Kalau berpisah dengan teman saja sedemikian
sedihnya, bagaimana saya bisa berjauhan dengan keluarga di rumah?
Enam hari sebelum keberangkatan, saya mengajukan
cuti di kantor dan mudik ke rumah. Itu setelah semua urusan administrasi telah
selesai. Namun sebelum saya cerita tentang rumah, saya akan ceritakan tiga farewell yang lain.
Setelah sedih-sedih berpikir tidak bisa bertemu
Mitha lagi, ternyata seminggu setelahnya saya malah diajak oleh dia untuk ikut
acara ulang tahun Backpacker Dunia yang keempat, tanggal 7 September di Museum
Mandiri. Saya mengajak Mbak Tami ikut serta. Mbak Vita sayangnya sudah ada
rencana di hari itu.
Saya dan Mitha datang lebih awal, Mbak Tami
belakangan karena terjebak macet. Kami duduk di deret kursi nomor dua, menyimak
dengan semangat kisah-kisah para backpacker
yang sudah keliling dunia. Mitha memberi saya sebuah bingkisan dan membawakan
serabi Notosuman untuk sarapan. Duh.. baiknya…
Kami tak mengikuti acara sampai selesai. Apalagi
Mitha masuk kerja sore pada hari itu. Saat Mitha menyeberang ke Stasiun Kota
untuk pulang ke BSD, saya berpikir itulah terakhir kalinya saya bertemu Mitha
sampai tahun depan. Beruntung masih ada Mbak Tami untuk menghalau mellow. Setelah Mitha sudah tak nampak
lagi, saya dan Mbak Tami ke Sarinah dan makan siang di sana. Kami sempat mampir
pula sebentar ke Mall Ambassador.
Pun, mellow kembali
datang ketika tiba saatnya berpisah dengan Mbak Tami. Itu seperti.. ada yang
hilang satu per satu. Dan itu rasanya tidak enak.
Tanggal 9 September, ada farewell party dengan teman-teman satu bagian di kantor. Saya cuma
nebeng saja, karena acara ini sebenarnya untuk bos saya yang baru pensiun.
Rabu tanggal 11, Mbak Vita mengajak ketemuan di
Kuningan City setelah pulang kerja. Mbak Tami juga bisa ketemuan pada hari itu.
Jadilah kami bertiga bertemu lagi sebelum saya pergi.
Sebenarnya ada satu orang lagi yang seharusnya ada
malam itu: Mbak Nisa. Kami berempat biasa hang
out bareng. Sejak tahun lalu, dia kuliah di Australia; mendapat beasiswa
dari kantornya. Karena dia pulalah saya semakin terdorong untuk mencoba hal
yang sama. Meskipun jauh, toh dia tetap memberi semangat melalui kartu-kartu
dan buku yang dia kirim dari sana. Ini bunyi salah satu kartunya: “You believed you could so you did.”
Baik yah?
Kami mengobrol banyak sambil makan malam. Mbak
Vita dengan baik hati memberi saya pernak-pernik khas London, percaya bahwa
suatu saat saya akan mampir ke sana. Sebelumnya Mbak Tami memberi saya mukena
supaya saya tidak lupa sholat selama kuliah di luar.
Ketika tiba saat berpisah, saya memeluk mereka
lebih erat dari biasanya, lebih lama dari biasanya.
Oh ya, ada satu hal lagi. Kamis tanggal 12
September adalah hari terakhir saya bekerja sebelum cuti. Mbak Dina, teman satu
ruangan saya, tak disangka mengajak Nuha putrinya ke kantor sore hari menjelang
pulang.
“Sengaja aku bawa Nuha, supaya Anggie tahu. Nanti
Nuha sudah gede kalau Anggie balik ke sini lagi,” kata Mbak Dina.
Nuha hampir berumur tiga tahun. Sudah pintar
bicara dan lucu. Terakhir saya melihatnya, Nuha masih kecil dan baru sedikit
kosakatanya. Saya jadi terharu. Saya peluk-peluk dia, saya ajak main. Sebelum
pulang, Nuha pamit pada saya. Pintarnya!
Setelah beres-beres meja, saya pulang ke kosan dan
langsung ke Gambir. Tak seperti biasa, kali ini Ibu juga ikut menjemput saya di
stasiun. Biasanya cuma Bapak.
