Sabtu pagi. Bayangan libur
panjang membuat saya bersemangat memulai hari. Akan ada banyak yang bisa dikerjakan. Membereskan lemari, mengganti
sprei, menata buku, merapikan koleksi cd/dvd, semuanya ada dalam daftar saya
sepagian itu. Saya suka membersihkan kamar. Bukan hanya karena saya senang
bernyaman-nyaman di kamar yang rapi, tapi juga biasanya ada saja hal terlupa
yang kembali diingatkan dengan beres-beres kamar ini: buku yang belum selesai
dibaca, film yang belum sempat ditonton, baju yang jarang dipakai, atau mungkin…
kaset yang lama tak diputar.
Saya ‘menemukan’ lagi
kaset-kaset saya ketika sedang menata ulang cd/dvd musik. Saya menaruh
ketiganya di tempat yang sama, tampak mata, namun kaset nyaris tak pernah
menjadi pilihan untuk diputar. Cd/dvd – dengan segala macam keunggulannya –
sudah mengambil porsi yang banyak. Terlalu banyak. Saking lama tak tersentuh,
kaset di tumpukan paling atas berdebu tipis; sementara cd/dvd di sebelahnya
bersih dengan cover mengkilap.
Saya ambil kaset paling atas
itu, saya bersihkan dengan tissue.
Unplugged – The Corrs. Tempat kasetnya sudah mulai buram. Ada retak di ujung
kanan atas. Saya buka cover-nya, dan
langsung mengenali tulisan tangan yang ada di dalamnya.
Itu tulisan ibu. Kaset itu
adalah hadiah ulang tahun untuk saya; kaset The Corrs pertama yang saya punya. Saya
masih ingat ketika mengantri di Mitra untuk membelinya. Kaset itu menemani
pagi, siang, sore, malam saya. Saya tak bosan-bosan memutarnya. Kaset itu yang
membuat saya semakin jatuh hati pada grup band bersaudara asal Irlandia itu.
Saya setel kaset itu di tape Polytron – yang sekarang ini lebih
sering digunakan sebagai tempat menaruh pajangan bermagnet. Ah, tape ini juga jarang sekali dipakai,
bahkan untuk mendengarkan radio. Tape ini
saya bawa kemana-mana, sejak kuliah di Purwokerto hingga sekarang tinggal di
Jakarta. Berulang kali rusak, berulang kali saya bawa ke tukang servis
elektronik untuk diperbaiki. Saya insist membawanya
ke Jakarta dan masih belum mau menggantinya dengan yang baru.
Intermezo sejenak.
Saya masih SD ketika pertama
kali melihatnya, pada sebuah pameran di GOR Wisanggeni. Saya datang bersama
bapak-ibu. Ramai. Suara musik berdebam-debum. Bapak terlihat bertanya-tanya
pada seorang penjaga stand. Saya
sudah mulai mengantuk; gusar ingin cepat pulang. Namun saya senang bukan main
ketika bapak jadi membeli tape Polytron
itu. Tape itu barang mewah elektronik
kedua yang kami miliki, setelah televisi hitam-putih 14inch.
Ibu sering karaoke dan
merekam hasilnya di kaset. Bapak sering memutar kaset pagi-pagi di hari Minggu.
Biasanya Ebiet G. Ade atau Franky Sahilatua. Atau Iwan Fals. Ibu menambah
variasi dengan menyetel lagu-lagu Ernie Djohan dan Tetty Kadi. Semakin besar,
saya mulai belajar menyetel kaset. Saya belajar menyetel radio; belajar mencari
frekuensi gelombang radio yang pas. Semakin lama, saya belajar merekam kaset,
belajar merekam lagu di radio.
Tape Polytron itu
bukan hanya sekedar tape bagi kami. Ia adalah bagian dari hari-hari kami.
Saya masukkan side A kaset Unplugged – The Corrs ke
dalam tape dan segera menekan tombol play. Intro ‘Only When I Sleep’ dari
album Unplugged terdengar pelan; suaranya seperti teredam. Saya keluarkan
kaset, saya masukkan ke tempat kaset sisi sebelah kanan. Suaranya lebih lumayan
sekarang. Memang tidak sejernih seperti saya mendengarkan cd/dvd lewat speaker, tapi ada rasa familiar yang
saya rasakan saat tape dan kaset bersama-sama
menghasilkan lagu-lagu untuk didengar. Rasanya seperti bertemu teman lama.
Mendengarkan kaset sungguh
melatih kesabaran. Saya tak bisa sering-sering mem-forward sebuah lagu hanya karena tidak terlalu suka. Kaset bisa cepat rusak. Beda dengan cd/dvd musik. Saya
bisa skip lagu yang tidak disenangi dan langsung loncat ke lagu yang diinginkan.
Entah karena kasetnya yang
sudah lama, entah karena tape-nya
yang sudah tua, lagu yang diputar memiliki ketukan yang lebih lambat dibanding
lagu serupa di cd/dvd. Pada beberapa lagu, suara yang keluar agak bergelombang.
Kalau saya perhatikan, lagu-lagu itu biasanya justru favorit saya. Mungkin
waktu itu lagu-lagu tersebut terlalu sering diputar hingga pita kasetnya sedikit
tergores.
Era kaset sudah hampir punah.
Banyaknya toko musik online dan pengunduhan musik entah legal entah ilegal membuat kaset semakin tak dilirik, setelah sebelumnya disingkirkan
oleh generasi cd/dvd. Mendengarkan kaset di era musik digital, mungkin sama sensasinya seperti mendengarkan
piringan hitam di masa keemasan kaset.
Saya keluarkan semua
kaset yang saya punya. Saya bersihkan satu-satu. Mungkin ada saatnya nanti
ketika kaset-kaset ini sudah tak bisa diputar lagi. Mungkin kaset-kaset itu
akan kembali terlupakan – untuk ke sekian kali. ‘At Your Side’ masih mengalun.
Selagi masih ingat, saya puaskan telinga mendengarkan lagu-lagu sembari
mengingat-ingat cerita dulu.
Aku dulu koleksi kaset waktu aku masih SMP. Koleksiku ada 50-an atau 60-an gitu. Aku lupa. Sayangnya, semuanya sekarang hilang tak berbekas.
ReplyDeleteHilang semua? Sayang ya... Aku masih ada semua, tapi kualitas suaranya sudah gak gitu bagus. Ni era CD juga hampir hilang, terutama di kota-kota kecil. Di tempatku sudah gak ada yang jual CD original :( Sekarang semua serba digital.
ReplyDeletesaya punya juga kaset ituuu..kelas 1 SMP wktu nemu kaset itu di kamar si Om dan langsung jatuh hati sama The Corrs.. Terakhir beli kaset The Best nya The Corrs tahun 2001/2002 :D
ReplyDelete-Red-
Itu salah satu album The Corrs favorit saya juga <3 How I wish I could watch their live performance!
ReplyDeleteah someday u will lah yah pasti.. Amin.. :)
ReplyDelete-Red-
kaset pita'y di jual gak mas ?? ane minat nee..
ReplyDeletesaya lagi cari kaset iwan fals album canda dalam nada, 3 bulan, yang muda yang bercanda 2..klw ada kabarin y..email ane : uchiloicorporation2@yahoo.co.id
Maaf Mas/Mbak, gak jualan di sini :D
ReplyDelete