Wednesday, 17 August 2011

Percaya Saja

Di suatu Sabtu sore. Centro Plasa Semanggi jadi tempat tujuan saya untuk membeli baju kerja sekaligus menghabiskan akhir pekan. Satu orang yang pertama terlintas untuk menemani membeli baju adalah Mbak Vita, personal fashion stylist teman baik saya. Dia selalu bisa memilihkan baju yang cocok untuk saya. Lagipula, dia juga suka belanja. Mengajak Mbak Vita ke Centro sama seperti mengajak Stacey McGill ke Bloomingdale atau mengajak Claudia Kishi ke Museum of Modern Art.

Seperti biasa, Centro penuh dengan diskon. Kami mulai melihat-lihat. Prinsip belanja saya sederhana saja, kalau cocok model dan harganya, langsung saya beli. Saya bukan orang yang suka membanding-bandingkan harga atau berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan nilai keekonomian paling tinggi. Saya tidak betah menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanya memilih satu baju.

Ratusan model baju yang ada – entah tergeletak di rak atau tergantung di hanger – membuat saya melakukan penyortiran cepat. Dalam sekali lihat, saya tahu saya menginginkan atau tidak menginginkan baju itu. Saya cenderung menyukai baju dengan model tertentu. Inilah kenapa saya mengajak Mbak Vita. Kami memiliki selera berbeda, tapi dia tahu ketika ada baju yang pas untuk saya pakai. Dia bisa membuat saya memilih baju yang awalnya saya abaikan. Kalau tidak begitu, bisa-bisa saya memilih baju dengan model yang sama terus, hanya beda warna.

Setelah melihat-lihat sebentar, mood saya untuk membeli baju kerja hilang. Tidak ada model yang menarik perhatian saya, bahkan yang juga dipilihkan oleh Mbak Vita. Kalaupun ada, harganya berkali lipat dari budget. Niat awal untuk membeli baju kerja diperluas untuk membeli apa saja di Centro. Saya ingin pulang membawa sesuatu. Saya melihat-lihat kaos, tas, jeans, sepatu. Sekilas-sekilas. Tetap, tidak ada yang saya rasa pas.

Bosan, saya mengajak Mbak Vita ke toko buku bekas di lantai atas. Deretan toko ini adalah yang pasti saya kunjungi setiap ke Plasa Semanggi, selain Gramedia. Mbak Vita sih sudah tahu kebiasaan saya, jadi dia tidak protes ketika saya ajak. Bau baju baru di Centro langsung terganti dengan buku lama. Salah satu buku yang paling saya cari kalau ke sana adalah Petualangan di Sirkus Ajaib oleh Enid Blyton. Kalau buku itu sudah ada di tangan, artinya koleksi seri petualangan saya sudah lengkap. Tapi saya juga suka mencari-cari buku lama yang lain. Masuk dalam daftar pencarian saya adalah Penari Izu, komik Candy-candy, dan you know, serial BSC yang belum saya punya. Saya bisa menghabiskan waktu lebih lama di situ daripada di Centro.

Dari toko buku bekas, kami makan dan mulai mengobrol. Kami terus mengobrol bahkan ketika makanan di depan kami tandas dilahap. Sudah malam ketika kami memutuskan untuk pulang.

Inilah sebenarnya bagian paling penting dari postingan ini.

Untuk pulang ke kos dari Plasa Semanggi, saya biasa naik Kopaja 66 untuk kemudian turun di Sentra Mulia. Dari situ, saya bisa jalan kaki ke kos.

Itu bagian pentingnya?
Bukan.

Untuk naik Kopaja 66, saya harus menunggu di depan Plasa Semanggi; salah satu jalan menuju pintu keluarnya adalah lewat Centro. Mbak Vita ikut mengantar saya ke pintu keluar. Dia naik kendaraan yang berbeda menuju ke kos-nya.

Penting?
Tidak.

Bagian paling pentingnya adalah ketika kami melewati Centro.

Saat itu, saya sudah tidak ada niat untuk membeli baju. Tidak ada niat sama sekali. Kalau mau lebay, saya bisa bilang harapan saya sudah pupus. Ketika sedang berjalan itu, kami melihat ada diskon untuk pembelian tiga item sekaligus. Saya, yang dari tadi bolak-balik melewatinya, mendadak ingin melihat lebih dekat. Niat tidak niat, saya coba dua jeans dan satu kemeja.

Sebagai informasi, saya selalu punya masalah untuk membeli jeans; entah karena kepanjangan atau tidak nyaman dipakai. Jeans yang terakhir saya beli jarang saya pakai karena membuat gerak saya seperti robot.

Saya sudah punya pikiran buruk kalau jeans itu tidak akan muat dan kemeja-nya akan kebesaran.

Salah.

Ketiganya nyaman saya pakai. Tiga-tiganya! Tidak ada yang perlu dipermak. Yang lebih menyenangkan, harganya di bawah budget saya.

Saya langsung bawa ke kasir (keterangan tidak terlalu penting: Laudya Chintya Bella mengantri di kasir sebelah saya). Saya pulang dengan belanjaan dan hati riang.

Sepanjang perjalanan pulang, saya memikirkan kejadian itu. Menembus jalanan Jakarta yang sedang tidak macet, duduk di samping jendela, sebuah kalimat muncul di kepala saya. It happens when you least expect it. Pernah dengar? Ketika sudah tidak terlalu berharap, kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Yang saya alami itu sih baru contoh kecil saja. Coba kalau filosofi ini ditempatkan pada hal lain seperti soal jodoh. Bukan berarti kita hanya menunggu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Bukan berarti kita dengan mudah kehilangan harapan dan menyerah. Kita tetap harus berusaha. Masa sih Tuhan tidak melihat kegigihan kita? Tapi... kalau kita sudah melakukan semuanya dan masih diajak untuk bersabar, terima saja. Mungkin Tuhan punya sesuatu atau seseorang yang lebih baik untuk kita. Percaya saja.


4 comments:

  1. huaaaahhhh.... cantiiikk mbaak tulisannya :*
    love it!

    ReplyDelete
  2. People said "kalo udah jodoh nggak kemana" and the other ones said "kalo nggak kemana-mana nggak ketemu jodoh"

    What do you think?

    ReplyDelete