Hidup itu penuh drama, seperti film India.
Okay, kalimat pembuka yang aneh :p Saya sedang tidak ingin bercerita tentang drama dalam kehidupan saya. Saya ingin cerita tentang saya dan film India. Film India? Iya. Banyak orang yang memandang sebelah mata film India. Terlalu dramatis lah, terlalu banyak tarian dan lagunya lah, terlalu panjang lah (*minimal 3 jam sekali tayang, belum ditambah iklan, sampai kadang dibagi jadi dua sesi tayang kalau diputar di TV), terlalu lebay mungkin. Tapi saya tak bisa memungkiri kalau film India dekat dengan kehidupan saya dari dulu. Mungkin lebih dekat dibanding film-film Indonesia di era Suzanna.
Pertama kali saya nonton film India adalah saat saya berumur tiga tahun, berjudul Putri Rimba. Apakah saya masih ingat setiap adegannya? Tentu tidak. Apakah saya kenal pemainnya? Lebih-lebih. Mungkin malah saat itu saya ketakutan karena melihat orang sebesar raksasa dengan suara menggelegar di ruangan gelap gulita. Mungkin juga saya ketiduran karena lelah dengan kehidupan saya sebagai balita. Ah, saya lupa. Saya juga tahu hal ini dari buku harian yang ibu beri untuk saya. Memori saya tentang film itu hilang seperti saya lupa kapan saya terakhir kali mengangkat gelas dengan dua tangan.
Film-film India yang mulai saya ingat muncul saat saya awal masuk SD. Saya hapal nama pemain yang sedang ngetop saat itu, mulai dari Mitun sampai Govinda. Saya suka nonton dengan tetangga saya yang sudah saya anggap Budhe. Dia ikut nonton di rumah saya karena saat itu tidak semua orang punya TV (iya, saya mengalami masa-masa itu). Di antara dua artis itu, saya lebih suka Govinda karena dia lebih putih dan chubby. Tapi tetangga saya lebih suka Mitun. Katanya karena Mitun lebih jago menari. Entahlah. Itu masalah selera.
Kisah film-film India saat itu masih seputar kisah cinta yang terhalang kasta. Terus biasanya ada polisi yang korup. Terus biasanya ada adegan tokoh utama mati dan tiba-tiba hidup lagi. Terus biasanya ada Tuan Takur. Film-film India saat itu sangat mudah tertebak dan adegan berkelahinya tidak wajar. Si tokoh utama sudah berdarah-darah dan dia dikeroyok belasan orang, dan dia menang. No wonder. Mati saja dia bisa hidup lagi :p
Setelah itu, jaman mulai berubah. Amir Khan dan Akshay Kumar mulai datang menggeser generasi yang lebih tua. Keduanya lebih tampan, dan ceritanya jadi lebih drama. Di saat itu yang saya perhatikan adalah nama tokoh utama prianya. Kalau bukan Vijay, pasti Vikram atau Vicky. Saat itu, saya mulai bosan dengan jalan cerita yang nyaris sama. Ketika saya masuk SMP, film India jadi film kelas tiga. Kelas satunya dipegang film Barat dan kelas dua diraih film China. Jangan tanya film Indonesia di kelas berapa.
Saya lama tidak menonton film India, hingga suatu kejadian di sore hari di tanggal 29 Mei 2000. Saat itu saya kelas 2 SMP. Tanggal ini dijamin valid, karena saya mencatatnya di buku harian. Saat itu, saudara saya main ke rumah dengan mata merah. Ini percakapan ibu saya dan saudara (yang tidak sengaja saya dengar):
Ibu: Kamu kenapa? Berantem lagi sama suami kamu?
Saudara: *terisak* Nggak. Habis nonton film India.
Ibu: Film apa?
Saudara: blablabla... Semua orang yang menonton film ini pasti menangis.
Kurang lebihnya begitu.
Saya tidak mendengar judul filmnya, tapi saya penasaran setengah mati ingin menonton film itu. Akhirnya, bertarung dengan rasa malu, saya minta ikut menonton film itu. Karena tidak punya VCD player, saya ikutlah ke rumah saudara. Ternyata di sana sudah ada beberapa tetangga yang mau ikut nonton bareng (edisi kedua). Oookay....
