Monday 23 May 2016

Misi Kado Ulang Tahun (II)



Esoknya, kami cari sarapan di Central Market. Ada warung makan Yusoof dan Zakhir di sana yang enak dan harganya murah. Saya dan Ema sama-sama pesan nasi lemak; ayam gorengnya enak! Setelah sarapan, kami sempat mengeposkan kartu pos di kotak surat depan Central Market. Dari sana, kami naik LRT ke Masjid Jamek.

Arsitektur Masjid Jamek sebetulnya cakep, sayang ketika kami ke sana masjid sedang direnovasi. Jadi tidak bisa difoto penuh. Dari Masjid Jamek, kami berjalan ke Masjid India. Daerah ini semacam Little Indianya Kuala Lumpur. Banyak toko di kiri-kanan jalan menuju Masjid India. Sebagian besar jualan baju muslim hingga Ema langsung ingin berlama-lama di sana. Selain itu, ada juga toko yang menjual pernak-pernik India seperti bunga-bungaan atau perhiasan khas India. Anehnya, hanya sedikit orang India yang kami lihat. Rata-rata justru orang Melayu di sana.

Dari daerah Little India, kami kembali lagi ke hotel untuk check out pukul 10.30. Saya sudah pesan tiket online untuk naik Petronas Twin Towers pukul 1 siang, jadi saya ingin dua jam sebelumnya sudah sampai di sana supaya bisa mengeksplor Petronas dan tidak terburu-buru.

Kami naik LRT ke KLCC, tidak naik bis GO-KL seperti rencana awal. Beda dengan semalam, kali ini kami masuk melalui pintu yang berbeda. Sampai di ticketing, kami segera menukarkan voucher dengan tiket. Karena masih punya sekitar satu jam sebelum naik ke Petronas, saya dan Ema keluar dan foto-foto dengan latar Twin Towers. Kami juga membuat video dan meledek Nanda karena tidak ikut jalan-jalan. 

 Di dalam Petronas

Beda waktu lima tahun .____.

 Tiket masuk Petronas Twin Towers

Di luar gedung panasnya luar biasa. Saya lupakan soal ramalan hujan. Saya tetap memakai jaket dengan hoodie (seperti punya Nezumi) dan berprinsip lebih baik gerah daripada kena panas. Tak tahan dengan udara panas, kami masuk ke dalam untuk ngadem.

Pukul 12.45 antrian sudah mulai nampak untuk kloter pengunjung pukul 1 siang. Saya dan Ema mengantri di belakang keluarga India. Di belakang kami ada tiga cewek bule pirang dengan dua cewek Asia. Antrian nomor satu jadi milik cowok bule dengan kaos oblong dan topi.

Pukul 1 tepat kami masuk dan menitipkan barang di petugas jaga. Kami diberi ID card dengan tali warna merah. Rombongan kloter kedua mendapat tali warna biru.

Sebelum memulai tur, kami difoto terlebih dulu. Kemudian ada ucapan selamat datang bernuansa futuristik model hologram sampai membuat bule di belakang ber-wow. Dari sana kami naik ke tingkat pertama yakni jembatan antarmenara yang memungkinkan kita melihat ke bawah. Kami diberi waktu dua puluh menit di sana, yang terasa lama buat saya. Kemudian kami naik ke pemberhentian tingkat selanjutnya di level 86 dimana kita bisa foto dengan latar puncak menara kembarannya. Di belakang menara itu, KL Tower terlihat mengintip.

 Dari level 86

Menara kembarannya

Total waktu di atas sana 40 menit. Kami tak membeli hasil foto yang sudah dicetak karena mahal; sekitar 400-500 ribu rupiah kalau tidak salah. Ada orang Indonesia yang membeli sekaligus tiga, dan keluarga India yang tadi antri di depan kami juga membelinya. Kalau saya sih sayang uang segitu untuk selembar foto. Apalagi kami sudah foto-foto banyaaaak di sana.

Sekitar pukul 3 sore kami meninggalkan KLCC menuju KL Sentral naik LRT. Ini memang terlalu cepat dari yang dijadwalkan tapi kami berdua sudah lelah. Dan rasanya malas jalan-jalan dengan membawa tas berat kemana-mana. Di KL Sentral, kami makan siang-menjelang-sore. Ada mie tarik yang enak di sana. Sayang porsinya terlalu banyak sehingga tak bisa kami habiskan.

