Wednesday, 19 September 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (ii)

Akhir Juni, 2012. Sore hari, pada sebuah kamar hotel di Bali. Saya baru selesai mengikuti sebuah acara seharian itu. Pantai Kuta terlihat dari jendela kamar, langit berwarna jingga. Saya mendapat email dari seseorang, mengabarkan ada program lain dari Pemerintah Jepang; saya diminta mendaftarkan diri segera. Saya sudah direkomendasikan untuk mewakili kantor.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya tak berharap terlalu banyak. Berbeda dengan program yang lalu, program ini hanya berlangsung dua minggu, 20 – 31 Agustus 2012 di Tokyo. Kembali ke Jakarta, saya siapkan semua yang diperlukan, termasuk medical check up. 

Saya baru sadar kalau jadwal program berbarengan dengan Idul Fitri. Saya telepon bapak dan ibu, meminta pendapat. Idul Fitri adalah hari besar dan sakral bagi keluarga kami. Saya selalu merayakannya di rumah bersama keluarga besar. Membayangkan berlebaran di luar rumah – bagaimanapun – bukan hal yang mudah.

Bapak-ibu rupanya lebih memilih saya menuruti mimpi-mimpi saya. Mereka tahu betul tentang impian saya tentang Jepang.

Begitulah, saya sudah mengusahakan sebisa saya. 20 Juli 2012, saya mendapat email tentang hasil screening panitia atas dokumen-dokumen yang sudah saya kirimkan. Saya resmi menjadi calon peserta!

Beberapa hari setelahnya, paket dari Jepang tiba; berisikan dokumen-dokumen tentang program ini, termasuk pre-training assignment. Melihat tugas pra-pelatihan Financial Analysis setebal puluhan halaman, tiba-tiba saya menyangsikan keputusan untuk mengikuti program ini adalah pilihan yang tepat. 

Menjelang Lebaran, semua orang sibuk mempersiapkan mudik sementara saya berkutat dengan tugas dan persiapan ke Jepang. Sudah tidak bisa mundur, yang saya lakukan adalah maju ke depan.

Tugas Financial Analysis tak sesulit yang saya kira. Yang perlu saya lakukan hanya mempelajari bahan terlebih dulu sebelum mengerjakannya. Saya membacanya kata per kata, angka per angka. Saya telah menyelesaikan tugas ini ketika email lain berisi tugas tambahan mengenai Charting Your Course in an Uncertain World datang kemudian. Well, sepertinya saya mulai terbiasa dengan pelatihan ini bahkan sebelum keberangkatan saya ke Jepang.

Paspor dinas dari kantor selesai seminggu sebelum keberangkatan. Setelah melalui prosedur birokrasi ini-itu, barulah saya mengajukan permohonan visa melalui kantor. Cepat, hanya butuh dua hari. Saat itu, Jepang sudah benar-benar ada di depan mata.

Sabtu, 19 Agustus 2012. Kosan sudah sepi. Teman-teman dan teteh sudah mudik. Hanya saya dan seorang teman di lantai dua yang masih tetap tinggal. Di saat orang lain sibuk meracik opor dan membuat ketupat, saya masih dipusingkan dengan barang bawaan ke Jepang. Bolak-balik saya memastikan tak ada yang tertinggal.

Ketika semua persiapan selesai, masalah lain muncul. Mellow mendadak menyerang. Besok Lebaran, dan saya sendiri di kamar kosan. Saya kangen rumah. Saya kangen masakan ibu. Saya ingin Lebaran di rumah! 

Mellow masih mengikuti ketika saya naik taksi menuju bandara sore itu. Mellow  masih lekat ketika saya buka puasa di restoran cepat saji A&W, berbagi meja bersama orang-orang asing. Mellow masih juga tak mau menjauh ketika saya mencari-cari suara takbir Ramadhan di antara sesak manusia, dan tak menemukannya.

Untunglah suasana hati saya membaik ketika akhirnya bertemu teman-teman lainnya yang juga ikut program serupa. Ada lima orang – termasuk saya – perwakilan dari Indonesia dalam kegiatan ini. Kami berasal dari instansi yang berbeda; ada yang dari pemerintah, BUMN, juga swasta. Menjelang jam 10 malam, kami mulai mengantri memasuki pesawat.

No comments:

Post a Comment