Wednesday, 19 September 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (iii)

Karena ini program Pemerintah Jepang, kami diterbangkan dengan Japan Airlines (JAL). Saya duduk di kursi tengah, baris kedua dari jendela. Yang unik dari JAL adalah adanya tayangan langsung ketika pesawat take off. Ini bisa dilihat melalui layar kecil di atas. Dengan melihat tayangan ini, saya bisa mengetahui situasi di luar sana meskipun tak duduk persis samping jendela.

Dan oh, lupakan semua mellow yang seharian tak lepas dari pikiran. Yang saya rasakan ketika pesawat hendak take off adalah haru. Belum pernah saya merasakan perasaan seperti ini ketika hendak pergi ke suatu tempat. Musik instrumen mengalun pelan, pas dengan momen ketika saya mengerjap-kerjapkan mata supaya tidak menangis. Perasaan saya campur aduk.

Saya menghabiskan waktu di pesawat dengan tidur. Dan sesekali makan, ketika pramugari datang membawa cemilan. Saya sudah kenyang – dan terlalu mengantuk untuk makan – ketika pramugari datang lagi untuk membawa makanan berat, hingga saya mesti menolaknya. 

Ketika saya terbangun di Minggu pagi, pesawat sudah mengambil posisi untuk landing. Dari layar kecil di atas, saya bisa melihat sawah hijau di bawah sana.



Pesawat semakin turun ke bawah, terus ke bawah, hingga menyentuh landasan. Di detik itu, saya menyapa Jepang dengan sapaan paling hangat di pagi itu.

“Akhirnya kita bertemu juga!” 

Turun dari pesawat jam 7 pagi, kami naik kereta, melewati imigrasi, dan bertemu Panitia di ruang kedatangan. Kami mesti menunggu dua peserta dari Vietnam sebelum diarahkan Panitia untuk naik kereta menuju Tokyo-Kenshu Center (TKC), tempat pelatihan.

Saya pikir, pergi naik kereta dengan koper super besar pastilah tak nyaman. Ternyata di bagian paling belakang gerbong ada tempat khusus untuk menaruh koper. Pun, jarak antara satu kursi dengan kursi di depannya tak terlalu dekat. Dan – ini favorit saya – jendela di kereta yang saya naiki ini lebar dan bersih. Beruntung saya duduk dekat jendela!

Di kiri-kanan jalan, ladang-ladang membentang. Hijau pupus sawah berpadu dengan hijau tua pepohonan, dilatari langit biru muda dan awan-awan. Saya setengah berharap perjalanan akan memakan waktu lama, tak mempedulikan badan yang sudah lelah.  Setelah sawah, giliran rumah dan gedung yang mendominasi. Jauh di sana, Tokyo Sky Tree Tower menjulang tinggi.

Kami turun di Nippori, menyeret-nyeret koper ke sana kemari, naik taksi menuju tempat pelatihan. Sudah jam 11 siang ketika kami sampai. Setelah mengisi dokumen dan menonton video tentang tata tertib selama pelatihan, kami mulai masuk ke kamar masing-masing.

Pemandangan luar jendela kamar

Kamar yang saya tempati menghadap ke pemukiman penduduk. Fasilitasnya bisa dibilang lengkap dengan kamar mandi dalam. Tidak ada wifi di dalam kamar, tapi ada jaringan internet untuk PC menggunakan kabel LAN. Saya sempat mencoba-coba mendengarkan radio, tapi menyerah dengan kantuk. Saya tertidur setelah mengirim sms ke rumah.
 


Mungkin karena lapar, saya terbangun menjelang sore. Menyesal saya menolak tawaran makanan dari pramugari JAL. Untuk mengganjal perut, pilihan saya jatuh pada popmie yang saya bawa dari Jakarta. Air panasnya saya dapatkan dari dispenser di samping kamar. Tak lama, Mbak Cici dari PGE mengajak keluar mencari makan. Teman-teman yang lain ada yang sudah memutuskan untuk jalan-jalan.

Berdua kami mencari McD, satu-satunya tempat makan yang familiar dan dekat dengan TKC. Saat itu, saya baru sadar kalau musim panas di Jepang memang benar-benar panas. Angin mati. Bahkan dengan kaos tipis yang saya pakaipun, saya masih kegerahan.

Setelah sempat kesasar, kami berhasil juga menemukan McD. Tidak ada nasi di sana. Saya pesan chicken nugget dan french fries. Bahkan tanpa minuman pun harganya sudah lima puluh ribu rupiah. Mahal.


Kami berjalan-jalan sebentar, foto sini foto sana, kemudian pulang ke TKC. Menjelang petang, kami keluar lagi; kali ini dengan Mbak Tika dari Adaro dan seorang bapak peserta pelatihan beda program. Bapak ini adalah orang Indonesia yang sudah tinggal di Jepang beberapa minggu. Ia mengantar kami menuju pusat keramaian dekat TKC di Kitasenju.

Di ruas jalan, ada satu larik garis berwarna hijau. Itu diperuntukkan bagi pejalan kaki. Karena sempitnya, kami berjalan seperti semut: satu-satu. Namun ketika jalanan sepi, kami kembali jalan berdua-dua. Tidak seperti Jakarta yang penuh dengan angkutan umum hampir di tiap pojokan, Tokyo tidak begitu memanjakan penduduknya. Motor dan mobil tidak seramai di Jakarta, taksi mahal. Orang-orang berjalan kaki kemana-mana untuk jarak tempuh yang lumayan. Terkadang ada juga yang naik sepeda. 


Beda dengan daerah TKC yang sepi, Kitasenju ramai dengan orang-orang berlalu lalang. Kami berempat duduk di kursi-kursi panjang, people watching. Karena musim panas, perempuan-perempuan Jepang berpakaian mini-modis dengan high-heels. Di sebuah sudut, seorang lelaki menyanyi sambil memainkan gitar. Kaleng kecil ia taruh di hadapannya. Di sudut yang lain, papan-papan iklan semarak dengan warna-warninya. Segerombol burung dara mendekat, berjalan-jalan bebas, terkadang hinggap di besi-besi penopang.

Hari sudah gelap ketika kami memutuskan pulang.

1 comment:

  1. So, jadinya kemana aja di sana? Jadi ke Fuji ?
    -Wina

    ReplyDelete