Jumat, 20 September 2013. Saya bangun sekitar
pukul 5 pagi. Masih gelap gulita di luar. Dari islamicfinder.org, saya tahu
kalau Subuh dimulai pukul 05.28.
Saya keluar kamar untuk wudlu. Karena tak punya sandal, saya memakai sepatu. Memang tidak nyaman, tapi saya tak punya pilihan. Di ujung koridor, ada kamar mandi dengan dua shower dan empat wastafel. Bersebelahan dengannya, ada dua toilet dan dua urinator di satu tempat. Masalahnya adalah, kamar mandi ataupun toilet lelaki dan perempuan dijadikan satu. Saya tak bisa membayangkan harus mandi bersebelahan dengan pria asing, atau lebih buruk, mendapati seorang lelaki di toilet yang sama.
Pukul tujuh, di luar masih saja gelap. Saya ke dapur di koridor sebelah; satu-satunya dapur untuk seluruh penghuni Building 86. Dapurnya luas dengan 4 kompor listrik. Satu kompor terdiri dari empat tungku. Perlengkapan memasak semuanya sudah ada, termasuk microwave, ricecooker dan dua belas lemari es. Ada dua meja putih besar di kiri dan kanan. Berbagai macam bahan makanan dan kotak minuman ada atasnya.
Saya keluar kamar untuk wudlu. Karena tak punya sandal, saya memakai sepatu. Memang tidak nyaman, tapi saya tak punya pilihan. Di ujung koridor, ada kamar mandi dengan dua shower dan empat wastafel. Bersebelahan dengannya, ada dua toilet dan dua urinator di satu tempat. Masalahnya adalah, kamar mandi ataupun toilet lelaki dan perempuan dijadikan satu. Saya tak bisa membayangkan harus mandi bersebelahan dengan pria asing, atau lebih buruk, mendapati seorang lelaki di toilet yang sama.
Pukul tujuh, di luar masih saja gelap. Saya ke dapur di koridor sebelah; satu-satunya dapur untuk seluruh penghuni Building 86. Dapurnya luas dengan 4 kompor listrik. Satu kompor terdiri dari empat tungku. Perlengkapan memasak semuanya sudah ada, termasuk microwave, ricecooker dan dua belas lemari es. Ada dua meja putih besar di kiri dan kanan. Berbagai macam bahan makanan dan kotak minuman ada atasnya.
Saya mulai memanaskan api untuk Popmie.
Ada dua orang lainnya di dapur. Yang satu menyiapkan roti untuk sarapan, yang satu lagi entah sarapan apa. Saya duduk di meja sebelah kiri dengan orang yang sedang menyiapkan roti. Setelah ngobrol-ngobrol, saya tahu namanya adalah Wenusha dari Sri Lanka. Dia akan menjadi teman sekelas saya di Van Hall Larenstein (VHL).
Hari itu saya memilih untuk tinggal di kamar seharian. Saya menunggu teman sekamar datang. Saya habiskan hari dengan whatsapp-an bersama teman dan keluarga di rumah. Tidak ada free wifi di kamar, tapi nomor XL saya di HP otomatis berubah jadi Vodafone NL dan bisa buat internetan. Gratis, malahan.
Sebenarnya, ada alasan lain mengapa saya tidak keluar kamar. Saya masih takut dengan semua yang serba baru ini. Lingkungan baru, teman-teman yang masih asing. Saya masih belum merasa nyaman. Untungnya saya ditemani teman-teman melalui obrolan whatsapp. Itu sangat membantu melewati hari.
Sampai malam menjelang, teman sekamar belum juga datang. Dari jadwal yang saya tahu, ada dua gelombang kedatangan siswa master VHL yang dijemput oleh kampus: 19 dan 20 September. Kalau sampai tanggal 20 tidak ada orang yang datang untuk menempati kasur sebelah, itu artinya saya memang akan tinggal sendirian. Pada situasi biasa, saya lebih nyaman tinggal sendirian ketimbang berbagi kamar dengan orang lain. Tapi di hari itu, bayangan punya seorang teman yang bisa diajak ngobrol langsung terlihat lebih menyenangkan.
Esoknya, Sabtu 21 September 2013, saya beranikan diri keluar kamar. Hari sebelumnya saya makan mie instan untuk pagi-siang-malam, dan perut saya protes minta pilihan makanan lain.
