Thursday 24 May 2012

No Other but ‘No Other’

Sebulan belakangan ini, saya sedang demam lagu Korea. Saya memakai kata ‘lagu’ – bukan ‘lagu-lagu’ – karena memang hanya ada satu lagu yang terus terputar di kepala saya sepanjang hari. Kalau ada semacam Top 40 versi saya, lagu itu pasti sudah kokoh bertengger sebagai jawara.

Lagu ini berjudul ‘No Other’, dari boyband yang sedang booming asal Korea; boyband yang tengah digilai perempuan-perempuan muda Asia, termasuk Indonesia. 10 poin untuk yang menebak Super Junior! 100 poin bagi yang sudah tahu lagunya!

Lucunya, lagu ini justru tak sengaja saya temukan ketika sedang mencari alasan kenapa orang  bisa tergila-gila dengan Super Junior.

Well, saya bukanlah penggemar K-Pop. Ketika Korean Wave melanda, saya masih sering searching di YouTube tentang telenovela ala Meksiko di tahun 90-an. Ketika boyband dan girlband Korea mendadak populer dan melibas dominasi boy/girlband dari Amerika atau Eropa, saya masih setia mendengarkan lagu-lagu Westlife, BSB, dan Boyzone.

Saya sudah sering mendengar nama Super Junior – segala hal tentang mereka bahkan beberapa kali merajai trending topic worlwide di twitter – , tapi gaungnya semakin terdengar ketika mereka akan menggelar konser di Jakarta pada 27-29 April 2012. Media, baik cetak atau elektronik, ramai memberitakan kedatangan Super Junior. Histeria fans fanatiknya membuat saya bertanya-tanya: apa istimewanya Super Junior?

Sebelumnya, pengetahuan saya tentang Super Junior terbatas pada asal negara dan jumlah personelnya yang belasan (yang bahkan saya tidak tahu pasti ada berapa). Tapi akan aneh kalau saya sudah memicingkan sebelah mata duluan sebelum melihat penampilan mereka. Ketika saya mengetik ‘Super Junior’ dalam mesin pencari di YouTube, lagu ‘No Other’ muncul di laman pertama.

Dan oh, saya langsung jatuh cinta dengan lagu itu!


Hmmm…baiklah, ini saya tampilkan video ‘No Other’ dari YouTube supaya kita punya tontonan yang sama, sebelum saya cerita lebih jauh.


*) lebih baik menonton langsung di YouTube untuk kualitas video yang lebih baik

Awalnya Siwon-lah yang mencuri hati saya dengan senyumnya, dengan matanya, dengan kemeja kotak-kotaknya… Kemudian saya coba googling arti lagu itu, semakin dalam suka saya. Saking seringnya video ‘No Other’ ini diputar, lama kelamaan saya hapal nama anggota Super Junior karena mulai familiar dengan wajah-wajah mereka. Setelah Siwon, Kyuhyun sempat hampir jadi favorit saya, sebelum akhirnya Donghae yang merebut posisi tersebut. Kalau ada yang belum tahu yang mana Donghae, dia adalah pria dengan setangkai bunga mawar yang mulai menyanyi solo di detik 53.

‘No Other’ adalah lagu yang sangat manis. Errr…beberapa personel Super Junior terlihat ‘terlalu manis’ dalam video klip tersebut. Bukan masalah buat saya, karena toh yang saya perhatikan di sepanjang video hanya Donghae dan Siwon, selain lagunya yang enak didengar, tentu saja.

Setelah ‘No Other’, saya mulai mencari lagu-lagu Super Junior yang lainnya. Rata-rata enak didengar dengan temponya yang cepat. Gaya menari mereka juga enak dilihat. Tapi belum ada yang bisa menggeser ‘No Other’.

Mungkin lagu ini masih akan stuck di kepala saya sampai beberapa minggu ke depan. Sampai saat itu, mungkin benar saya sedang demam Korea.

Dan oh, sekarang saya sudah tahu alasan tergila-gilanya fans pada Super Junior.

And I really wanted to scream:

I LOVE YOU SO MUCH!

Sunday 13 May 2012

Empat yang Tertunda

April yang lalu – tepatnya tanggal 4 – adalah ulang tahun pertama blog ini. Saya sengaja tidak menulis satu postingan-pun, sebagai bentuk kontemplasi.

