Saya tahu, pada suatu waktu saya akan
menginjakkan kaki di Jepang. Jauh sebelum Irlandia dan Inggris, hati saya sudah
tertambat pada Negeri Matahari Terbit itu. Kecintaan saya semakin menjadi
ketika SMP. Saya membuat puisi tentangnya, memikirkan dengan sungguh-sungguh
cara untuk menemuinya, membayangkan menyeberangi Samudera Pasifik hanya untuk berjumpa
dengannya. Pikiran yang liar, karena saat itu, bahkan melewati batas Pulau Jawa
pun belum pernah saya lakukan.
Kenapa Jepang? Well, kenapa tidak? Jepang ada dimana-mana di Indonesia. Ia menjelma dalam komik dan serial kartun di Minggu pagi. Masa kanak-kanak saya dipenuhi serial dari sana, sebut saja Doraemon. Dan mungkin, bapak adalah orang pertama yang membuat saya menjadikan Jepang sebagai destinasi nomor satu saat itu. Bapak sering menceritakan tentang Jepang, tentang kepintaran dan disiplin orang-orangnya. Bapak belum pernah ke Jepang, tapi itulah yang ia percaya. Saya mengagumi Jepang sejak saat itu.
Dan oh, Google belum menjadi Dewa Informasi saat saya kecil, tapi bayangan saya tentang Jepang sangat nyata... dan sangat indah. Saya membayangkan Gunung Fujiyama dengan salju putih di puncaknya, saya memimpikan kuil-kuil khas sana dengan Sakura sebagai penghiasnya. Ah, mungkin saat itu saya melihatnya di kalender tahun 90-an. Atau dari kaleng biskuit yang didominasi warna kuning, atau merah.
Di suatu siang di sekolah, saya menghitung
berapa biaya untuk pergi ke Jepang; berapa banyak saya harus menabung setiap
harinya. Uang saku saya seribu rupiah saat SMP. Kedua orang tua saya adalah
guru SD, saya tidak pernah memimpikan pergi liburan ke luar negeri dengan uang
dari bapak-ibu. Kota kecil saya tidak memberikan kebebasan untuk memikirkan
alternatif-alternatif untuk pergi ke Jepang; seperti mencoba meraih beasiswa,
misalnya. Yang saya pikirkan saat itu, menabung adalah satu-satunya pilihan
paling masuk akal. Saya tahu, suatu saat nanti saya akan menginjakkan kaki di
Jepang. Ini hanya masalah waktu.
Kenapa Jepang? Well, kenapa tidak? Jepang ada dimana-mana di Indonesia. Ia menjelma dalam komik dan serial kartun di Minggu pagi. Masa kanak-kanak saya dipenuhi serial dari sana, sebut saja Doraemon. Dan mungkin, bapak adalah orang pertama yang membuat saya menjadikan Jepang sebagai destinasi nomor satu saat itu. Bapak sering menceritakan tentang Jepang, tentang kepintaran dan disiplin orang-orangnya. Bapak belum pernah ke Jepang, tapi itulah yang ia percaya. Saya mengagumi Jepang sejak saat itu.
Dan oh, Google belum menjadi Dewa Informasi saat saya kecil, tapi bayangan saya tentang Jepang sangat nyata... dan sangat indah. Saya membayangkan Gunung Fujiyama dengan salju putih di puncaknya, saya memimpikan kuil-kuil khas sana dengan Sakura sebagai penghiasnya. Ah, mungkin saat itu saya melihatnya di kalender tahun 90-an. Atau dari kaleng biskuit yang didominasi warna kuning, atau merah.
Ketika SMP pula, saya membaca novelet Penari Izu oleh Kawabata Yasunari. Sebuah cerita yang menarik, dan kalimat pembukanya masih menjadi yang terbaik bagi saya. Kawabata pandai membangun atmosfir cerita, dan Ajip Rosidi – yang menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia – jenius dalam menceritakan ulang. Keindahan Izu melekat terus melekat dalam benak saya. Tak pelak, Izu menjadi tempat yang ingin saya kunjungi ketika saya ke Jepang suatu saat nanti.