Saya pakai baju lapis tiga termasuk long john untuk lapis pertama. Berbekal peta dari kampus, pukul sembilan saya keluar. Tujuan saya adalah kampus. Kampus saya ada di Wageningen, sementara Maurits ada di Ede. Jarak Maurits ke kampus adalah 6 km, sekitar 15 menit naik bis 88. Saya ingin ke kampus hari itu supaya tidak nyasar ketika harus ke sana minggu berikutnya.
Udara dingin pagi langsung terasa begitu saya keluar dari Building 86. Saya masukkan tangan ke saku jaket supaya tetap hangat.
Maurits Ede dulunya adalah kompleks militer yang sekarang beralih-fungsi jadi temporary student housing. Kompleks Maurits luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Untuk keluar dari Maurits, ada dua jalan keluar: pintu utama dan pintu samping untuk lewat sepeda.
Dari peta yang saya baca, halte bis 88 akan lebih dekat jika saya keluar dari pintu samping. Sayapun mulai mengira-ira jalan mana yang harus diambil.
Dari Building 86, saya ambil kiri dan belok kiri menyusuri jalanan lebar. Saya belok kanan, dan mentok dengan jalan buntu. Pagi itu sangat sepi, tidak terlihat ada orang satupun. Mumpung sepi, saya ambil foto beberapa kali.
Ada dua orang lainnya di dapur. Yang satu menyiapkan roti untuk sarapan, yang satu lagi entah sarapan apa. Saya duduk di meja sebelah kiri dengan orang yang sedang menyiapkan roti. Setelah ngobrol-ngobrol, saya tahu namanya adalah Wenusha dari Sri Lanka. Dia akan menjadi teman sekelas saya di Van Hall Larenstein (VHL).
Hari itu saya memilih untuk tinggal di kamar seharian. Saya menunggu teman sekamar datang. Saya habiskan hari dengan whatsapp-an bersama teman dan keluarga di rumah. Tidak ada free wifi di kamar, tapi nomor XL saya di HP otomatis berubah jadi Vodafone NL dan bisa buat internetan. Gratis, malahan.
Sebenarnya, ada alasan lain mengapa saya tidak keluar kamar. Saya masih takut dengan semua yang serba baru ini. Lingkungan baru, teman-teman yang masih asing. Saya masih belum merasa nyaman. Untungnya saya ditemani teman-teman melalui obrolan whatsapp. Itu sangat membantu melewati hari.
Sampai malam menjelang, teman sekamar belum juga datang. Dari jadwal yang saya tahu, ada dua gelombang kedatangan siswa master VHL yang dijemput oleh kampus: 19 dan 20 September. Kalau sampai tanggal 20 tidak ada orang yang datang untuk menempati kasur sebelah, itu artinya saya memang akan tinggal sendirian. Pada situasi biasa, saya lebih nyaman tinggal sendirian ketimbang berbagi kamar dengan orang lain. Tapi di hari itu, bayangan punya seorang teman yang bisa diajak ngobrol langsung terlihat lebih menyenangkan.
Esoknya, Sabtu 21 September 2013, saya beranikan diri keluar kamar. Hari sebelumnya saya makan mie instan untuk pagi-siang-malam, dan perut saya protes minta pilihan makanan lain.
Saya pakai baju lapis tiga termasuk long john untuk lapis pertama. Berbekal peta dari kampus, pukul sembilan saya keluar. Tujuan saya adalah kampus. Kampus saya ada di Wageningen, sementara Maurits ada di Ede. Jarak Maurits ke kampus adalah 6 km, sekitar 15 menit naik bis 88. Saya ingin ke kampus hari itu supaya tidak nyasar ketika harus ke sana minggu berikutnya.
Udara dingin pagi langsung terasa begitu saya keluar dari Building 86. Saya masukkan tangan ke saku jaket supaya tetap hangat.
Maurits Ede dulunya adalah kompleks militer yang sekarang beralih-fungsi jadi temporary student housing. Kompleks Maurits luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Untuk keluar dari Maurits, ada dua jalan keluar: pintu utama dan pintu samping untuk lewat sepeda.
Dari peta yang saya baca, halte bis 88 akan lebih dekat jika saya keluar dari pintu samping. Sayapun mulai mengira-ira jalan mana yang harus diambil.