*hening*

Bohong dink, terutama di bagian kontemplasinya.

#iLied Meme

Jadi, bulan kemarin itu saya sedang sibuk-sibuknya di kantor. Ada banyak acara, ada banyak yang harus dikerjakan. Jangankan menulis di blog, baca buku saja jarang. Nonton film, apalagi. Buku TOEFL iBT terbitan Kaplan setebal 402 halaman nyaris tak tersentuh, padahal saya punya target menyelesaikannya sampai akhir Mei. Saya mentok di halaman 50 sampai detik saya menulis ini. Akhir pekan juga habis untuk mengerjakan pekerjaan kantor. Intinya, saya sedang sibuk.

Saya punya banyak cerita untuk dijadikan tulisan. Tapi karena sudah lewat dari sebulan – cerita pertama bahkan ada di akhir Maret –, saya putuskan untuk merangkumnya untuk dijadikan satu postingan. Ini beberapa di antaranya:

Serbuan Kantuk

Senin petang. 26 Maret 2012. Saya pergi ke sebuah hotel di kawasan Thamrin, menemui seorang teman di sana, sebelum esok harinya dia bertolak ke Amerika. Saya bawa dua kotak Four Fingers, satu untuknya, dan satu lagi untuk seorang teman yang tak lama datang menyusul. Kami berencana menghabiskan malam dengan makan dan nonton bareng, tipikal hang out a la kami.

Hujan yang turun deras hingga malam turun membuat kami agak menunda waktu, sebelum akhirnya ke Grand Indonesia naik taksi. Puas memutari Grand Indonesia dan Plaza Indonesia, kami ke EX untuk membeli tiket bioskop. The Raid jadi film pilihan kami, lebih karena banyaknya review yang menyanjung-nyanjung film itu. Film laga bukan tipe film saya, sebenarnya. Tapi tak apalah untuk kali ini saja. Dan untuk kali itu juga, alih-alih membeli tiket XXI, kami membeli tiket The Premiere untuk jadwal jam 21.55. Sembari menunggu, kami makan sambil mengobrol ini-itu.


Menjelang pukul sepuluh malam, kami sudah duduk di kursi bioskop sesuai nomor yang tertera pada tiket. Beberapa orang sudah ada di dalam, kebanyakan sih couple *iri*. Ini kali pertama saya nonton di The Premiere, setelah sebelumnya hanya tahu teater film ini dari iklan. Lirik kiri-kanan, saya perhatikan bagaimana cara membuat kursi jadi memanjang seperti tempat tidur. Selimut saya ambil dari laci meja di sebelah kiri kursi. AC yang dingin membuat saya menyelimuti tubuh mulai dari dada hingga ujung kaki. Tempat seperti ini sih cocoknya dikunjungi bareng pacar sambil nonton film romantis. Eh..

Film The Raid (yang di-Indonesia-kan sebagai Serbuan Maut) bukan film romantis, tentu saja. Di menit-menit awal, saya sudah menutup mata saking adegannya yang sadis. Duh! Saya akui The Raid adalah film yang dahsyat. Dentuman, bising peluru, cabikan, suara pukulan, tendangan, terdengar detail dan realistis. Kalau ada yang kurang, mungkin dialognya yang kurang kuat. Tapi siapa mau peduli jika sudah terpesona dengan gaya tarung Iko Uwais?

Betapapun serunya perkelahian dalam layar besar di depan, kombinasi AC yang sejuk, selimut yang hangat, dan waktu yang merambat mendekati tengah malam, membuat mata saya tak kuat menahan kantuk. Berkali-kali terjaga, berkali-kali pula kalah dengan godaan untuk sejenak keluar dari semua tokoh dan adegan dalam layar. Puncaknya, saya sukses terlelap justru di adegan klimaks ketika Rama bertarung dengan Mad Dog.

-_______-

Saya terbangun ketika closing credit mulai muncul. Saya bahkan mesti bertanya pada teman tentang bagaimana Rama bisa mengalahkan lawan utamanya itu. Saran saya, kalau ingin menonton di The Premiere, jangan di jam-jam menjelang tengah malam. Mengantuk itu pasti, tertidur itu akibat.

