Karena ini program Pemerintah Jepang, kami
diterbangkan dengan Japan Airlines (JAL). Saya duduk di kursi tengah, baris
kedua dari jendela. Yang unik dari JAL adalah adanya tayangan langsung ketika
pesawat take off. Ini bisa dilihat
melalui layar kecil di atas. Dengan melihat tayangan ini, saya bisa mengetahui
situasi di luar sana meskipun tak duduk persis samping jendela.
Dan oh, lupakan semua mellow yang seharian tak lepas dari pikiran. Yang saya rasakan
ketika pesawat hendak take off adalah
haru. Belum pernah saya merasakan perasaan seperti ini ketika hendak pergi ke
suatu tempat. Musik instrumen mengalun pelan, pas dengan momen ketika saya
mengerjap-kerjapkan mata supaya tidak menangis. Perasaan saya campur aduk.
Saya menghabiskan waktu di pesawat dengan
tidur. Dan sesekali makan, ketika pramugari datang membawa cemilan. Saya sudah
kenyang – dan terlalu mengantuk untuk makan – ketika pramugari datang lagi
untuk membawa makanan berat, hingga saya mesti menolaknya.
Ketika saya terbangun di Minggu pagi,
pesawat sudah mengambil posisi untuk landing.
Dari layar kecil di atas, saya bisa melihat sawah hijau di bawah sana.
Pesawat
semakin turun ke bawah, terus ke bawah, hingga menyentuh landasan. Di detik
itu, saya menyapa Jepang dengan sapaan paling hangat di pagi itu.
“Akhirnya kita
bertemu juga!”
Turun dari pesawat jam 7 pagi, kami naik
kereta, melewati imigrasi, dan bertemu Panitia di ruang kedatangan. Kami mesti
menunggu dua peserta dari Vietnam sebelum diarahkan Panitia untuk naik kereta
menuju Tokyo-Kenshu Center (TKC), tempat pelatihan.
Saya pikir, pergi naik kereta dengan koper
super besar pastilah tak nyaman. Ternyata di bagian paling belakang gerbong ada
tempat khusus untuk menaruh koper. Pun, jarak antara satu kursi dengan kursi di
depannya tak terlalu dekat. Dan – ini favorit saya – jendela di kereta yang
saya naiki ini lebar dan bersih. Beruntung saya duduk dekat jendela!
Di kiri-kanan jalan, ladang-ladang
membentang. Hijau pupus sawah berpadu dengan hijau tua pepohonan, dilatari
langit biru muda dan awan-awan. Saya setengah berharap perjalanan akan memakan
waktu lama, tak mempedulikan badan yang sudah lelah. Setelah sawah, giliran rumah dan gedung yang
mendominasi. Jauh di sana, Tokyo Sky Tree Tower menjulang tinggi.
Kami turun di Nippori, menyeret-nyeret
koper ke sana kemari, naik taksi menuju tempat pelatihan. Sudah jam 11 siang ketika
kami sampai. Setelah mengisi dokumen dan menonton video tentang tata tertib
selama pelatihan, kami mulai masuk ke kamar masing-masing.
Pemandangan luar jendela kamar
Kamar yang saya tempati menghadap ke
pemukiman penduduk. Fasilitasnya bisa dibilang lengkap dengan kamar mandi
dalam. Tidak ada wifi di dalam kamar, tapi ada jaringan internet untuk PC
menggunakan kabel LAN. Saya sempat mencoba-coba mendengarkan radio, tapi
menyerah dengan kantuk. Saya tertidur setelah mengirim sms ke rumah.
Mungkin karena lapar, saya terbangun
menjelang sore. Menyesal saya menolak tawaran makanan dari pramugari JAL. Untuk
mengganjal perut, pilihan saya jatuh pada popmie yang saya bawa dari Jakarta.
Air panasnya saya dapatkan dari dispenser di samping kamar. Tak lama, Mbak Cici
dari PGE mengajak keluar mencari makan. Teman-teman yang lain ada yang sudah
memutuskan untuk jalan-jalan.
Berdua kami mencari McD, satu-satunya
tempat makan yang familiar dan dekat dengan TKC. Saat itu, saya baru sadar
kalau musim panas di Jepang memang benar-benar panas. Angin mati. Bahkan dengan
kaos tipis yang saya pakaipun, saya masih kegerahan.
Setelah sempat kesasar, kami berhasil juga
menemukan McD. Tidak ada nasi di sana. Saya pesan chicken nugget dan french
fries. Bahkan tanpa minuman pun harganya sudah lima puluh ribu rupiah. Mahal.
Kami berjalan-jalan sebentar, foto sini
foto sana, kemudian pulang ke TKC. Menjelang petang, kami keluar lagi; kali ini
dengan Mbak Tika dari Adaro dan seorang bapak peserta pelatihan beda program.
Bapak ini adalah orang Indonesia yang sudah tinggal di Jepang beberapa minggu.
Ia mengantar kami menuju pusat keramaian dekat TKC di Kitasenju.
Di ruas jalan, ada satu larik garis
berwarna hijau. Itu diperuntukkan bagi pejalan kaki. Karena sempitnya, kami
berjalan seperti semut: satu-satu. Namun ketika jalanan sepi, kami kembali
jalan berdua-dua. Tidak seperti Jakarta yang penuh dengan angkutan umum hampir
di tiap pojokan, Tokyo tidak begitu memanjakan penduduknya. Motor dan mobil
tidak seramai di Jakarta, taksi mahal. Orang-orang berjalan kaki kemana-mana
untuk jarak tempuh yang lumayan. Terkadang ada juga yang naik sepeda.
Beda dengan daerah TKC yang sepi,
Kitasenju ramai dengan orang-orang berlalu lalang. Kami berempat duduk di
kursi-kursi panjang, people watching. Karena
musim panas, perempuan-perempuan Jepang berpakaian mini-modis dengan high-heels. Di sebuah sudut, seorang
lelaki menyanyi sambil memainkan gitar. Kaleng kecil ia taruh di hadapannya. Di
sudut yang lain, papan-papan iklan semarak dengan warna-warninya. Segerombol
burung dara mendekat, berjalan-jalan bebas, terkadang hinggap di besi-besi
penopang.
Hari sudah gelap ketika kami memutuskan
pulang.
So, jadinya kemana aja di sana? Jadi ke Fuji ?
ReplyDelete-Wina