Friday 5 October 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (iv)

Pelatihan bertajuk IBIL2 ini diadakan setiap Senin-Jumat, pukul 09.00 sampai 16.00. Selama rentang waktu dua minggu (20-31 Agustus 2012), praktis libur saya hanya dua hari. Beruntung saya masih bisa menyempatkan jalan-jalan hampir di setiap sore selesai pelatihan. Berbeda dengan Jakarta, Tokyo masih terang-benderang ketika jarum jam menunjuk pukul 6 sore. Maghrib saja baru bergulir satu jam setelahnya.

Transportasi umum paling lazim untuk menuju satu tempat dari tempat lain adalah kereta, atau subway. Jalur kereta di Jepang ada banyak, berbeda dengan Indonesia yang hanya punya satu jalur milik PT KAI. Karena banyaknya jalur ini, kita harus tahu jalur apa untuk menuju kemana. Setiap jalur punya warnanya masing-masing. Saya sendiri masih bingung di awal-awal. Terlebih pembelian tiket juga dilakukan sendiri melalui mesin-mesin yang ada di depan pintu masuk. Di bagian atas mesin, ada peta untuk mengetahui harga tiket untuk tiap-tiap tujuan. Sayangnya, huruf kanji mendominasi. Saya tak pernah paham cara membacanya.

Lalu bagaimana bisa saya kemana-mana naik kereta? Tentunya saya tidak sendirian. Saya nyaris selalu pergi kemana-mana dengan teman-teman dari Indonesia. Mbak Tika pandai berbahasa Jepang dan pintar membaca kanji. Ia selalu yang jadi andalan ketika kami bingung dengan huruf bergaris-garis itu. Dan oh, panitia pelatihan juga berbaik hati memberikan kami rekomendasi places to visit yang dekat dengan TKC. Mereka menuliskan jalur kereta menuju tempat tersebut, termasuk waktu tempuh, jarak, dan ongkos ke sana. Dengan demikian, kami hanya tinggal membayar sesuai dengan yang tertera di atas kertas. Lebih enak lagi kalau kami jalan-jalan dengan anak-anak magang dari Jepang. Mereka jelas lebih menguasai medan.

Ada sembilan tempat yang saya kunjungi selama di Jepang. Tiap-tiap tempat punya kekhasannya sendiri. Saya buat penilaian berdasarkan yang paling membuat terkesan dengan hitungan mundur. Berikut kesembilan tempat itu:

9. Harajuku
Siapa tak tahu Harajuku? Itu tempat kumpulnya anak-anak gaul yang identik dengan pakaian unik. Saya sampai sana ketika hari sudah petang. Bersama teman-teman yang lain, kami menjelajah Harajuku dimulai dari Takeshita Street. Di samping kiri gapura jalan masuk, papan reklame AKB48 Official Shop berwarna ungu segera menyita perhatian.


Takeshita Street penuh dengan lalu-lalang orang-orang. Di sepanjang jalan, banyak toko-toko yang menjual baju, tas dan pernak-pernik lain yang lucu-lucu. Mungkin karena sudah petang, saya tak banyak menemukan remaja dengan baju yang aneh-aneh di sana. Kebanyakan justru memakai seragam sekolah khas Jepang: rok pendek di atas lutut, kemeja dan rompi sebagai atasan, tak lupa dasi dengan berbagai macam variasi.

Di Harajuku, kami justru banyak habiskan waktu di Daiso untuk membeli oleh-oleh. Harga di sana memang lebih murah dibanding tempat lain. Hanya saja, kualitasnya memang tak jauh beda dengan harganya. Kalau tak jeli, bisa-bisa buatan Cina yang kita beli.

8. Kitasenju
Saya sudah cerita tentang Kitasenju di postingan sebelumnya. Butuh waktu 15-20 menit berjalan kaki dari TKC ke Kitasenju. Tempat ini ramai karena adanya stasiun, mall, supermarket, dan puluhan (atau mungkin ratusan?) tempat makan di sana. Satu mall yang sering saya kunjungi adalah OIOI. Saya dan teman-teman Indonesia menyebut mall ini ‘oi-oi’, sebelum sadar kalau teman-teman Jepang menyebutnya ‘01-01’ (nol satu – nol satu dalam Bahasa Jepang). Selain OIOI, ada juga Lumine.

Kalau bisa saya andaikan, Lumine itu adalah Grand Indonesia sedangkan OIOI adalah Plasa Semanggi. Terlepas dari harga barang-barang di Jepang yang memang mahal, harga Lumine tak terjangkau buat saya. Saya lebih nyaman belanja di OIOI. Harganya masih cocok dengan dompet.


