Monday, 30 September 2013

Uhmm.. Hello, NL!

Kamis, 19 September 2013, pukul 01.45. Saya sudah duduk di kursi 21C. Sebelah kiri dan kanan saya orang Indonesia. Di ujung paling kanan, saya lihat ada Zaskia Sunkar dan Shireen Sunkar. Dini hari itu, Etihad Airways akan membawa saya terbang ke Eropa.

Belum lama tertidur, saya bangun karena pramugari membagikan makanan. Saya menolak, hanya minta teh panas untuk menghangatkan badan. Sambil minum teh, saya pilih-pilih film untuk ditonton. Pilihan saya jatuh pada 20 Ans d’ecart, film Prancis tentang seorang editor majalah terkenal yang pura-pura jatuh cinta pada seorang pemuda dengan usia jauh lebih muda, supaya dianggap rebel seperti ikon majalahnya.

Pukul enam pagi, pesawat mendarat di Abu Dhabi untuk transit. Tiga jam kemudian, pesawat mulai take off menuju Amsterdam. Saya kembali duduk di kursi dengan nomor sama.


Tak lama, pramugari datang membawakan makanan. Pagi itu saya sarapan kari ayam dan kentang. Meskipun tak terlalu suka, saya paksakan makan. Saya tak ingin kelaparan selama sisa penerbangan.

Film kedua yang saya tonton adalah film dari Mesir. Saya lupa judulnya. Film itu berkisah tentang seorang wanita muda single yang independen, cerdas, dan kaya. Suatu hari dia bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya menjadi ibu rumah tangga biasa dengan tiga orang anak. Film komedi ini tak terlalu lucu sih, saya hanya senang bisa melihat film lain selain film Holywood yang mainstream. Saya sempat menonton film lain dari Jerman, namun tak menyelesaikannya karena terlanjur ngantuk.

Oya, sepanjang penerbangan kali ini, saya duduk bersebelahan dengan orang Belanda. Dari ngobrol-ngobrol dengannya, saya tahu kalau dia pernah tinggal di Indonesia selama dua tahun sejak tahun 1987. Dia mengajar Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiah Purwokerto. Selama dua tahun itu, dia tinggal di Dukuh Waluh.

Pukul 14.30 waktu setempat, pesawat mendarat di Bandara Schiphol. Total 18 jam penerbangan saya isi dengan tidur, makan, nonton film, ke toilet, begitu seterusnya. Pegal juga rasanya. Tapi semua hilang ketika saya akan melewati Imigrasi.

Well, Imigrasi adalah pintu yang harus saya lewati untuk masuk ke Belanda. Saya mulai menyiapkan jawaban yang kira-kira diperlukan.

Alhamdulillah semua lancar. Petugas Imigrasi hanya menanyakan tujuan saya ke Belanda dan untuk berapa lama. Setelahnya, saya mengambil bagasi dan berjalan menuju meeting point untuk menemui perwakilan Van Hall Larenstein (VHL) di sana.


Schiphol sangat luas. Yang membuatnya tidak nampak seperti bandara adalah karena adanya Schiphol Plaza di tengah bandara. Itu lebih seperti… mall. Papan petunjuknya jelas sehingga saya tak kesulitan menemukan meeting point yang berbentuk kotak dengan warna merah-putih. Saya lihat ada VHL di papan informasi, saya tunggu di situ. Tak lama, seorang perempuan menyapa saya. Dia bertugas menjemput mahasiswa baru VHL dari Schiphol. Belakangan, saya tahu kalau namanya adalah Ms. Aska.

Ms. Aska mengantar saya ke bis tempat saya menaruh koper super besar yang saya bawa. Kami keluar Schiphol, dan itulah pertama kalinya saya merasakan udara Eropa. Suhu masih 14 derajat, belum terlalu dingin. Tapi tetap saja dingin untuk saya. Saya merasakan udara dengan tangan, menghirup udaranya yang segar. Ah Eropa, akhirnya kita bertemu juga!

Ms. Aska bilang saya harus menunggu rombongan mahasiswa lain sebelum ke temporary housing di Maurits Ede. Rentang waktu yang ada saya manfaatkan untuk jalan-jalan mengelilingi Schiphol, menikmati suasananya. Saya perhatikan gaya berpakaian orang-orang yang lalu-lalang di hadapan. Semuanya nampak modis dengan syal, blazer dan boot. Saya sendiri hanya memakai jeans, jaket merah tebal, dan sepatu kets.

Pukul 7 malam, bis mulai jalan menuju Ede. Kampus saya ada di Wageningen, tapi temporary dorm saya ada di Maurits Ede. Baru sepuluh menit di atas bis, saya sudah mengantuk.

Saya terbangun di saat yang tepat, ketika Ms. Aska menjelaskan siapa mendapat dorm di mana. Untunglah. Ms. Aska – berdiri paling depan – juga menjelaskan program seminggu ke depan.

Sembari mendengarkan penjelaskan Ms. Aska, saya melempar pandangan ke luar kaca jendela. Hari mulai petang. Saya melihat ladang-ladang dengan sapi-sapi gemuk tersebar. Rumah-rumah khas Belanda muncul, dengan kaca bening lebar tak bertirai. Saya melihat sebuah keluarga bercakap-cakap; sepertinya hangat di dalam sana.

Ede ataupun Wageningen memang desa. Saya tahu itu jauh sebelum saya sampai ke sini. Suasananya tenang, hanya sedikit mobil yang lewat. Bis yang saya tumpangi mulai berbelok, memutar, berbelok lagi, hingga akhirnya bis berhenti di Maurits Buiding 9/10. Perjalanan dari Schiphol ke Ede memakan waktu satu jam. Beberapa orang mulai turun. Saya tetap tinggal. Bis kembali berjalan, kemudian berhenti di Maurits Building 85/86. Ini adalah tempat saya tinggal sampai beberapa minggu ke depan.

Begitu turun, angin dan udara dingin langsung menyerbu. Saya masukkan tangan ke saku jaket. Ms. Aska memberikan kunci satu per satu pada kami. Saya dapat kamar 19b.

PR selanjutnya adalah menyeret koper seberat 30 kilo sendirian menuju dorm. Jalanan yang tidak rata dan menanjak membuat beban semakin berat. Saya…langsung kangen rumah.

Beruntung kamar saya ada di lantai dasar. Good luck untuk yang kamarnya di lantai 3! Tidak ada lift, yang ada hanya tangga. Setelah berhasil membawa masuk koper ke kamar, saya langsung masukkan baju ke lemari. Menata yang perlu. Ada selimut, sprei, dan bantal yang masih baru. Saya membukanya dan mulai merapikan tempat tidur.


Kamar saya cukup luas, itu karena memang dimaksudkan untuk berdua. Cukup nyaman. Ada heater ­pula, jadi kamar selalu hangat. Ada kasur satu lagi di sebelah kanan saya, belum tersentuh. Saya menunggu beberapa menit namun tak ada teman sekamar yang datang. Saya pikir, besok pastilah dia baru sampai ke dorm.


Kamar mandi dan toilet ada di luar, berbagi dengan teman-teman lain; begitupun juga dengan dapur. Saya langsung membersihkan diri dan wudlu untuk sholat. Setelah sholat, saya langsung tertidur. Hari ini adalah hari yang panjang. Malam ini saya ingin tidur tenang.

No comments:

Post a Comment