Kuis Tebak Halaman Donal Bebek

Februari. Nuansa pusat-pusat perbelanjaan masih didominasi merah muda. Pun dengan salah satu toko buku langganan saya. Tak seperti biasanya, saya melangkah menuju rak tempat majalah edisi terbaru dijejer. Pandangan saya langsung tertuju pada majalah Donal Bebek edisi Valentine. Di sudut kiri atas majalah itu, ada gambar teropong bintang sebagai hadiah kuis Tebak Halaman. Saya langsung teringat dengan Nanda, adik lelaki saya. Sudah lama dia ingin teropong bintang, dan saya menjanjikannya teropong itu kalau dia bisa lulus SMP dengan nilai bagus. Saya beli majalah Donal Bebek untuk mengikuti kuis itu. Target utama saya teropong bintang, tentu saja. Kalau menang, sudah saya niatkan untuk Nanda.

Saya baca petunjuk dalam kuis, dan terpikir untuk membuat postcard sendiri agar terlihat berbeda. Saya buat dua postcard, satu untuk kuis Tebak Halaman, dan satunya lagi untuk Kuis The Muppets. Setelah mengirim lewat pos, saya tinggal menunggu pengumumannya di awal April.


Terlepas dari niat saya membeli majalah untuk mengikuti kuis, Donal Bebek pernah dekat dengan masa kecil saya, selain Bobo. Saya bahkan punya satu bendel kumpulan majalahnya. Membaca majalah ini, seperti menyelam ke masa lalu. Dialog dan font-nya yang khas nyaris tak berubah. Karakternya juga sama seperti yang saya kenal bertahun-tahun lalu.

Senin pagi, 9 April 2012. Sebelum ke bandara untuk urusan pekerjaan, saya sempatkan ke kios untuk membeli edisi terbaru majalah Donal Bebek. Hari itu pengumuman pemenang kuis. Begitu duduk di kursi Damri, saya langsung sobek plastik pembungkusnya. Saya buka halaman demi halaman, dan mendapati nama seorang lelaki memenangkan hadiah teropong bintang.

Hati saya hampir jatuh, ketika saya lihat nama saya terpampang di ujung kanan halaman. I win a tablet PC, Baby! YAY! Iya, alih-alih teropong bintang, saya memenangkan sebuah tablet PC.


Senin berikutnya, sebuah paket sampai di meja kerja saya. Dari majalah Donal Bebek. Akhir pekan itu, saya pulang ke rumah. Sesuai dengan niat awal, hadiah kuis itu saya berikan untuk Nanda.

Jakarta Opera Gala Concert

Saya beruntung punya teman yang update soal konser musik di Jakarta. Adalah Mbak Tami – yang lagi-lagi – memberi info soal Jakarta Opera Gala Concert yang diadakan pada 15 April 2012, di Bali Room, Hotel Indonesia Kempinski. Bersama dua orang teman yang lain, kami berempat sudah booking tiket jauh-jauh hari sebelumnya. Kami beli tiket paling murah, demi bisa menabung untuk menonton konser-konser lain serupa.

Minggu malam itu, kami bertemu di lobi depan Bali Room. Dengan mengantongi tiket paling murah, kami duduk di kursi paling belakang. Tak terlalu jadi masalah sih, karena banyak kursi kosong di tengah sehingga pandangan kami tak terhalang. Seorang teman terlambat akibat terjebak macet, hingga mesti masuk di sela-sela pergantian lagu.

Saya beberapa kali menonton konser musik klasik, tapi ini pertama kalinya saya menonton opera. Sebelum adegan dimulai, ada narasi yang dibacakan sehingga penonton tahu maksud lagunya. Sayangnya, suara yang terdengar seperti teredam. Tidak sejernih konser-konser klasik lain yang saya tonton. Kalau kata Mbak Tami, itu karena gedungnya bukan gedung akustik. Beda seperti Aula Simfonia tempat kami sebelumnya menonton konser.

