Wednesday, 19 September 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (i)

Saya tahu, pada suatu waktu saya akan menginjakkan kaki di Jepang. Jauh sebelum Irlandia dan Inggris, hati saya sudah tertambat pada Negeri Matahari Terbit itu. Kecintaan saya semakin menjadi ketika SMP. Saya membuat puisi tentangnya, memikirkan dengan sungguh-sungguh cara untuk menemuinya, membayangkan menyeberangi Samudera Pasifik hanya untuk berjumpa dengannya. Pikiran yang liar, karena saat itu, bahkan melewati batas Pulau Jawa pun belum pernah saya lakukan.

Di suatu siang di sekolah, saya menghitung berapa biaya untuk pergi ke Jepang; berapa banyak saya harus menabung setiap harinya. Uang saku saya seribu rupiah saat SMP. Kedua orang tua saya adalah guru SD, saya tidak pernah memimpikan pergi liburan ke luar negeri dengan uang dari bapak-ibu. Kota kecil saya tidak memberikan kebebasan untuk memikirkan alternatif-alternatif untuk pergi ke Jepang; seperti mencoba meraih beasiswa, misalnya. Yang saya pikirkan saat itu, menabung adalah satu-satunya pilihan paling masuk akal. Saya tahu, suatu saat nanti saya akan menginjakkan kaki di Jepang. Ini hanya masalah waktu.

Kenapa Jepang? Well, kenapa tidak? Jepang ada dimana-mana di Indonesia. Ia menjelma dalam komik dan serial kartun di Minggu pagi. Masa kanak-kanak saya dipenuhi serial dari sana, sebut saja Doraemon. Dan mungkin, bapak adalah orang pertama yang membuat saya menjadikan Jepang sebagai destinasi nomor satu saat itu. Bapak sering menceritakan tentang Jepang, tentang kepintaran dan disiplin orang-orangnya. Bapak belum pernah ke Jepang, tapi itulah yang ia percaya. Saya mengagumi Jepang sejak saat itu.

Dan oh, Google belum menjadi Dewa Informasi saat saya kecil, tapi bayangan saya tentang Jepang sangat nyata... dan sangat indah. Saya membayangkan Gunung Fujiyama dengan salju putih di puncaknya, saya memimpikan kuil-kuil khas sana dengan Sakura sebagai penghiasnya. Ah, mungkin saat itu saya melihatnya di kalender tahun 90-an. Atau dari kaleng biskuit yang didominasi warna kuning, atau merah.



Ketika SMP pula, saya membaca novelet Penari Izu oleh Kawabata Yasunari. Sebuah cerita yang menarik, dan kalimat pembukanya masih menjadi yang terbaik bagi saya. Kawabata pandai membangun atmosfir cerita, dan Ajip Rosidi – yang menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia – jenius dalam menceritakan ulang. Keindahan Izu melekat terus melekat dalam benak saya. Tak pelak, Izu menjadi tempat yang ingin saya kunjungi ketika saya ke Jepang suatu saat nanti.

Jaman berubah, seperti halnya manusia dan pikiran-pikirannya. Inggris dan Irlandia muncul kemudian, menggeser Jepang menjadi destinasi nomor tiga. Tapi seperti halnya cinta pertama, ia akan selalu ada di sudut-sudut kenangan. Jepang akan selalu ada di pikiran saya.

Kini belasan tahun dari mimpi saya tentang Jepang. Jaman berganti. Semua terasa lebih mudah. Semua menjadi serba mungkin. Tiket pesawat tak lagi tak bisa dijangkau. “Now Everyone Can Fly!”, mengutip slogan maskapai penerbangan favorit saya. Kalau beruntung, tiket promo ke Jepang bisa lebih murah daripada tiket dalam negeri. Tapi saya punya mimpi lebih besar: mengunjungi Inggris dan Irlandia suatu saat nanti. Itu butuh uang tak sedikit. Benar saya mungkin saja mendapat harga promo untuk ke Tokyo, namun biaya hidup di sana sangatlah tinggi. Untuk sementara, pikiran ke Jepang saya simpan.

Pada suatu siang di bulan April, 2012. Akhir pekan sudah di depan mata. Saya sedang mengerjakan urusan  kantor ketika Kepala Bagian memanggil saya. Menuju ruangan si Bapak Kepala, saya bertanya-tanya tujuan ia memanggil saya. Saya mengingat-ingat pekerjaan yang telah saya lakukan, kalau-kalau ada yang tak memuaskan hatinya.

Saya mengetuk pintu pelan, menemui si Bapak yang tengah sibuk dengan dokumen-dokumen di hadapannya. Ia menyodorkan dokumen itu untuk saya, menawari saya mengikuti program yang tertera pada halaman paling atas.

Pelatihan di Jepang!
Selama delapan bulan!

Saya langsung menyatakan iya sebelum si Bapak menjelaskan dengan detail tentang program yang ada di dalamnya. Saya tak peduli. Ini Jepang, Teman!

Jadi, ini adalah program dari Pemerintah Jepang. Isinya tentang pelatihan Bahasa dan Budaya Jepang. Kantor kami diminta mengirimkan satu kandidat, dan saya terpilih untuk itu. Saya tak ingin bercerita lebih detail, tapi kandidat di sini berarti 90% calon peserta. 90% pasti berangkat.

Saya kembali ke kubikel dengan perasaan gamang; masih tak percaya. Saya urus semua dokumen, melengkapi ini-itu. Saya telepon ibu di rumah, mengabari tawaran ini. Saya bisa merasakan ibu ikut senang untuk saya, pun demikian bapak. Jepang sudah ada di pelupuk mata!

Tapi hey, masih ada 10% kemungkinan yang bisa membatalkan. Hanya berselang empat hari dari kabar gembira itu, saya mendapat informasi kalau instansi kami – meskipun di unit lain – pernah mengirimkan peserta untuk program serupa. Pemerintah Jepang memprioritaskan peserta dari tempat lain. Itu hanya berarti satu hal: kesempatan saya hilang.

Pertengahan April itu, grafik mood saya turun curam setelah sebelumnya menanjak cepat.

Saya tahu, pada suatu waktu saya akan menginjakkan kaki di Jepang. Hanya saja, mungkin Tuhan masih menguji saya untuk lebih sabar menunggu.

2 comments:

  1. dream comes true :))
    semoga suatu hari nanti saya juga punya kesempatan yang sama aamiin :D

    ReplyDelete
  2. Yes, dreams DO come true! Thanks for visiting this blog anyway. :)

    ReplyDelete