Hari-hari setelahnya berlalu cepat. Mulai dari
menjemput Ema di terminal Cirebon, malam mingguan di Slawi, pergi ke Bojong,
hingga pergi ke rumah Mbah di Brebes untuk pamit. Selasa malam saya kembali ke
Jakarta dengan Bapak, Ibu, dan Ema. Nanda tidak bisa mengantar karena dia tidak
diijinkan bolos sekolah oleh Bapak-Ibu.
Kami menginap di rumah saudara di Pademangan, dan
besok malamnya, saya sudah diantar ke bandara.
Setelah berkali-kali mengecek semua yang
dibutuhkan, saya berangkat ke bandara pukul 10 malam. Flight pukul 01.45 menggunakan Etihad Airways. Sepanjang jalan saya mencoba positif, mencoba
tidak menangis. Saya pikir, Ibu pun melakukan hal yang sama.
Ibu akan tenang melepas saya pergi kalau saya
senang, begitu pun saya akan senang kalau Ibu bisa melepas saya dengan tenang.
Ini seperti peraturan tak tertulis di antara kami. Itulah kenapa saya tak
pernah melihat Ibu menangis ketika saya pertama tinggal di Purwokerto, ketika
saya pamit untuk kerja di Jakarta, atau ketika Ema mulai kos di Bandung. Tangisan
Ibu hanya akan membuat saya dan Ema gundah. Dan lemah. Itulah kenapa
pembicaraan telepon kami seringnya berkisar tentang hal-hal yang menyenangkan.
Ibu cenderung menyembunyikan masalah – jarang mengeluh; tak ingin hal itu
memberatkan pikiran anak-anaknya. Kecuali benar-benar penting, Ibu tidak akan
memberi tahu saya masalahnya. Saya pun tanpa sadar melakukan hal serupa.
Sampai di bandara, saya hanya sempat berpelukan
dengan Bapak, Ibu, dan Ema; menciumi pipi-pipi mereka. Melihat mereka lebih
lama hanya akan membuat lebih sedih.
Saya masuk ke Terminal 2D dengan perasaan
mengambang.
Kalau ada satu hal saja yang membuat saya terhibur,
itu adalah kedatangan Mitha ke bandara untuk say goodbye. Iya, Mitha datang ke bandara lewat jam 10 malam,
selepas pulang kerja, dengan badan yang kurang sehat karena flu hanya untuk say goodbye.
Kami bertemu di Gate 1. Saya melihat Mitha diantar
teman kerjanya.
“Tunggu sebentar,” saya bilang padanya. Niatnya,
saya akan masuk ke dalam untuk check in, kemudian
keluar lagi supaya bisa ngobrol lebih lama dengan Mitha.
Saya masuk ke dalam gedung terminal dengan porter yang membawa koper saya, dan demi
melihat antrian check in yang super
panjang, saya langsung balik lagi ke depan. Porter
tetap di dalam, mulai mengantri.
This
is it.
Empat jam sebelum take off. Saya harus segera masuk ke dalam untuk check in. Kami berpelukan ketika saya
mendengar Mitha terisak.
Saya masuk ke dalam dengan perasaan lebih sedih.
Bukan.. bukan sedih, tapi haru. Mitha, entah untuk kali ke berapa semenjak kami
berteman, memberikan saya kado lagi. Belakangan Mitha bilang kalo mestinya dia
membeli serabi Notosuman juga, tetapi lupa dan baru ingat setelah naik taksi.
Sebelum melewati metal detector, saya
menoleh sekali lagi, Mitha masih ada di sana.
Keberangkatan saya ke Belanda membuat saya
memikirkan banyak hal, terutama mengenai hubungan-hubungan pertemanan, keluarga,
dan teman kantor. Itu adalah saat-saat ketika saya melihat siapa saja yang
benar-benar peduli, siapa yang tidak. Saya bersyukur dikelilingi oleh banyak
orang baik, saya sangat bersyukur untuk itu. Keberangkatan saya ke Belanda
membuat saya menyadari betapa pentingnya mereka buat saya, betapa beruntungnya
saya memiliki mereka.
Mbaa anggiiii,,, what an inspiring story!! Goodluckk there mbaaa....
ReplyDeleteDitunggu cerita-cerita menarik disana yaaa.... :*