Setelah makan, kami langsung ke halte SkyBus untuk menuju KLIA2. Karena bisnya sudah penuh, saya dan Ema terpisah tempat duduk. Kami berangkat pukul 4 sore dan satu jam kemudian, kami sudah sampai di bandara. Way too early, karena penerbangan kami baru pukul 22.20. Padahal saya pikir akan kena macet atau apalah, ternyata lancar-lancar saja.

Antrian di Imigrasi panjang sampai keluar ruangan, tapi karena kami datang awal, kami santai saja. Good luck buat yang datangnya mepet. Setelah melalui Imigrasi, kami bebas dari antrian. Saya dan Ema cari tempat duduk yang oke dan menghabiskan waktu dengan wifi gratisan.

Sekitar pukul 6 sore, ada cewek dari Medan yang kelihatan bingung menemukan gate dengan tujuan Kualanamu. Ketika saya lihat tiketnya, ternyata sudah lewat dari waktu boarding. Saya cek di papan informasi dan tunjukkan dia arah ke gate dimaksud. Untungnya dekat, tapi saya jadi ikut deg-degan juga.

Well, memang lebih baik menunggu daripada deg-degan takut ketinggalan pesawat. Ketika sedang surfing di Facebook, saya baca berita kalau antrian Imigrasi di Batam menuju Singapura untuk weekend ini bisa makan waktu sampai empat jam! Itulah kenapa saya buru-buru ke bandara, untuk menghindari hal-hal semacam itu. Belakangan saya tahu kalau sehari setelah kami pulang ke Jakarta, Kuala Lumpur hujan deras dari siang hingga sore dan membuat banjir jalan menuju bandara. Banjir sebegitu parah hingga badan mobil sedan terendam separuhnya. Saya bersyukur selama dua hari di Kuala Lumpur, kami tidak terkendala hujan.

Pukul 22.20 kami meninggalkan Kuala Lumpur untuk Jakarta dan kami sampai di Jakarta dua jam kemudian. Kalau dalam perjalanan berangkat Ema duduk di kursi tengah, di perjalanan pulang dia duduk dekat jendela. Karena lapar, kami pesan Hainan Chicken Rice yang ternyata enak.

Hari Minggu kami main ke rumah saudara di Jakarta Utara dan Senin siang Ema pulang ke Tegal. Misi kado ulang tahun untuk Ema sudah terselesaikan. Saya berharap jalan-jalan kami ini berkesan buat Ema, supaya dia ingat kalau ulang tahunnya kali ini lebih istimewa. 

Happy birthday, Ema! I love you to the moon and back!

 

Misi Kado Ulang Tahun (I)



Video stop motion berdurasi 00:02:04 kembali saya putar. Angka 25 terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian, entah karena warnanya yang terang kuning merah atau karena angka itu dibuat lebih besar dari rangkaian huruf-huruf sebelumnya. Atau mungkin, karena angka itu adalah inti dari video tersebut. Adik bungsu saya Nanda membuat stop motion itu untuk Ema, Si Tengah yang mengapit saya dan Nanda. Tanggal 11 Maret tahun ini usia Ema 25 tahun. Nanda mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ema melalui video itu yang – meskipun hanya dua menit empat detik -  dibuat dengan 350 foto dalam waktu tiga jam.

Dua puluh lima tahun. Rasanya baru kemarin ketika saya melihat Ema memakai seragam SD dan pergi ke kelas saya malu-malu sebagai anak kelas 1. Waktu itu saya sudah kelas 6, risih karena ada anak kecil yang bolak-balik mengintip di kelas. Beda usia kami yang lima tahun membuat kami berjarak. Namun ketika Ema masuk SMA dan bisa naik motor, dia menjadi teman paling oke yang bisa saya ajak jalan-jalan memutari alun-alun hingga ke perbatasan kota melewati sawah-sawah.

Dua puluh lima tahun. Buat saya itu adalah angka ulang tahun yang sakral setelah tujuh belas. Dua puluh lima harus istimewa. Dua puluh lima harus berkesan.

Adik saya Ema tidak pernah meminta apapun pada saya. Bahkan ketika saya jalan-jalan dan tanya oleh-oleh apa yang dia minta, Ema seringkali menjawab terserah; apa saja. Beda dengan Nanda yang biasanya lebih spesifik. Jauh-jauh hari sebelum ulang tahunnya kali ini, saya kembali tanya apa yang sedang Ema mau. Ema bilang dia ingin satu set alat cetakan kue. Akhir-akhir ini Ema memang suka bereksperimen membuat kue.