Di OIOI, saya beberapa kali ke Kinokuniya. Meski tak menemukan satu pun buku yang tak berhuruf kanji, toh saya tetap suka berjalan-jalan melihat-lihat. Sangat susah menemukan buku berbahasa Inggris di toko-toko buku di sana. Mau tak mau, saya membandingkan dengan Filipina. Sepanjang yang saya tahu, banyak sekali buku berteks Inggris dijual di sana, lebih banyak dibanding buku-buku terbitan dalam negeri. Toko buku seperti FullyBooked jadi surga buat saya karena jauh lebih lengkap koleksinya dibanding – katakan – Periplus atau Times di Indonesia. Tapi bahkan Gramedia pun masih punya section tersendiri untuk buku-buku impor. Bandingkan dengan Kinokuniya di OIOI yang tak menyediakan satu pun buku berbahasa Inggris. Kadang saya berpikir, mungkin ini masih ada hubungannya dengan terisolasinya Jepang dari negara-negara luar selama rentang beberapa waktu. Mereka jadi terfokus pada diri sendiri, belum terbiasa menerima hal-hal asing – dalam hal ini termasuk literatur. Well, ini sih pemikiran yang masih butuh banyak fakta-fakta pendukung lebih lanjut.

Selain Kinokuniya, saya juga suka ke CD store di sana. Kalau Indonesia sedang suka-sukanya dengan Cherrybelle, Jepang sedang cinta-cintanya dengan AKB48. CD dan DVD AKB48 mudah ditemukan. Tayangan tentang girlband saudara JKT48 ini disetel terus-menerus.

Koleksi musik klasik di sana lebih lengkap dari yang kita punya di Jakarta. CD Hayley Westenra saja lengkap, dari CD lama macam Pure hingga yang terbaru seperti The Best of Hayley Sings Japanese Songs yang rilis di 2012. Tapi untuk harga, salute untuk Indonesia! Harga CD di Jepang rata-rata 200 ribu rupiah. Beberapa bahkan mematok 300 hingga 400 ribu. Ada sih yang 100 ribuan, tapi itu untuk CD lama yang tak jelas penyanyi dan lagunya. Di Indonesia, masih banyak CD bagus yang di bawah 100 ribu. CD Hayley yang impor saja hanya 200 ribuan, saya beli di Plaza Indonesia. Meskipun begitu, di OIOI saya beli juga CD Celtic Woman terbaru, Believe. Saya suka lagu-lagunya. Saya tak yakin juga CD ini akan masuk Indonesia.

Saya sering ke Kitasenju hanya untuk ke OIOI. Di lantai bawah ada kedai udon paling enak sedunia: Sanuki Udon Hanamaru! Mungkin berlebihan, tapi saya belum menemukan udon yang lebih enak dibanding yang ada di sana; tidak di restoran hotel bintang lima di Jakarta, tidak juga di kedai udon yang mengharuskan kita masuk ke waiting list selama hampir satu jam saking ramainya.
 
Udon di Hanamaru favorit saya adalah yang ada rawitnya. Gurih udon dan hangat jahe bercampur sedikit kuah pas dengan pedas rawit. Taburan daun bawang membuatnya lebih segar, tambahkan perasan jeruk nipis kalau suka asam. Sempurna kalau ditambah ebi!


7. Asakusa
Gerbang tinggi merah dengan lampion besar berhuruf kanji di tengahnya menjadi pintu masuk menuju Asakusa Temple. Beberapa turis terlihat berfoto-foto. Setelah mengambil beberapa jepretan, saya dan teman-teman lain mulai masuk ke dalamnya. Di kiri-kanan jalan, banyak toko yang menjual oleh-oleh khas Jepang. Sepanjang yang saya tahu, harga di Asakusa adalah yang paling murah dari semua tempat yang pernah saya kunjungi. Meskipun begitu, harga antara satu toko dengan yang lainnya bisa saja berbeda. Kalau rajin membandingkan, pasti bisa dapat harga termurah di sana. Pukul 8 malam, beberapa toko sudah mulai bersiap-siap tutup.

Setelah jejeran pertokoan, kami kembali memasuki gerbang; kali ini lebih besar dan arsitekturnya lebih rumit. Warnanya masih senada dengan gerbang pertama, lampion juga masih menjadi sentral di tengah-tengah. Namun di gerbang kedua ini, lampion juga diapit oleh dua lampion lain berwarna coklat. Di samping gerbang ini, ada kuil berwarna kuning keemasan dengan ujung lancip berwarna biru muda.

