Pelatihan bertajuk IBIL2 ini diadakan
setiap Senin-Jumat, pukul 09.00 sampai 16.00. Selama rentang waktu dua minggu
(20-31 Agustus 2012), praktis libur saya hanya dua hari. Beruntung saya masih
bisa menyempatkan jalan-jalan hampir di setiap sore selesai pelatihan. Berbeda
dengan Jakarta, Tokyo masih terang-benderang ketika jarum jam menunjuk pukul 6
sore. Maghrib saja baru bergulir satu jam setelahnya.
Transportasi umum paling lazim untuk
menuju satu tempat dari tempat lain adalah kereta, atau subway. Jalur kereta di Jepang ada banyak, berbeda dengan Indonesia
yang hanya punya satu jalur milik PT KAI. Karena banyaknya jalur ini, kita
harus tahu jalur apa untuk menuju kemana. Setiap jalur punya warnanya
masing-masing. Saya sendiri masih bingung di awal-awal. Terlebih pembelian
tiket juga dilakukan sendiri melalui mesin-mesin yang ada di depan pintu masuk.
Di bagian atas mesin, ada peta untuk mengetahui harga tiket untuk tiap-tiap
tujuan. Sayangnya, huruf kanji mendominasi. Saya tak pernah paham cara
membacanya.
Lalu bagaimana bisa saya kemana-mana naik
kereta? Tentunya saya tidak sendirian. Saya nyaris selalu pergi kemana-mana
dengan teman-teman dari Indonesia. Mbak Tika pandai berbahasa Jepang dan pintar
membaca kanji. Ia selalu yang jadi andalan ketika kami bingung dengan huruf
bergaris-garis itu. Dan oh, panitia pelatihan juga berbaik hati memberikan kami
rekomendasi places to visit yang
dekat dengan TKC. Mereka menuliskan jalur kereta menuju tempat tersebut,
termasuk waktu tempuh, jarak, dan ongkos ke sana. Dengan demikian, kami hanya
tinggal membayar sesuai dengan yang tertera di atas kertas. Lebih enak lagi
kalau kami jalan-jalan dengan anak-anak magang dari Jepang. Mereka jelas lebih
menguasai medan.
Ada sembilan tempat yang saya kunjungi
selama di Jepang. Tiap-tiap tempat punya kekhasannya sendiri. Saya buat
penilaian berdasarkan yang paling membuat terkesan dengan hitungan mundur.
Berikut kesembilan tempat itu:
9.
Harajuku
Siapa tak tahu Harajuku? Itu tempat
kumpulnya anak-anak gaul yang identik dengan pakaian unik. Saya sampai sana
ketika hari sudah petang. Bersama teman-teman yang lain, kami menjelajah
Harajuku dimulai dari Takeshita Street. Di samping kiri gapura jalan masuk,
papan reklame AKB48 Official Shop berwarna
ungu segera menyita perhatian.
Takeshita Street penuh dengan lalu-lalang
orang-orang. Di sepanjang jalan, banyak toko-toko yang menjual baju, tas dan
pernak-pernik lain yang lucu-lucu. Mungkin karena sudah petang, saya tak banyak
menemukan remaja dengan baju yang aneh-aneh di sana. Kebanyakan justru memakai
seragam sekolah khas Jepang: rok pendek di atas lutut, kemeja dan rompi sebagai
atasan, tak lupa dasi dengan berbagai macam variasi.
Di Harajuku, kami justru banyak habiskan
waktu di Daiso untuk membeli oleh-oleh. Harga di sana memang lebih murah
dibanding tempat lain. Hanya saja, kualitasnya memang tak jauh beda dengan
harganya. Kalau tak jeli, bisa-bisa buatan Cina yang kita beli.
8. Kitasenju
Saya sudah cerita tentang Kitasenju di
postingan sebelumnya. Butuh waktu 15-20 menit berjalan kaki dari TKC ke
Kitasenju. Tempat ini ramai karena adanya stasiun, mall, supermarket, dan
puluhan (atau mungkin ratusan?) tempat makan di sana. Satu mall yang sering
saya kunjungi adalah OIOI. Saya dan teman-teman Indonesia menyebut mall ini
‘oi-oi’, sebelum sadar kalau teman-teman Jepang menyebutnya ‘01-01’ (nol satu –
nol satu dalam Bahasa Jepang). Selain OIOI, ada juga Lumine.
Kalau bisa saya andaikan, Lumine itu
adalah Grand Indonesia sedangkan OIOI adalah Plasa Semanggi. Terlepas dari
harga barang-barang di Jepang yang memang mahal, harga Lumine tak terjangkau
buat saya. Saya lebih nyaman belanja di OIOI. Harganya masih cocok dengan
dompet.