Video stop motion yang dikirim Nanda ke WA grup kami bertiga seperti mengingatkan saya kalau ulang tahun kali ini berbeda. Dua puluh lima harus istimewa. Dua puluh lima harus berkesan. Alih-alih membelikan Ema cetakan kue, saya ingin beri dia kado yang lebih dari itu: pengalaman.

Di hari ulang tahun Ema, saya booking dua tiket ke Kuala Lumpur untuk kami berdua. Pengalaman naik pesawat dan ke luar negeri untuk kali pertama akan jadi kado untuk Ema. Karena Ema juga sudah bekerja, saya ambil long weekend  di awal Mei supaya tidak mengganggu jadwal dia.

Awalnya, saya lebih memilih Singapura dibanding Malaysia. Saya sudah alokasikan budget untuk jalan-jalan dengan Ema, yang terbatas juga karena baru bulan April saya ke Korea Selatan dan September nanti ada rencana ke Jepang. Dengan budget tersebut, sebenarnya saya masih bisa jalan-jalan ke Singapura namun dengan kualitas jalan-jalan yang lebih rendah dibanding jika ke Kuala Lumpur. Sebagai gambaran, dengan budget tersebut saya hanya bisa mendapat hostel di Singapura tapi di Kuala Lumpur saya bisa dapatkan penginapan di hotel bintang 3 di tempat yang aksesnya gampang kemana-mana. Ada alasan lain yang membuat saya lebih memilih Malaysia. Akhir tahun lalu saya baru saja ke Singapura sementara terakhir saya ke Kuala Lumpur itu tahun 2011. Belum banyak tempat di Kuala Lumpur yang saya eksplor. Jadi saya pikir ke Kuala Lumpur akan menyenangkan juga.

Selama rentang waktu Maret hingga keberangkatan di bulan Mei, Ema membuat paspor sementara saya menyiapkan itinerary, booking hotel dan memesan tiket Petronas Twin Towers secara online. Saya print juga peta jalur GO-KL free bus dan screen-capture Google Map untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Selain itu, saya sudah pula pesan tiket SkyBus online dari bandara KLIA2 ke KL Sentral dan sebaliknya. Semua sudah direncanakan dengan presisi, apalagi waktu kami hanya terbatas dua hari di tanggal 6-7 Mei 2016. Ini mengingatkan saya ketika dulu solo traveling atau ketika jalan-jalan dengan bapak-ibu.

Kamis siang, 5 Mei 2016, saya jemput Ema di Stasiun Gambir. Dia naik kereta pagi dari Tegal. Hujan turun ketika saya jemput Ema, padahal hari-hari sebelumnya Jakarta cerah ceria. Iseng saya cek ramalan cuaca untuk esok hari dan lusa di Kuala Lumpur. Dua hari itu diramalkan hujan. Duh, mana seru jalan-jalan hujan-hujanan begitu. Saya jadi galau, tapi tak memberi tahu Ema supaya dia tetap semangat dengan rencana jalan-jalan kami.

Esoknya, pukul 4 pagi saya dan Ema naik taksi menuju bandara. Ketika kami sampai di sana, Terminal 3 Soekarno-Hatta masih sepi, dan bahkan baru kami berdua yang melewati Imigrasi. Pukul 06.25, AirAsia sudah membawa kami ke Kuala Lumpur. Kami pesan Basil Chicken Rice karena penasaran (kami sudah sarapan Rotiboy) dan well, ternyata rasanya lumayan.

Dua jam kemudian, pukul 09.25 waktu setempat kami sampai di KLIA2. Setelah melewati Imigrasi yang ramai, kami langsung menuju tempat SkyBus. Beruntung tak lama setelah kami duduk, bis mulai jalan.

Ini pertama kalinya saya ke Kuala Lumpur melalui KLIA2. Sebelumnya saya ke sana naik bis dari Penang. Jarak dari bandara ke pusat kota ternyata jauh; sekitar satu jam tanpa macet. Saya dan Ema sampai tertidur saking ngantuknya.

Sekitar pukul 11 siang kami sampai di KL Sentral. Begitu keluar dari bis, hawa panas langsung terasa. Oh well, ternyata tidak hujan seperti yang diramalkan. Dari KL Sentral, kami naik LRT untuk turun di Pasar Seni. Sampai di Stasiun Pasar Seni, kami hanya perlu berjalan dua menit untuk sampai di Hotel Geo tempat kami menginap. 