 
Masuk terus ke dalam, ada tempat untuk berdoa. Di tempat paling ujung, kuil berwarna merah – masih tetap dengan lampion di tengah – menjadi pemberhentian terakhir.

 
Karena datang bersama teman-teman dari Indonesia, saya tak bisa bertanya-tanya tentang kuil-kuil di sana. Pada salah satu sudut, saya perhatikan ada satu meja dimana kita bisa memasukkan koin 100 yen. Di hadapannya, ada lingkaran-lingkaran berjejer rapi ke bawah dengan huruf kanji di samping kanan. Sepertinya itu untuk meramal nasib. Beberapa orang nampak mengantri di depannya.


Oya, dari Asakusa Temple, kita juga bisa melihat Tokyo Sky Tree Tower yang menjadi salah satu landmark  kota Tokyo.

6. Akihabara
Pembicaraan mengenai Akihabara tak bisa lepas dari games, peralatan elektronik, dan... tentu saja AKB48! Akihabara adalah surga bagi para pecinta games. Toko-toko dengan cahaya penuh warna memajang perempuan-perempuan muda dengan baju seksi-lucu, memberikan pamflet kepada siapa saja yang lewat di depannya.

 
Saya tak begitu tergila-gila dengan games atau manga, sehingga tak banyak menghabiskan waktu di sana. Sebagian besar waktu saya justru dihabiskan di pusat elektronik terbesar di Akihabara. Laptop, handphone, apa saja ada. Mirip-mirip Mangga Dua di Jakarta. Di salah satu lantainya, ada yang khusus menjual jam tangan. Saya mencari-cari Seiko 5 Automatic titipan bapak. Meskipun Seiko jenis ini juga banyak dijual di Jakarta, bapak bersikukuh ingin beli langsung di Jepang demi tulisan ‘made in Japan’. Saya baru sadari belakangan kalau Seiko yang dijual di Jakarta memang tak semuanya punya tulisan itu di body arlojinya.

Dan oh, saya menjumpai AKB48 Cafe and Shop di Akihabara. Bagi yang belum tahu, AKB memang merupakan singkatan dari Akihabara. Jadi bisa dibilang Akihabara adalah pusatnya AKB48. Saya sempat masuk ke AKB48 Cafe and Shop. Semua pernak-pernik girlband favorit Jepang itu ada di sana, mulai dari CD, poster, kaos, gantungan kunci, sebut sajalah. Di sebelah cafe, ada loket penjualan tiket pertunjukan AKB48; satu deret dengan teater AKB48 yang terkenal itu.


5. Shinjuku
Sabtu pagi. Saya sudah siap dengan ransel di punggung. Pagi itu saya sudah bulatkan niat untuk pergi ke Shuzenji untuk ikut tour Izu No Odoriko di sana. Tidak ada teman yang tertarik untuk ikut pergi ke daerah Izu. Wajar sih, alasan saya ingin ke sana kan sangat personal. Mereka lebih memilih pergi ke Disneyland Tokyo.

Karena pergi sendiri, saya siapkan semuanya dengan rapi. Dari Kitasenju, saya harus naik kereta ke Nippori. Dari sana, saya lanjutkan perjalanan ke Shinjuku. Di Shinjuku, saya tinggal mencari bus Odakyu Express. Bus akan berhenti di Shuzenji. Setelah itu, saya tinggal mencari Tokai Bus Information Center dan ambil tour Izu No Odoriko dengan bis Bonnet selama 40 menit. Selesai tour, saya tinggal pulang kembali naik Odakyu Express > Shinjuku > Nippori > Kitasenju. Sepertinya mudah.

Dari Kitasenju ke Nippori lalu Shinjuku masih cukup mudah, meskipun saya harus bertanya beberapa kali pada orang lokal untuk memastikan jalur kereta. Masalah muncul ketika sudah sampai di Shinjuku. Ternyata mencari Odakyu Express bukan perkara mudah. Saya mesti bolak-balik berjalan karena clueless. Setiap orang yang saya tanya punya jawaban berbeda. Bahasa menjadi kendala utama. 


Ketika akhirnya menemukan Odakyu Express, ternyata bis ke Shuzenji sudah berangkat setengah jam sebelumnya. Itu bis satu-satunya ke sana dan jadwal berikutnya adalah jam 3 sore. Patah hati, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di mall di daerah Shinjuku. Mungkin karena masih murung, saya tak menghabiskan banyak waktu di sana. Siang sudah terik ketika akhirnya saya sampai TKC.

