jenewa seharian esok pagi.

 Jet d’Eau yang merupakan ikon Jenewa

Danbo ikut foto di depan air mancur

 Pemandangan di pelabuhan

 Tourism center

 Ini pasti lebih tjakep kalo gak banyak kabel tram

Malam hari, saya tidak kemana-mana. Ini nih tidak enaknya jalan-jalan sendirian. Serba ragu kalau jalan malam-malam. Selama di Eropa, cuma di Belanda saya berani jalan malam sendirian. Mungkin karena saya sudah menganggapnya rumah.

Di kamar, saya cuma tiduran sambil nonton TV. Channel-nya tidak banyak, kebanyakan lokal. Ada satu channel berita yang menampilkan penerjemah bahasa isyarat di pojok kanan bawah. Karena sikapnya yang sangat ekspresif, saya justru lebih sering memperhatikannya ketimbang si news anchor. Malam itu, saya tidur lebih awal untuk menyiapkan diri buat jalan-jalan besok paginya.

(to be continued)