 Hotel Geo. Recommended!

Lokasi Hotel Geo sangat strategis. Serius. Hotel ini dekat kemana-mana dan banyak tempat wisata yang bisa dijangkau dengan jalan kaki. Yang lebih asik, bis GO-KL yang gratisan juga mangkal di depan hotel ini.

Meskipun datang lebih awal, ternyata kami boleh early check in. Padahal mestinya itu baru bisa dilakukan pukul 3 sore. Rasanya nyaman sekali masuk ke kamar ber-AC setelah sebelumnya badan lengket karena udara yang lembab. Setelah menaruh barang, kami mulai jalan-jalan sekalian makan siang.

Kami mulai dengan Petaling Street dan berharap bisa makan bakmi enak di situ. Banyak sih warung-warung makan yang menjual chinese food di situ, tapi rata-rata mengandung babi. Kami akhirnya makan di Petaling Café karena sudah bingung mau cari makan dimana lagi. Ema pesan mie Kanton sementara saya hanya makan pangsit yang bikin kenyang.

Dari sana, kami jalan ke Central Market – yang persis seberang hotel – dan membeli oleh-oleh di sana. Saya beli beberapa kartu pos dan Ema – setelah saya yakinkan – akhirnya beli satu kartu pos juga. Saya selalu suka mengirimkan kartu pos, tapi well, tidak semua orang punya kesukaan yang sama. 

 Kasturi Walk, Central Market

Ema suka belanja, jadi dia betah di Central Market. Melihat-lihat baju dan tas dengan teliti, satu-satu. Sementara saya hanya mengikuti karena tempat belanja bukanlah favorit saya. Saya dan Ema sering jalan ke mall bareng, tapi ada saatnya ketika dia lebih memilih ngadem di toko baju dan saya di toko buku. Dan kami nyaman-nyaman saja dengan perbedaan itu. Kami sudah terbiasa dengan itu.

Mestinya dari Central Market kami langsung ke KL City Gallery. Tapi karena bawaan oleh-oleh yang berat dan matahari sedang panas-panasnya, kami memutuskan balik ke hotel dan istirahat sebentar…yang tidak jadi sebentar karena kami malah tidur siang.

Sorenya ketika matahari sudah lebih ramah, kami keluar hotel jalan kaki menuju KL City Gallery. Mood kami jauh lebih baik dibanding siang tadi yang lelah dan tak nyaman karena badan lengket dengan keringat. Sore itu kami sudah merasa segar karena istirahat yang cukup dan mandi dengan air hangat. Kami berjalan santai, sempat nyasar, dan akhirnya menuju yang benar .___. Sepanjang jalan kami beberapa kali berhenti untuk foto-foto. Jalan yang kami lewati merupakan kota tua dengan bangunan-bangunan yang keren untuk foto-foto; mulai dari Museum Tekstil Negara hingga Sultan Abdul Samad Building.

 Sultan Abdul Samad Building

 Foto-foto apalah...

Di KL City Gallery kami foto di tulisan “I *heart symbol* KL” yang ikonik, kemudian masuk ke dalamnya. Rupanya pengunjung sore itu hanya kami berdua. Kami melalui ruang berisi sejarah Kuala Lumpur dan ke ruang terbuka yang menampilkan bermacam-macam motif batik. 

KL City Gallery

Namun yang paling istimewa adalah The Spectacular City Model Show. Hanya saya dan Ema yang masuk ke ruangan ini, berdua. Seorang petugas mengarahkan kami untuk berdiri di satu titik dan di depan kami terhampar maket kota Kuala Lumpur. Ruangan yang gelap tiba-tiba berubah semarak dengan lampu-lampu yang memancar menyoroti maket.  Kami diperbolehkan memotret asal tanpa blitz, tapi sungguh, susah rasanya memotret ketika kita terpukau dengan apa yang ada di hadapan. The show was simply amazing!  

 Ini lebih seru pas ada lampu sorotnya

Di seberang kami ada layar besar yang menjelaskan sejarah Kuala Lumpur dan proyeksinya di masa depan. Ketika dijelaskan tentang satu tempat tertentu, cahaya warna-warni akan menyelimuti miniatur tempat itu. Saat ini Malaysia punya KL Tower dan Petronas Twin Towers yang menjadi ikon Kuala Lumpur, tapi nanti di 2019 mereka mempunyai KL118 yang akan menjadi yang tertinggi di Malaysia. Monas di Indonesia apa kabar?