Jaman berubah, seperti halnya manusia dan
pikiran-pikirannya. Inggris dan Irlandia muncul kemudian, menggeser Jepang
menjadi destinasi nomor tiga. Tapi seperti halnya cinta pertama, ia akan selalu
ada di sudut-sudut kenangan. Jepang akan selalu ada di pikiran saya.
Kini belasan tahun dari mimpi saya tentang
Jepang. Jaman berganti. Semua terasa lebih mudah. Semua menjadi serba mungkin.
Tiket pesawat tak lagi tak bisa dijangkau. “Now Everyone Can Fly!”, mengutip
slogan maskapai penerbangan favorit saya. Kalau beruntung, tiket promo ke
Jepang bisa lebih murah daripada tiket dalam negeri. Tapi saya punya mimpi
lebih besar: mengunjungi Inggris dan Irlandia suatu saat nanti. Itu butuh uang
tak sedikit. Benar saya mungkin saja mendapat harga promo untuk ke Tokyo, namun
biaya hidup di sana sangatlah tinggi. Untuk sementara, pikiran ke Jepang saya
simpan.
Pada suatu siang di bulan April, 2012. Akhir
pekan sudah di depan mata. Saya sedang mengerjakan urusan kantor ketika Kepala Bagian memanggil saya.
Menuju ruangan si Bapak Kepala, saya bertanya-tanya tujuan ia memanggil saya.
Saya mengingat-ingat pekerjaan yang telah saya lakukan, kalau-kalau ada yang
tak memuaskan hatinya.
Saya mengetuk pintu pelan, menemui si
Bapak yang tengah sibuk dengan dokumen-dokumen di hadapannya. Ia menyodorkan
dokumen itu untuk saya, menawari saya mengikuti program yang tertera pada
halaman paling atas.
Pelatihan di
Jepang!
Selama delapan
bulan!
Saya langsung menyatakan iya sebelum si
Bapak menjelaskan dengan detail tentang program yang ada di dalamnya. Saya tak
peduli. Ini Jepang, Teman!
Jadi, ini adalah program dari Pemerintah
Jepang. Isinya tentang pelatihan Bahasa dan Budaya Jepang. Kantor kami diminta
mengirimkan satu kandidat, dan saya terpilih untuk itu. Saya tak ingin
bercerita lebih detail, tapi kandidat di sini berarti 90% calon peserta. 90%
pasti berangkat.
Saya kembali ke kubikel dengan perasaan
gamang; masih tak percaya. Saya urus semua dokumen, melengkapi ini-itu. Saya
telepon ibu di rumah, mengabari tawaran ini. Saya bisa merasakan ibu ikut
senang untuk saya, pun demikian bapak. Jepang sudah ada di pelupuk mata!
Tapi hey, masih ada 10% kemungkinan yang
bisa membatalkan. Hanya berselang empat hari dari kabar gembira itu, saya
mendapat informasi kalau instansi kami – meskipun di unit lain – pernah
mengirimkan peserta untuk program serupa. Pemerintah Jepang memprioritaskan
peserta dari tempat lain. Itu hanya berarti satu hal: kesempatan saya hilang.
Pertengahan April itu, grafik mood saya turun curam setelah sebelumnya
menanjak cepat.
Saya tahu, pada suatu waktu saya akan
menginjakkan kaki di Jepang. Hanya saja, mungkin Tuhan masih menguji saya untuk
lebih sabar menunggu.
dream comes true :))
ReplyDeletesemoga suatu hari nanti saya juga punya kesempatan yang sama aamiin :D
Yes, dreams DO come true! Thanks for visiting this blog anyway. :)
ReplyDelete