Di OIOI, saya beberapa kali ke Kinokuniya.
Meski tak menemukan satu pun buku yang tak berhuruf kanji, toh saya tetap suka
berjalan-jalan melihat-lihat. Sangat susah menemukan buku berbahasa Inggris di
toko-toko buku di sana. Mau tak mau, saya membandingkan dengan Filipina.
Sepanjang yang saya tahu, banyak sekali buku berteks Inggris dijual di sana,
lebih banyak dibanding buku-buku terbitan dalam negeri. Toko buku seperti
FullyBooked jadi surga buat saya karena jauh lebih lengkap koleksinya dibanding
– katakan – Periplus atau Times di Indonesia. Tapi bahkan Gramedia pun masih
punya section tersendiri untuk
buku-buku impor. Bandingkan dengan Kinokuniya di OIOI yang tak menyediakan satu
pun buku berbahasa Inggris. Kadang saya berpikir, mungkin ini masih ada
hubungannya dengan terisolasinya Jepang dari negara-negara luar selama rentang
beberapa waktu. Mereka jadi terfokus pada diri sendiri, belum terbiasa menerima
hal-hal asing – dalam hal ini termasuk literatur. Well, ini sih pemikiran yang masih butuh banyak fakta-fakta pendukung
lebih lanjut.
Selain Kinokuniya, saya juga suka ke CD store di sana. Kalau Indonesia sedang
suka-sukanya dengan Cherrybelle, Jepang sedang cinta-cintanya dengan AKB48. CD
dan DVD AKB48 mudah ditemukan. Tayangan tentang girlband saudara JKT48 ini disetel terus-menerus.
Koleksi musik klasik di sana lebih lengkap
dari yang kita punya di Jakarta. CD Hayley Westenra saja lengkap, dari CD lama
macam Pure hingga yang terbaru
seperti The Best of Hayley Sings Japanese
Songs yang rilis di 2012. Tapi untuk harga, salute untuk Indonesia! Harga CD di Jepang rata-rata 200 ribu
rupiah. Beberapa bahkan mematok 300 hingga 400 ribu. Ada sih yang 100 ribuan,
tapi itu untuk CD lama yang tak jelas penyanyi dan lagunya. Di Indonesia, masih
banyak CD bagus yang di bawah 100 ribu. CD Hayley yang impor saja hanya 200
ribuan, saya beli di Plaza Indonesia. Meskipun begitu, di OIOI saya beli juga
CD Celtic Woman terbaru, Believe.
Saya suka lagu-lagunya. Saya tak yakin juga CD ini akan masuk Indonesia.
Saya sering ke Kitasenju hanya untuk ke
OIOI. Di lantai bawah ada kedai udon paling enak sedunia: Sanuki Udon Hanamaru!
Mungkin berlebihan, tapi saya belum menemukan udon yang lebih enak dibanding
yang ada di sana; tidak di restoran hotel bintang lima di Jakarta, tidak juga
di kedai udon yang mengharuskan kita masuk ke waiting list selama hampir satu jam saking ramainya.
Udon di Hanamaru favorit saya adalah yang
ada rawitnya. Gurih udon dan hangat jahe bercampur sedikit kuah pas dengan
pedas rawit. Taburan daun bawang membuatnya lebih segar, tambahkan perasan
jeruk nipis kalau suka asam. Sempurna kalau ditambah ebi!
7.
Asakusa
Gerbang tinggi merah dengan lampion besar
berhuruf kanji di tengahnya menjadi pintu masuk menuju Asakusa Temple. Beberapa
turis terlihat berfoto-foto. Setelah mengambil beberapa jepretan, saya dan
teman-teman lain mulai masuk ke dalamnya. Di kiri-kanan jalan, banyak toko yang
menjual oleh-oleh khas Jepang. Sepanjang yang saya tahu, harga di Asakusa
adalah yang paling murah dari semua tempat yang pernah saya kunjungi. Meskipun
begitu, harga antara satu toko dengan yang lainnya bisa saja berbeda. Kalau
rajin membandingkan, pasti bisa dapat harga termurah di sana. Pukul 8 malam,
beberapa toko sudah mulai bersiap-siap tutup.
Setelah jejeran pertokoan, kami kembali
memasuki gerbang; kali ini lebih besar dan arsitekturnya lebih rumit. Warnanya
masih senada dengan gerbang pertama, lampion juga masih menjadi sentral di
tengah-tengah. Namun di gerbang kedua ini, lampion juga diapit oleh dua lampion
lain berwarna coklat. Di samping gerbang ini, ada kuil berwarna kuning keemasan
dengan ujung lancip berwarna biru muda.
