Turun dari
KLM KL1929, saya setengah berjingkrak keluar melalui skybridge. Di sebelah kiri saya ada kaca tembus pandang dimana saya
bisa melihat pesawat yang sedang parkir di bandara. Jauh di belakang,
pegunungan dengan puncak-puncak putih bersalju menjadi latarnya. Pegunungan dan
salju, dua hal yang tidak saya dapatkan selama di Belanda. Oh wait, saya pernah sih merasakan salju untuk kali pertama dan
satu-satunya menjelang Natal 2013 di sana. Tapi salju hanya setipis kapas yang
langsung mencair begitu menyentuh tanah.
Negeri
yang saya kunjungi ini terkenal dengan pegunungan dan saljunya. Jangan lupakan
juga coklat dan merk jamnya yang sering muncul di film James Bond. Kota yang
saya kunjungi berbahasa Prancis namun bermata uang CHF. Kota ini juga menjadi
denyut banyak organisasi internasional di bawah PBB. Ya, Swiss menjadi negara ke-6
yang saya kunjungi di Eropa, dan Jenewa adalah kota pertama yang saya datangi.
Pertengahan
April 2014, kegiatan kampus libur selama seminggu yang saya manfaatkan dengan
jalan-jalan dari tanggal 18-21 ke Swiss. Awalnya saya ingin ke Zurich, tapi
tiket pesawat ke sana lebih mahal daripada ke Jenewa. Dari hasil googling, saya jadi tahu kalau Swiss
dipengaruhi oleh dua budaya: Jerman dan Prancis. Zurich lebih ke Jerman,
masyarakat sana berbicara dengan Bahasa Jerman sementara Jenewa terpengaruh
Prancis hingga bahasa yang banyak dipakai pun Bahasa Prancis. Selain karena tiket
dan akomodasi yang murah, alasan lain kenapa saya lebih memilih Jenewa daripada
Zurich adalah karena saya trauma dengan Jerman. Pengalaman saya pertama kali ke
Jerman sangat tidak menyenangkan, berkebalikan dengan saat di Prancis. Jadi
meskipun review orang-orang
mengatakan Jenewa itu membosankan dan tak hidup seperti Zurich, saya tak
peduli.
Saya
sampai Bandara Jenewa hampir pukul dua siang. Saya mengikuti arah petunjuk
menuju kereta yang akan membawa saya ke kota. Ada banyak mesin tiket otomatis
untuk membeli tiket kereta, sementara antrian untuk membeli tiket secara manual
sangatlah panjang. Beberapa kali saya gagal membeli melalui mesin tiket; mau
bertanya ke orang lain, segan. Tidak nampak petugas yang bisa saya tanya-tanya.
Akhirnya saya memilih mesin tiket yang paling sepi, kemudian mencobanya lagi. Voila! Tiket ke pusat kota berhasil saya
dapatkan.
Kereta menuju pusat kota
Dari
stasiun di bandara, saya turun di Stasiun Cornavin dan berniat menuju Hotel St.
Gervais, tempat saya akan menginap. Hotel ini seharusnya dekat, hanya 300 meter
dari stasiun kereta. Saya mengikuti peta petunjuk dari Google Map yang sudah saya screen
capture, dan ternyata malah nyasar. Karena lapar dan lelah menggendong
ransel kemana-mana, saya berhenti dulu untuk makan kebab. Selesai makan, saya
tanya si mas penjual tentang Hotel St. Gervais, tapi dia tidak tahu. Saya
berputar-putar lagi, agak deg-degan kalau-kalau kejadian di Dublin
terulang lagi.
Satu
jam lebih saya mencari-cari Hotel St. Gervais, diseling duduk dan bertanya pada
orang-orang. Akhirnya, sampai juga saya di sana. Ternyata beberapa kali saya
melewatkannya karena tempatnya agak tertutup di pojok. Memang benar hotel ini
dekat dengan stasiun. Yang membuatnya terasa jauh adalah karena sejak awal saya
sudah salah mengambil langkah. Mestinya belok ke kanan, saya malah ke kiri.
Hotel
St. Gervais adalah hotel tua. Lift yang dipakai juga tua, gap antara lift dan lantai terlihat jelas; ketinggiannya juga
terkadang berbeda. Lift ini sangat kecil, paling hanya muat untuk dua atau tiga
orang. Di depan lift ada pintu yang dibuka dengan memencet tombol kecil. Jadi
sebelum masuk lift, kita harus melewati sebuah pintu dulu.
Dibanding
hotel yang setara di negara-negara lain, hotel ini termasuk mahal. Namun
harganya masih terjangkau, lebih murah daripada hotel-hotel di Jenewa lainnya.
Teman saya menyarankan saya untuk menginap di sejenis guest house yang banyak juga di Jenewa. Namun saya paling malas
kalau disuruh berbagi dorm. Saya
lebih memilih menginap di tempat yang lebih mahal namun saya bisa menikmati
satu kamar sendirian. Oya, kamar saya di Hotel St. Gervais adalah yang paling
murah. Selain karena single, kamar
ini juga tidak memiliki toilet dan kamar mandi pribadi. Kamar saya berbagi
kamar mandi di luar dengan dua kamar lainnya.
Sesuai
dengan review dari Booking.com, resepsionis hotel ini memang ramah dan helpful. Ketika saya minta air panas
untuk membuat mie rebus dalam cup, resepsionis
dengan baik hati membuatkannya untuk saya. Dia juga memberikan saya peta
seputar Jenewa dan menginformasikan tempat-tempat menarik yang worth to visit.
Pukul
lima sore, di luar masih terang. Saya berjalan-jalan di sekitaran hotel untuk
menghapal jalan. Saya ke Jet d’Eau atau air mancur yang jadi ikon Jenewa dan
berfoto di sana dengan Danbo. Satu jam kemudian saya balik ke hotel dan mulai
mempersiapkan rencana untuk menjelajah Jenewa seharian esok pagi.
Jet d’Eau yang merupakan ikon Jenewa
Danbo ikut foto di depan air mancur
Pemandangan di pelabuhan
Tourism center
Ini pasti lebih tjakep kalo gak banyak kabel tram
Malam
hari, saya tidak kemana-mana. Ini nih tidak enaknya jalan-jalan sendirian.
Serba ragu kalau jalan malam-malam. Selama di Eropa, cuma di Belanda saya
berani jalan malam sendirian. Mungkin karena saya sudah menganggapnya rumah.
Di
kamar, saya cuma tiduran sambil nonton TV. Channel-nya
tidak banyak, kebanyakan lokal. Ada satu channel
berita yang menampilkan penerjemah bahasa isyarat di pojok kanan bawah. Karena
sikapnya yang sangat ekspresif, saya justru lebih sering memperhatikannya
ketimbang si news anchor. Malam itu,
saya tidur lebih awal untuk menyiapkan diri buat jalan-jalan besok paginya.
(to be continued)
No comments:
Post a Comment