Di sepuluh menit pertama, pertahanan saya runtuh. Saya menangis. Tangis saya konsisten semakin kencang mendekati pertengahan film. Tiba-tiba hujan. Rumah saudara saya bocor. Jadilah film itu di-pause dan kami sibuk mencari ember. Setelah selesai mengatur ember, film diputar lagi. Di tengah gelegar petir dan atap bocor, mata saya tak lepas dari kotak layar kaca. Hujan membuat suasana mellow.
Di tengah-tengah film ternyata banyak adegan yang lucu. Saya tertawa sampai perut sakit dan mata berair. Kemudian saya menangis lagi ketika adegan sedih. Menonton film itu membuat saya seperti menaiki roller coaster, naik turun. Di akhir film, saya konsisten menangis lagi.
Setelah menonton di rumah saudara, saya masih suka dengan film India itu. Sampai dua kali tontonan selanjutnya di waktu yang berbeda, saya konsisten menangis. Film itu adalah film pertama yang saya beli ketika bapak akhirnya membeli VCD player.
Film itu berjudul Kuch-Kuch Hota Hai.
Film itulah yang membangkitkan minat saya lagi pada film India. Tidak ada polisi korup dan Tuan Takur jahat dalam film itu. Shah Rukh Khan jadi artis Bollywood favorit saya. Film-filmnya jadi referensi saya.
Setelah Kuch-Kuch Hota Hai, muncul banyak film-film penguras air mata lainnya. Film India dikemas lebih modern dan terlihat agak kebarat-baratan. Syutingnya bahkan banyak yang di luar negeri. Lihat saja Kabhi Kushi Kabhi Gham.
Ketika kuliah, untungnya teman-teman sekosan saya suka film India. Ada cerita saat kami nonton film Kal Ho Naa Ho. Film ini dibintangi oleh Shah Rukh Khan (SRK), Preity Zinta dan Saif Ali Khan *iya, saya memang hapal nama pemainnya*.
Inti film ini adalah, SRK dan Preity Zinta saling suka. Tapi karena SRK sakit, dia rela melepaskan Preity Zinta untuk Saif Ali Khan, sahabat karib si cewek. Pesan yang ingin dibagi adalah bahwa pernikahan itu bukan hanya karena cinta, tapi juga harus dilandasi dengan persahabatan.
Saat adegan sedih, air mata saya sudah meleleh kemana-mana. Guilty pleasure memang, tapi saya suka menangis saat menonton film. Melegakan. Seperti melepaskan beban yang berat. Tiba-tiba teman kos di samping saya nangis semakin keras. Tidak sekedar menangis, dia mulai meracau. Kalau tidak salah, ini adegan ketika SRK bohong pada Preity Zinta dengan mengaku sudah menikah agar Preity bisa berpaling pada Saif.
“Udah! Udah! Kamu tuh sakiiiiit dengan ngomong kaya gitu. UDAH! Kamu BODOH banget sih! Nggak usah ngomong gitu. Kamu sakit sendiriiii...”
Dia bicara pada SRK seolah-olah SRK akan menjawab dan adegan dalam film bisa diubah sesuai keinginan si Teman. Saya langsung berhenti menangis. Ucapan SRK timbul tenggelam, lebih kencang suara teman saya.
Meskipun begitu, saya tetap suka berbagi nonton film India. Nangis bersama lebih menyenangkan. Saat menonton My Name is Khan, saya kembali menangis di tengah-tengah XXI, bergabung dengan penonton lain. Nonton 3 Idiots pun saya menangis. Ah, nonton film India tanpa tangisan seperti makan lalapan tanpa sambal.
Film India yang aku suka itu Kabhi Kushi Kabhi Gham dan Mujsti Dosti Karoge (gak inget tulisannya gimana). Aku gak suka Kuch Kuch Hota Hai! Soalnya sebel SRK lebih memilih cewek satunya, bukannya Kajol. Huh!
ReplyDeleteHaha! Masa gak suka? Tapi endingnya kan mereka bersatu :') Aku sempat kasihan sama Aman, dia ditinggalkan sendiri di pelaminan T_T *mulai drama*
ReplyDeleteAku juga suka dua film yang kamu sebut itu. Pas Kabhi Kushi Kabhi Gham, aku nangis-nangis. Oiya, sekarang film-film Korea juga banyak yang bikin nangis. How I love tearjerker movies! :p
saya cuma hapal sakhruk khan... benar ga nulisnya :D
ReplyDeleteShah Rukh Khan tuh favorit saya juga :D
ReplyDelete