Para penyanyi yang berakting di depan memakai baju-baju gaya masa lampau; zaman para pria memakai wig bergelung warna putih. Perhatian saya baru sepenuhnya tercuri ketika Via Resti Servita dimainkan. Meski tak paham sama sekali dengan bahasanya, saya bisa menikmati lagu itu lewat gerak tubuh penyanyinya. Selain lagu itu, The Telephone di sesi kedua juga sama berkesannya. Di antara semua penyanyi, yang paling menyedot perhatian adalah Suzanne Shakespeare; soprano solois di Sydney Opera House. Suaranya yang jernih melengking tinggi selalu diberi apresiasi tinggi oleh penonton.

Konser di bawah arahan Avip Priatna ini juga menghadirkan Jakarta Concert Orchestra, Batavia Madrigal Singers, Farman Purnama (tenor), Rainier Revireino (bariton), BMS Solis Ensemble, The Resonanz Children Choir, serta penyanyi lainnya.

First in English First

Saya punya target pribadi seputar belajar Bahasa Inggris. Buku latihan soal, sudah dibeli. Kamus bergambar terbitan Oxford untuk memperkaya kosakata, juga sudah ada. Tapi rasanya kurang sah kalau tidak ikut les untuk melatih berbicara. Kebetulan di dekat kosan, baru dibuka EnglishFirst (EF). Waktu tempuh yang cuma 20 menit berjalan kaki dari kosan membuat saya tertarik untuk belajar di sana. Apalagi sebagian besar pengajarnya adalah native speaker. Setelah beberapa kali tanya-tanya mulai dari harga, jadwal hingga ikut placement test, akhirnya saya memulai les hari pertama pada Senin tanggal 16 April 2012.

Dalam seminggu, ada tiga jadwal dengan jeda satu hari. Dimulai jam 7 malam, kelas berakhir setelah 80 menit. Satu kelas ada enam orang. Rata-rata sudah bekerja, kecuali satu yang masih sekolah.

Kami sedang duduk-duduk di depan kelas, ketika seorang perempuan muda berambut pirang menyapa. Dari textbook yang dia bawa, tahulah kami bahwa dia adalah pengajar di kelas ini. Di menit-menit pertama dia memperkenalkan diri, banyak kata yang hilang sebelum masuk ke telinga saya. Bicaranya cepat, aksennya tak bisa saya baca.

Yang saya tahu dari perkenalan singkat itu, nama pengajar kami adalah Miss L. Dia berasal dari Inggris, di sebuah kota dekat Newcastle. Baru beberapa minggu dia di Indonesia, setelah sebelumnya – kalau tidak salah ingat – dia mengajar di Sri Lanka dan Malaysia.

Di pertemuan pertama itu, kami membahas tentang The Spice of Life. Kami saling bertanya tentang makanan favorit, dan juga membahas makanan khas dari sebuah negara berikut perbandingannya dengan negara lain. Ini tema yang agak sulit buat saya, mengingat saya terlalu cinta masakan Indonesia. Tanyakan rasa sushi, misalnya, saya tak bisa menjawab. Mencicipinya saja tak pernah -_______-

Di pertemuan-pertemuan selanjutnya, telinga saya sudah lebih akrab dengan aksen si pengajar. Setelah beberapa pertemuan, saya bisa membedakan aksen dia yang ‘utara’, dengan aksen Inggris yang ‘selatan’. Saya juga mulai bisa menangkap aksen yang khas ‘Ratu Inggris’. Sepanjang yang saya tahu, sebagian besar pengajar di EF tempat saya belajar berasal dari UK. Seorang pengajar dari daerah selatan Inggris punya aksen yang jauh lebih susah dipahami ketimbang aksen yang biasa saya dengar dari Miss L. Temponya lebih cepat, dan antara satu kata dengan yang lainnya hampir-hampir tak berjeda. Dari pertemuan-pertemuan itu juga, saya jadi tahu beda American English dengan British English. Mulai dari istilah sampai pelafalannya.

Saya paling suka dengan games sebelum atau sesudah pertemuan. Itu membuat kelas jadi lebih hidup. Yang paling terasa dari les ini adalah bertambahnya kosakata yang saya ingat di setiap pertemuan. Dan yang paling penting, berinteraksi langsung dengan native speaker memang beda. Saya jadi lebih terbiasa dengan aksennya. Minimal, melatih listening saya.

Well, itulah empat cerita yang sudah ingin saya bagi dari bulan kemarin. Bulan Mei ini membuat saya bersemangat karena libur panjang di tengah bulan. Can’t wait for long holiday!