Di tengah-tengah menonton, Ema bilang begini, “Mbak, aku..jadi merinding. Bagus ya..”

Saya juga merinding karena takjub, campur iri ketika melihat proyeksi Kuala Lumpur di 2020. Tata kota di sana relatif lebih rapi dengan transportasi yang lebih terintegrasi dibanding Jakarta. Well, bagaimanapun susah untuk tidak membandingkan Malaysia dengan negara sendiri.

Sepertinya KL City Gallery adalah highlight jalan-jalan kami sore itu.

Oya, tiket masuk ke KL City Gallery hanya RM5 per orang. Tapi itu bisa digunakan untuk membeli oleh-oleh di toko souvenir di sana senilai nominal itu. Enak ya?

Dari KL City Gallery kami ke Dataran Merdeka dan foto-foto lagi. Saat itu langit sudah keliatan gelap. Tak ingin lama-lama karena mendung, kami kembali lagi ke hotel untuk menunggu bis GO-KL. Tujuan jalan-jalan kami selanjutnya adalah Bukit Bintang.

 GO-KL free bus

GO-KL dekat hotel ini masuk jalur ungu. Saya dan Ema dapat tempat duduk karena masih halte pertama. Di samping kami ada cewek-cowok Korea yang pacaran romantis seperti di k-drama. Di depan kami ada satu rombongan keluarga Indonesia yang ingin jalan-jalan ke Petronas naik GO-KL tapi tidak punya peta jalurnya, jadi mereka memotret peta yang saya bawa.

Kuala Lumpur sore hari macet. Tidak beda jauh dengan macet di Jakarta. Saya lihat ke luar; meskipun mendung, ternyata tidak sampai turun hujan. Kami turun di halte Pavilion karena tujuan kami ke Bukit Bintang cuma ingin makan malam di mall-nya. Kami makan di Grandma’s Kitchen; Ema pilih nasi lemak dan saya pilih kwetiaw. Masakannya enak (dengan porsi besar) dan orang-orangnya ramah bikin tambah betah.

Sesuai itinerary, mestinya dari Bukit Bintang kami pulang ke hotel. Namun malam masih panjang, dan kami tidak berniat menghabiskan semalaman di Pavilion. Akhirnya saya dan Ema memutuskan pergi ke Petronas Twin Towers untuk mendapatkan momen gedung itu di malam hari. Dari Pavilion ada skywalk yang menghubungkan Bukit Bintang dengan KLCC. Lumayan juga jalannya, tapi tak apalah. Demi. 

 Petronas Twin Towers lebih keren kalau malam

Keluar dari KLCC, kami langsung dapat melihat tower kembar itu. Dulu saya ke sana di siang hari, beda rasanya kini melihatnya di malam hari. Lebih apa ya…mewah, karena cahaya putihnya. Kami foto-foto (lagi) dan berjalan terus hingga persis di depannya. Puas foto-foto, kami kembali lagi melalui skywalk yang sama. Meskipun sudah jam 9 malam, skywalk ini tidak sepi. Yang lebih membuat nyaman, ada beberapa petugas yang saya lihat berjaga di sana.

Saya dan Ema sempat ingin naik LRT ke Pasar Seni dan memotong jalan skywalk, tapi ternyata kami malah nyasar lebih jauh. Akhirnya kami tetap kembali ke tempat semula dan naik GO-KL jalur ungu. Oya, sempat juga ada orang gila di jalan keluar skywalk yang bikin deg-degan karena serem. Mana sudah malam. Tapi untung dia cuma meracau sendiri, tidak sampai menganggu.

Bis GO-KL yang datang sudah penuh dengan penumpang. Saya dan Ema mesti berdiri, yang untungnya tak lama. Satu stop kemudian, dua orang di samping kami turun jadi saya dan Ema bisa langsung menempati tempat mereka.

Badan sudah lelah dan kaki baru terasa sakit karena terus jalan-jalan. Sampai di halte terakhir GO-KL Pasar Seni, kami hanya berjalan sebentar untuk sampai ke Hotel Geo. Rasanya bahagia bisa langsung tiduran di kasur. Seriusan, memilih menginap di hotel ini adalah salah satu keputusan terbaik saya untuk jalan-jalan di Kuala Lumpur.