Dari Building 86, saya ambil kiri dan belok kiri menyusuri jalanan lebar. Saya belok kanan, dan mentok dengan jalan buntu. Pagi itu sangat sepi, tidak terlihat ada orang satupun. Mumpung sepi, saya ambil foto beberapa kali.
Dari jalan buntu tadi, saya kembali belok kiri.
Harusnya sih sudah dekat karena saya bisa dengar suara kendaraan dari situ. Mentok
lagi. Saya putuskan ambil kiri lagi setelah melihat tulisan ‘uitgang’, yang
artinya ‘exit’. Saya tahu satu kata itu dari Schiphol.
Jauh saya berjalan kaki hingga akhirnya saya menemukan pintu keluar. Saya lihat peta lagi. Kalau pintu samping begini jauh, saya tak bisa membayangkan jauhnya pintu utama. Belum keluar dari Maurits, saya sudah kelelahan.
Ada pintu kecil dengan model putar di depan saya. Saya bingung bagaimana keluar melalui pintu itu. Kebetulan ada orang yang baru saja keluar dari kompleks. Saya tanyakan cara keluar, dan dia berbaik hati masuk lagi ke dalam hanya untuk menunjukkan caranya. Ternyata hanya tinggal tekan tombol saja. Lampu indikator pintu akan menyala hijau, dan itu artinya pintu sudah bisa dilewati.
Jauh saya berjalan kaki hingga akhirnya saya menemukan pintu keluar. Saya lihat peta lagi. Kalau pintu samping begini jauh, saya tak bisa membayangkan jauhnya pintu utama. Belum keluar dari Maurits, saya sudah kelelahan.
Ada pintu kecil dengan model putar di depan saya. Saya bingung bagaimana keluar melalui pintu itu. Kebetulan ada orang yang baru saja keluar dari kompleks. Saya tanyakan cara keluar, dan dia berbaik hati masuk lagi ke dalam hanya untuk menunjukkan caranya. Ternyata hanya tinggal tekan tombol saja. Lampu indikator pintu akan menyala hijau, dan itu artinya pintu sudah bisa dilewati.
Saya perhatikan peta lagi. Saya ambil kiri dan mulai mengikuti jalan. Beberapa kali saya berpapasan dengan orang, sekali dengan orang yang mengajak anjingnya jalan-jalan. Rata-rata orang bersepeda di sini. Tua muda, besar kecil. Semua bersepeda. Saya berjalan kaki menikmati rumah-rumah di sepanjang jalan.
Seperti yang pernah saya bilang, saya suka bentuk rumah di Ede. Rata-rata punya halaman ataupun sekedar taman kecil. Selalu ada bunga atau tanaman di depan. Sangat menyenangkan hanya dengan melihatnya saja.
Sudah setengah jam lebih dari pertama kali saya
keluar kamar, belum ada tanda-tanda halte bis. Saya mulai frustasi. Akhirnya,
di persimpangan jalan saya lihat ada polisi. Saya tanyakan halte bis kepadanya.
Dia menunjukkan arah yang harus dituju.
Saya mengikuti arahannya, tak sampai-sampai juga di halte. Sudah hampir satu jam saya berjalan! Di hadapan mulai nampak keramaian, banyak orang lalu-lalang dengan pertokoan di kiri-kanan jalan. Wait, ini kan.. Centrum!
Jadi, setiap kota di Belanda punya satu pusat kota yang biasa disebut Centrum. Segala jual-beli dipusatkan di sini. Saya baru sadar kalau saya nyasar jauh. Alih-alih ke halte bis 88, saya berjalan berlawanan arah hingga ke Centrum.
Saya mengikuti arahannya, tak sampai-sampai juga di halte. Sudah hampir satu jam saya berjalan! Di hadapan mulai nampak keramaian, banyak orang lalu-lalang dengan pertokoan di kiri-kanan jalan. Wait, ini kan.. Centrum!
Jadi, setiap kota di Belanda punya satu pusat kota yang biasa disebut Centrum. Segala jual-beli dipusatkan di sini. Saya baru sadar kalau saya nyasar jauh. Alih-alih ke halte bis 88, saya berjalan berlawanan arah hingga ke Centrum.
