Beberapa bulan terakhir ini saya sering bolak-balik ke Bandara Soekarno-Hatta untuk urusan dinas. Kalau tidak sedang buru-buru, saya biasanya naik bis Damri dari Stasiun Gambir. Setiap 15 menit, bis akan mengantarkan penumpang ke bandara.
Yang paling saya suka dari bis Damri selain murahnya (hanya Rp 20.000 tanpa tambahan uang tol) adalah jendelanya yang lebar dan bersih. Sebisa mungkin saya memilih untuk duduk di kursi dekat jendela. Kalau sedang lancar, perjalanan ditempuh dalam waktu 45 menit sampai 1 jam. Selama rentang waktu tersebut, biasanya saya akan memandang ke luar melalui jendela sambil mendengarkan lagu-lagu dari iPod saya. Terlebih seringnya saya jalan sendirian. Bagi saya, saat seperti itu adalah saat me-time yang personal. Saya punya waktu untuk diri sendiri.
Saat duduk dekat jendela, saya memikirkan banyak hal. Random. Terkadang, tiba-tiba saja muncul pertanyaan-pertanyaan absurd yang tak akan sempat terlintas dalam rutinitas kehidupan biasa.
Ketika melihat orang-orang di luar jendela, saya seringkali bertanya pada diri sendiri: apa yang mereka pikirkan saat itu? Apakah mereka nyata? Bagaimana kalau hanya saya yang nyata seperti halnya Truman Burbank dalam film The Truman Show?
Intermezo sejenak.
Pernah nonton The Truman Show? Film yang dibintangi oleh Jim Carrey ini adalah salah satu film unik yang susah untuk saya lupakan. Berkesan sejak saya pertama kali menontonnya. The Truman Show mengisahkan sebuah reality show terbesar di dunia yang menghadirkan kehidupan Truman Burbank sejak dia lahir. Semua orang di sekelilingnya – maksud saya semua – adalah pemeran figuran. Ayah, ibu, istri, bahkan sahabat dekatnya adalah aktor bayaran. Semua orang dalam kehidupan Truman adalah pemain film! Semua produk yang tampak dalam hidup Truman adalah iklan. Kisah hidupnya diatur sedemikian rupa oleh sutradara dan ditambahi bumbu-bumbu dramatis hingga digemari oleh seluruh orang di ‘dunia nyata’. Sang Sutradara (yang tinggal di ‘matahari’ bersama kru film lainnya) bahkan punya kuasa untuk mengganti siang menjadi malam dan sebaliknya.
Hingga pada suatu hari, Truman merasakan keanehan di sekelilingnya. Dia merasa gerak-gerak diawasi. Wajar, karena untuk reality show itu, ratusan kamera dipasang di berbagai titik. Truman pun mulai mencari kebenaran. Saya tidak ingin memberitahukan bagaimana akhir ceritanya. Yang jelas, sampai sekarang saya masih mengharapkan sekuel dari The Truman Show karena after ending-nya masih membuat saya penasaran.
Sekian tentang Truman.
Begitulah. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja. Kadang saya bahkan menanyakan apa arti hidup ini. Saya review kehidupan saya sampai saat itu; apa yang sudah saya peroleh, apa yang belum saya dapatkan. Serius. Sepertinya pertanyaan barusan dipengaruhi oleh salah satu tulisan Kimi yang ini.
Tapi terkadang, saya membiarkan pikiran ikut menikmati musik yang saya setel mengiringi perjalanan. Mata saya memang memandang ke luar, tapi seluruh perhatian saya tercurah pada lagu yang saya dengar. Kadang saya hanya fokus pada irama drum-nya saja, kadang denting pianonya, kadang petikan gitarnya, kadang biolanya, kadang tin whistle-nya, kadang suara penyanyinya saja. Kalau sudah lelah, barulah saya dengar keseluruhan nada yang membentuk harmoni itu.
Duduk dekat jendela membuat saya lebih peka, lebih kritis, dan lebih menikmati perjalanan. Kalau ‘dua-lebih’ yang pertama terkesan hanya kebetulan, saya pastikan ‘lebih’ yang terakhir benar adanya.
I always love sitting next to the window on my way back from the airport. There's a strange and beautiful feeling rushing in my heart and head!
ReplyDeleteAaaahh...you feel the same way, too, kk :)
ReplyDelete