Masuk terus ke dalam, ada tempat untuk
berdoa. Di tempat paling ujung, kuil berwarna merah – masih tetap dengan
lampion di tengah – menjadi pemberhentian terakhir.
Karena datang bersama
teman-teman dari Indonesia, saya tak bisa bertanya-tanya tentang kuil-kuil di
sana. Pada salah satu sudut, saya perhatikan ada satu meja dimana kita bisa
memasukkan koin 100 yen. Di hadapannya, ada lingkaran-lingkaran berjejer rapi
ke bawah dengan huruf kanji di samping kanan. Sepertinya itu untuk meramal
nasib. Beberapa orang nampak mengantri di depannya.
Oya, dari Asakusa Temple, kita juga bisa
melihat Tokyo Sky Tree Tower yang menjadi salah satu landmark kota Tokyo.
6.
Akihabara
Pembicaraan mengenai Akihabara tak bisa
lepas dari games, peralatan
elektronik, dan... tentu saja AKB48! Akihabara adalah surga bagi para pecinta games. Toko-toko dengan cahaya penuh
warna memajang perempuan-perempuan muda dengan baju seksi-lucu, memberikan
pamflet kepada siapa saja yang lewat di depannya.
Saya tak begitu tergila-gila dengan games atau manga, sehingga tak banyak menghabiskan waktu di sana. Sebagian
besar waktu saya justru dihabiskan di pusat elektronik terbesar di Akihabara. Laptop,
handphone, apa saja ada. Mirip-mirip Mangga Dua di Jakarta. Di salah satu
lantainya, ada yang khusus menjual jam tangan. Saya mencari-cari Seiko 5
Automatic titipan bapak. Meskipun Seiko jenis ini juga banyak dijual di
Jakarta, bapak bersikukuh ingin beli langsung di Jepang demi tulisan ‘made in Japan’. Saya baru sadari
belakangan kalau Seiko yang dijual di Jakarta memang tak semuanya punya tulisan
itu di body arlojinya.
Dan oh, saya menjumpai AKB48 Cafe and Shop
di Akihabara. Bagi yang belum tahu, AKB memang merupakan singkatan dari
Akihabara. Jadi bisa dibilang Akihabara adalah pusatnya AKB48. Saya sempat
masuk ke AKB48 Cafe and Shop. Semua pernak-pernik girlband favorit Jepang itu ada di sana, mulai dari CD, poster,
kaos, gantungan kunci, sebut sajalah. Di sebelah cafe, ada loket penjualan
tiket pertunjukan AKB48; satu deret dengan teater AKB48 yang terkenal itu.
5.
Shinjuku
Sabtu pagi. Saya sudah siap dengan ransel
di punggung. Pagi itu saya sudah bulatkan niat untuk pergi ke Shuzenji untuk
ikut tour Izu No Odoriko di sana. Tidak ada teman yang tertarik untuk ikut
pergi ke daerah Izu. Wajar sih, alasan saya ingin ke sana kan sangat personal.
Mereka lebih memilih pergi ke Disneyland Tokyo.
Karena pergi sendiri, saya siapkan
semuanya dengan rapi. Dari Kitasenju, saya harus naik kereta ke Nippori. Dari
sana, saya lanjutkan perjalanan ke Shinjuku. Di Shinjuku, saya tinggal mencari
bus Odakyu Express. Bus akan berhenti di Shuzenji. Setelah itu, saya tinggal
mencari Tokai Bus Information Center dan ambil tour Izu No Odoriko dengan bis
Bonnet selama 40 menit. Selesai tour, saya tinggal pulang kembali naik Odakyu
Express > Shinjuku > Nippori > Kitasenju. Sepertinya mudah.
Dari Kitasenju ke Nippori lalu Shinjuku
masih cukup mudah, meskipun saya harus bertanya beberapa kali pada orang lokal untuk
memastikan jalur kereta. Masalah muncul ketika sudah sampai di Shinjuku.
Ternyata mencari Odakyu Express bukan perkara mudah. Saya mesti bolak-balik
berjalan karena clueless. Setiap
orang yang saya tanya punya jawaban berbeda. Bahasa menjadi kendala utama.
Ketika akhirnya menemukan Odakyu Express,
ternyata bis ke Shuzenji sudah berangkat setengah jam sebelumnya. Itu bis
satu-satunya ke sana dan jadwal berikutnya adalah jam 3 sore. Patah hati, saya
memutuskan untuk berjalan-jalan di mall di daerah Shinjuku. Mungkin karena
masih murung, saya tak menghabiskan banyak waktu di sana. Siang sudah terik
ketika akhirnya saya sampai TKC.
