Kalau disuruh memilih antara gunung atau laut, tanpa berpikir panjang, saya akan menjawab gunung. Saya tinggal dekat laut. Kota kecil saya terkenal dengan sebutan Kota Bahari. Mestinya saya lebih akrab dengan deburan ombak. Mestinya saya lebih cinta dengan aroma laut. Tapi tidak. Hati saya sudah jatuh pada pegunungan yang menghijau. Laut tidak pernah membuat saya begitu terkagum-kagum, sampai peristiwa kemarin.
Jadi, akhir minggu ini saya ke Semarang. Karena sudah kangen, saya memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah, sebelum kembali ke Jakarta. Saya mencoba Kaligung Mas, kereta eksekutif Semarang-Tegal. Sebelumnya, Kaligung hanya menyediakan kelas ekonomi dan bisnis saja. Dengan harga tiket yang lebih mahal, Kaligung Mas menyediakan fasilitas yang nyaman. Tidak ada lagi panas-panasan dalam kereta. Tidak ada lagi kursi yang keras. Kaligung Mas menyediakan kursi yang empuk dan AC yang sejuk. Perjalanan sore itu saya bayangkan akan menyenangkan. Untuk menghangatkan badan, saya pesan Milo panas pada pramusaji kereta.
Saya duduk di deretan kursi bagian kanan, dekat dengan jendela. Padahal spot favorit saya ada di deretan kiri. Sederhana saja alasannya. Dengan duduk di sebelah kiri, saya bisa puas memandang pegunungan, sementara kanan, laut-lah yang akan saya lihat.
Seharusnya saya tahu, laut sore hari bisa jadi sangat cantik.
Sore itu, langit membias dominasi warna pink dan bergradasi dengan warna merah jingga. Perpaduan warna langit seolah dilukis kuas dengan gaya abstrak. Matahari senja terlihat bulat penuh. Sinarnya tak lagi menyilaukan. Laut mulai berwarna biru gelap, deburan ombaknya kecil-kecil menghantam bebatuan terjal di depannya. Suasana sore yang hening membuat hati saya larut dalam tenang. Melihat itu semua, saya seolah dilempar ke lukisan dalam postcard.
Saat tengah menikmati keindahan di balik jendela kereta, Milo panas pesanan saya datang. Saya minum sedikit-sedikit, sementara mata saya tak lepas memandang ke luar. Manisnya menggambarkan perasaan saya saat itu. Panasnya menceritakan perasaan saya yang bersemangat, sembari berharap malam agak menunda untuk datang.
Sore itu, Milo terasa sepuluh kali lebih lezat. Sore itu, saya tak lagi menoleh ke jendela sebelah kiri.
Tapi gak ada fotonya. Aku kan juga mau liat. :P
ReplyDeleteKemarin sempat pengin motret pake camdi, tapi gak jadi :P Penumpang di depanku kan juga foto-foto pake camdi, tapi hasilnya gak oke. Karena terhalang sama kaca, warnanya jadi gak vivid. Mending dinikmatin aja sesorean itu :)
ReplyDeletesumpah bahasaaaaanyaaaa... srasa baca sastra lama mbaaak. hehehe.... antik
ReplyDeleteIya, gaya bahasanya memang jadul hehe... :D
ReplyDelete