Melihata ada McD, saya langsung pesan dua burger
dan satu kentang goreng. Niatnya satu burger akan dimakan di kamar. Udara masih
dingin, tapi saya sengaja duduk di luar, people
watching. Saya melepas lelah sambil makan burger. Normalnya, saya benci
burger. Tapi saya tidak boleh rewel dan pilih-pilih makanan. Sudah mending saya
tak makan mie instan lagi.
Dari McD, saya berjalan-jalan saja melihat-lihat.
Saya masuk Albert Heijn, supermarket yang mungkin paling besar di Ede Centrum. Saya
beli roti dan selai, juga kue-kue kering. Saya beli kartu lokal juga, KPN.
Meskipun niatnya belanja sedikit, ternyata lumayan berat juga bawaan saya.
Yang membuat stres adalah kembali pulang ke Maurits yang butuh waktu hampir satu jam. Bisa pingsan saya. Tidak ada kendaraan umum yang saya tahu. Saya ambil keputusan nekat, langsung beli sepeda!
Saya ke toko sepeda Halford, mencari sepeda yang cocok untuk saya. Sepeda di sini rata-rata tinggi, saya cari yang agak pendekan. Seorang staf membantu saya memilihkan saya sepeda. Ada sepeda lucu untuk anak 6-12 tahun, tapi itu cocok buat saya. Harganya 200 euro sekian, tak apa, saya bawa uang juga. Ketika saya coba naik, well.. masih ketinggian buat saya. Kaki tidak bisa menjejak tanah. Staf tadi menurunkan dudukan sepeda, saya coba kembali naik. Masih tidak nyaman. Sambil minta maaf, saya bilang padanya tak jadi membeli sepeda di sana.
Begitulah. Saya memang harus kembali berjalan kaki untuk pulang. Hampir sepuluh menit sekali saya berhenti untuk minum ataupun diam sejenak. Perjalanan masih panjang. Saya bilang pada diri saya sendiri, betapapun lamanya, saya akan sampai di Maurits juga.
Itulah kenapa saya senang ketika melihat gerbang Maurits. Sebelum masuk, saya lihat peta untuk tahu lokasi halte bis 88. Saya ingin tahu dimana salahnya jalan yang saya ambil. Tiba-tiba ada seorang kakek dan nenek menghampiri. Rupanya dia tahu saya sedang bingung. Saya tanyakan halte bis 88, dia bilang hanya 10 menit dari tempat kami berdiri. Dia dan istrinya bahkan berbaik hati ingin mengantar saya ke halte. Karena sudah terlalu lelah, saya tolak ajakannya. Saya hanya ingin tahu dimana haltenya, tak berniat ke sana di hari yang sama.
Minggu, 22 September. Pagi-pagi saya bangun dengan badan yang masih letih. Rencana jalan-jalan saya batalkan semua, toh semua toko tutup di hari Minggu. Sama seperti pada hari Jumat, hari itu pun saya diam seharian di kamar.
Sudah empat hari saya di Ede. Belum ada tanda-tanda semuanya akan menjadi mudah. Saya sempat mengirim milis ke PPI Wageningen, mengajak bertemu siapapun yang tinggal dekat Maurits, hanya satu yang membalas. Itupun ternyata niatnya berjualan menawarkan sepeda. Sejak saat itu, saya tahu saya harus mengandalkan diri sendiri.
Empat hari itu adalah masa-masa tersulit. Saya tahu dulu pun terasa sulit ketika mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru, tapi dengan tidak adanya teman membuat semuanya semakin berat. Saya hanya butuh satu teman saja di sini, dan saya yakin saya akan baik-baik saja.
Ah ya, ada juga teman-teman di Building 86. Tapi mereka sudah punya teman masing-masing, sudah berkelompok. Saya tak tahu cara supaya dekat dengan mereka.
Empat hari itu adalah masa-masa saya ingin pulang ke Indonesia dengan segala kenyamanannya. Saya mulai mempertanyakan pilihan kuliah di luar negeri, menyesal tidak kuliah di Jakarta saja. Itu adalah saat-saat ketika saya mempertanyakan pilihan-pilihan yang saya ambil. Orang bilang homesick ada setelah beberapa minggu tinggal di luar negeri. Buat saya, homesick sudah ada di empat hari pertama.
No comments:
Post a Comment