Meskipun tak berakhir manis, perjalanan ke
Shinjuku menjadi semacam capaian buat saya pribadi. Setidaknya saya sudah
menepati janji pada diri sendiri untuk benar-benar mengusahakan pergi ke Izu.
4.
Tokyo Sky Tree Tower
Antrian panjang mengular. AC tak cukup
mendinginkan ruangan, membuat beberapa orang kipas-kipas karena kegerahan.
Beruntung ada tayangan dengan grafis lucu yang menyegarkan. Setidaknya,
tayangan tadi mengalihkan perhatian dari antrian barang sebentar. Orang rela
mengantri demi selembar tiket untuk naik ke lantai 350 Tokyo Sky Tree Tower.
Saya pergi ke sana di hari kedua saya di Jepang.
Tokyo Sky Tree Tower adalah landmark yang baru diresmikan di 2012.
Wajar kalau peminatnya masih melimpah. Tak hanya turis asing, turis lokal pun
masih penasaran dengan bangunan yang tingginya mengalahkan Tokyo Tower ini.
Kalau Tokyo Tower didominasi warna merah, Tokyo Sky Tree Tower berwarna perak.
Setelah mendapatkan tiket, kami harus
mengantri untuk naik lift. Sampai di lantai 350, kami masih harus sabar
menunggu giliran untuk melihat Tokyo di malam hari lewat kaca-kaca tembus
pandang.
Banyaknya orang membuat kami tak maksimal
menikmati pemandangan. Well, tapi itu
terbayar dengan indah kerlip lampu-lampu Tokyo di bawah sana. Kita bisa melihat
ruas-ruas jalan, juga lekuk sungai yang membelah kota. Kalau ingin naik lebih
tinggi, kita bisa membayar lebih untuk sampai ke lantai 445-450. Saya tak
gunakan kesempatan itu. Harga tiket masuk untuk ke lantai 350 saja sudah cukup
mahal, sementara saya masih punya banyak hari untuk dihabiskan.
3.
Roppongi
Roppongi adalah tempat yang saya kunjungi
di malam terakhir sebelum esoknya saya pulang ke Indonesia. Bersama teman-teman
Indonesia dan seorang teman Jepang, kami menghabiskan malam di sana.
Seorang teman mampir ke Hard Rock Cafe
untuk membeli oleh-oleh. Saya skip beli
oleh-oleh karena uang saku yang sudah menipis. Kami makan malam di restoran
udon terkenal di Roppongi, yang untuknya kami harus menunggu hampir satu jam
sebelum dipersilakan masuk. Begitu pesanan datang, kami terkejut dengan
porsinya yang super besar. Serius! Untung saya memilih udon tanpa kuah,
porsinya jadi lebih normal. Udon di sana lumayan enak, meskipun tetap lebih
enak udon yang ada di OIOI.
Selesai makan, kami menggelandang di
sekitar stasiun Roppongi. Kami duduk-duduk di taman sambil memandang Tokyo
Tower di kejauhan, foto-foto dengan latar belakang replika laba-laba raksasa
yang ada di depan sebuah gedung – yang juga merupakan landmark Roppongi. Kami sempat juga berjalan-jalan melihat-lihat
Mori Art Museum dan Tokyo City View, meskipun tak masuk ke dalamnya. Malam itu
rencananya kami akan ke Asakusa lagi untuk naik kapal menyusuri sungai. Tapi
karena sudah terlalu malam, kami memutuskan untuk pulang.
2.
Imperial Palace
Masih sore ketika kami sampai di Imperial
Palace. Istana Kaisar Jepang itu hanya bisa terlihat dari kejauhan, dengan
latar belakang matahari yang hendak tenggelam di ufuk barat. Di depannya ada
jembatan penghubung dua tempat yang terpisah oleh sungai.
Di depan kawasan Imperial Palace, ada
taman luas dengan pepohonan yang ditanam rapi. Jauh di seberang, gedung-gedung
menjulang tinggi. Di tempat ini, saya menyadari tradisi dan modernitas padu
menjadi satu dalam sebuah harmoni.
Tempat ini adalah yang selalu saya
bayangkan tentang Jepang. Jalanan bersih tanpa sampah, taman-taman hijau
rindang dengan pepohonan. Semua tertib, teratur, terjaga. Bahkan sungaipun
bersih dari dedaunan kering. Langit sedang biru-birunya sore itu. Saya puaskan
diri memotret gedung dan langit. Foto-foto di sana menjadi favorit saya.
Selain delapan yang sudah saya sebut, masih
ada satu lagi tempat yang ingin saya ceritakan. Saya akan tulis tentang tempat
nomor satu ini di postingan berikutnya.
No comments:
Post a Comment