Meskipun tak berakhir manis, perjalanan ke Shinjuku menjadi semacam capaian buat saya pribadi. Setidaknya saya sudah menepati janji pada diri sendiri untuk benar-benar mengusahakan pergi ke Izu.

4. Tokyo Sky Tree Tower
Antrian panjang mengular. AC tak cukup mendinginkan ruangan, membuat beberapa orang kipas-kipas karena kegerahan. Beruntung ada tayangan dengan grafis lucu yang menyegarkan. Setidaknya, tayangan tadi mengalihkan perhatian dari antrian barang sebentar. Orang rela mengantri demi selembar tiket untuk naik ke lantai 350 Tokyo Sky Tree Tower. Saya pergi ke sana di hari kedua saya di Jepang.

Tokyo Sky Tree Tower adalah landmark yang baru diresmikan di 2012. Wajar kalau peminatnya masih melimpah. Tak hanya turis asing, turis lokal pun masih penasaran dengan bangunan yang tingginya mengalahkan Tokyo Tower ini. Kalau Tokyo Tower didominasi warna merah, Tokyo Sky Tree Tower berwarna perak.

Setelah mendapatkan tiket, kami harus mengantri untuk naik lift. Sampai di lantai 350, kami masih harus sabar menunggu giliran untuk melihat Tokyo di malam hari lewat kaca-kaca tembus pandang.


Banyaknya orang membuat kami tak maksimal menikmati pemandangan. Well, tapi itu terbayar dengan indah kerlip lampu-lampu Tokyo di bawah sana. Kita bisa melihat ruas-ruas jalan, juga lekuk sungai yang membelah kota. Kalau ingin naik lebih tinggi, kita bisa membayar lebih untuk sampai ke lantai 445-450. Saya tak gunakan kesempatan itu. Harga tiket masuk untuk ke lantai 350 saja sudah cukup mahal, sementara saya masih punya banyak hari untuk dihabiskan.

3. Roppongi
Roppongi adalah tempat yang saya kunjungi di malam terakhir sebelum esoknya saya pulang ke Indonesia. Bersama teman-teman Indonesia dan seorang teman Jepang, kami menghabiskan malam di sana.


Seorang teman mampir ke Hard Rock Cafe untuk membeli oleh-oleh. Saya skip beli oleh-oleh karena uang saku yang sudah menipis. Kami makan malam di restoran udon terkenal di Roppongi, yang untuknya kami harus menunggu hampir satu jam sebelum dipersilakan masuk. Begitu pesanan datang, kami terkejut dengan porsinya yang super besar. Serius! Untung saya memilih udon tanpa kuah, porsinya jadi lebih normal. Udon di sana lumayan enak, meskipun tetap lebih enak udon yang ada di OIOI.

 
Selesai makan, kami menggelandang di sekitar stasiun Roppongi. Kami duduk-duduk di taman sambil memandang Tokyo Tower di kejauhan, foto-foto dengan latar belakang replika laba-laba raksasa yang ada di depan sebuah gedung – yang juga merupakan landmark Roppongi. Kami sempat juga berjalan-jalan melihat-lihat Mori Art Museum dan Tokyo City View, meskipun tak masuk ke dalamnya. Malam itu rencananya kami akan ke Asakusa lagi untuk naik kapal menyusuri sungai. Tapi karena sudah terlalu malam, kami memutuskan untuk pulang.

2. Imperial Palace
Masih sore ketika kami sampai di Imperial Palace. Istana Kaisar Jepang itu hanya bisa terlihat dari kejauhan, dengan latar belakang matahari yang hendak tenggelam di ufuk barat. Di depannya ada jembatan penghubung dua tempat yang terpisah oleh sungai.

 
Di depan kawasan Imperial Palace, ada taman luas dengan pepohonan yang ditanam rapi. Jauh di seberang, gedung-gedung menjulang tinggi. Di tempat ini, saya menyadari tradisi dan modernitas padu menjadi satu dalam sebuah harmoni.

 
Tempat ini adalah yang selalu saya bayangkan tentang Jepang. Jalanan bersih tanpa sampah, taman-taman hijau rindang dengan pepohonan. Semua tertib, teratur, terjaga. Bahkan sungaipun bersih dari dedaunan kering. Langit sedang biru-birunya sore itu. Saya puaskan diri memotret gedung dan langit. Foto-foto di sana menjadi favorit saya.


Selain delapan yang sudah saya sebut, masih ada satu lagi tempat yang ingin saya ceritakan. Saya akan tulis tentang tempat nomor satu ini di postingan berikutnya.



No comments:

Post a Comment