Sunday, 25 October 2015

Jenewa-Chamonix Pada Suatu Waktu (1)



Turun dari KLM KL1929, saya setengah berjingkrak keluar melalui skybridge. Di sebelah kiri saya ada kaca tembus pandang dimana saya bisa melihat pesawat yang sedang parkir di bandara. Jauh di belakang, pegunungan dengan puncak-puncak putih bersalju menjadi latarnya. Pegunungan dan salju, dua hal yang tidak saya dapatkan selama di Belanda. Oh wait, saya pernah sih merasakan salju untuk kali pertama dan satu-satunya menjelang Natal 2013 di sana. Tapi salju hanya setipis kapas yang langsung mencair begitu menyentuh tanah.

Negeri yang saya kunjungi ini terkenal dengan pegunungan dan saljunya. Jangan lupakan juga coklat dan merk jamnya yang sering muncul di film James Bond. Kota yang saya kunjungi berbahasa Prancis namun bermata uang CHF. Kota ini juga menjadi denyut banyak organisasi internasional di bawah PBB. Ya, Swiss menjadi negara ke-6 yang saya kunjungi di Eropa, dan Jenewa adalah kota pertama yang saya datangi.

Pertengahan April 2014, kegiatan kampus libur selama seminggu yang saya manfaatkan dengan jalan-jalan dari tanggal 18-21 ke Swiss. Awalnya saya ingin ke Zurich, tapi tiket pesawat ke sana lebih mahal daripada ke Jenewa. Dari hasil googling, saya jadi tahu kalau Swiss dipengaruhi oleh dua budaya: Jerman dan Prancis. Zurich lebih ke Jerman, masyarakat sana berbicara dengan Bahasa Jerman sementara Jenewa terpengaruh Prancis hingga bahasa yang banyak dipakai pun Bahasa Prancis. Selain karena tiket dan akomodasi yang murah, alasan lain kenapa saya lebih memilih Jenewa daripada Zurich adalah karena saya trauma dengan Jerman. Pengalaman saya pertama kali ke Jerman sangat tidak menyenangkan, berkebalikan dengan saat di Prancis. Jadi meskipun review orang-orang mengatakan Jenewa itu membosankan dan tak hidup seperti Zurich, saya tak peduli.

Saya sampai Bandara Jenewa hampir pukul dua siang. Saya mengikuti arah petunjuk menuju kereta yang akan membawa saya ke kota. Ada banyak mesin tiket otomatis untuk membeli tiket kereta, sementara antrian untuk membeli tiket secara manual sangatlah panjang. Beberapa kali saya gagal membeli melalui mesin tiket; mau bertanya ke orang lain, segan. Tidak nampak petugas yang bisa saya tanya-tanya. Akhirnya saya memilih mesin tiket yang paling sepi, kemudian mencobanya lagi. Voila! Tiket ke pusat kota berhasil saya dapatkan.

 Kereta menuju pusat kota

Dari stasiun di bandara, saya turun di Stasiun Cornavin dan berniat menuju Hotel St. Gervais, tempat saya akan menginap. Hotel ini seharusnya dekat, hanya 300 meter dari stasiun kereta. Saya mengikuti peta petunjuk dari Google Map yang sudah saya screen capture, dan ternyata malah nyasar. Karena lapar dan lelah menggendong ransel kemana-mana, saya berhenti dulu untuk makan kebab. Selesai makan, saya tanya si mas penjual tentang Hotel St. Gervais, tapi dia tidak tahu. Saya berputar-putar lagi, agak deg-degan kalau-kalau kejadian di Dublin terulang lagi.

Satu jam lebih saya mencari-cari Hotel St. Gervais, diseling duduk dan bertanya pada orang-orang. Akhirnya, sampai juga saya di sana. Ternyata beberapa kali saya melewatkannya karena tempatnya agak tertutup di pojok. Memang benar hotel ini dekat dengan stasiun. Yang membuatnya terasa jauh adalah karena sejak awal saya sudah salah mengambil langkah. Mestinya belok ke kanan, saya malah ke kiri.

Hotel St. Gervais adalah hotel tua. Lift yang dipakai juga tua, gap antara lift dan lantai terlihat jelas; ketinggiannya juga terkadang berbeda. Lift ini sangat kecil, paling hanya muat untuk dua atau tiga orang. Di depan lift ada pintu yang dibuka dengan memencet tombol kecil. Jadi sebelum masuk lift, kita harus melewati sebuah pintu dulu.

Dibanding hotel yang setara di negara-negara lain, hotel ini termasuk mahal. Namun harganya masih terjangkau, lebih murah daripada hotel-hotel di Jenewa lainnya. Teman saya menyarankan saya untuk menginap di sejenis guest house yang banyak juga di Jenewa. Namun saya paling malas kalau disuruh berbagi dorm. Saya lebih memilih menginap di tempat yang lebih mahal namun saya bisa menikmati satu kamar sendirian. Oya, kamar saya di Hotel St. Gervais adalah yang paling murah. Selain karena single, kamar ini juga tidak memiliki toilet dan kamar mandi pribadi. Kamar saya berbagi kamar mandi di luar dengan dua kamar lainnya.

Sesuai dengan review dari Booking.com, resepsionis hotel ini memang ramah dan helpful. Ketika saya minta air panas untuk membuat mie rebus dalam cup, resepsionis dengan baik hati membuatkannya untuk saya. Dia juga memberikan saya peta seputar Jenewa dan menginformasikan tempat-tempat menarik yang worth to visit.

Pukul lima sore, di luar masih terang. Saya berjalan-jalan di sekitaran hotel untuk menghapal jalan. Saya ke Jet d’Eau atau air mancur yang jadi ikon Jenewa dan berfoto di sana dengan Danbo. Satu jam kemudian saya balik ke hotel dan mulai mempersiapkan rencana untuk menjelajah Jenewa seharian esok pagi.

 Jet d’Eau yang merupakan ikon Jenewa

Danbo ikut foto di depan air mancur

 Pemandangan di pelabuhan

 Tourism center

 Ini pasti lebih tjakep kalo gak banyak kabel tram

Malam hari, saya tidak kemana-mana. Ini nih tidak enaknya jalan-jalan sendirian. Serba ragu kalau jalan malam-malam. Selama di Eropa, cuma di Belanda saya berani jalan malam sendirian. Mungkin karena saya sudah menganggapnya rumah.

Di kamar, saya cuma tiduran sambil nonton TV. Channel-nya tidak banyak, kebanyakan lokal. Ada satu channel berita yang menampilkan penerjemah bahasa isyarat di pojok kanan bawah. Karena sikapnya yang sangat ekspresif, saya justru lebih sering memperhatikannya ketimbang si news anchor. Malam itu, saya tidur lebih awal untuk menyiapkan diri buat jalan-jalan besok paginya.

(to be continued)

No comments:

Post a Comment