Monday 26 September 2011

Di Ujung Bangsal Itu, September Kemarin

Pada sebuah bangsal di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM), Jakarta. Awal September 2010. Saya berbaring dengan kepala ditelengkan ke kanan. Beberapa orang berbaju putih berdiri mengelilingi saya. Saya pejamkan mata, mencoba tidak melihat alat apapun yang nantinya akan merobek leher bagian kiri saya.

Seseorang menyapa saya dengan ramah, menanyakan kesiapan saya. Saya mengiyakan sementara degup jantung semakin kencang.

Saya datang sendirian siang itu.
Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk?
Bagaimana kalau terjadi kesalahan pascaoperasi?
Saya bahkan belum kenal nama dokter yang akan bertanggung jawab atas keselamatan saya minimal satu jam mendatang!

Panik menyergap tepat ketika ia hendak menyuntikkan bius lokal.

“Dokter! Siapa nama Dokter?”, saya bertanya dengan panik berlipat, tetap dengan kepala ditelengkan. Saya harus tahu namanya. Saya harus tahu siapa yang bisa saya tuntut kalau terjadi kesalahan.

Dia menyebutkan namanya. Itu adalah perkenalan paling dramatis berkesan untuk saya. Namun saya tak sempat memikirkannya saat itu. Toh, jawaban tadi belum bisa menenangkan saya. Setengah memaksa, saya berkata, “Baca bismillah dulu, Dok. Baca BISMILLAH!” Saya tak bisa melihat reaksinya, tapi hati tenang mendengar lafaz itu diucapkan. Di detik itu, saya sudah berserah pada Tuhan.

Saya punya benjolan kecil di leher sebelah kiri dari setahun sebelumnya. Benjolan itu tidak mengganggu, namun tetap saja saya khawatir. Awalnya, siang itu hanya dimaksudkan untuk pengambilan jaringan atau biopsi. Itulah kenapa saya datang sendiri. Ternyata rencana biopsi berubah menjadi operasi kecil. Benjolan itu akan diangkat habis.

Sebelum operasi itu, saya beberapa kali periksa ke RSCM. Dokternya berbeda-beda setiap kali saya ke sana. Inilah yang membuat saya tidak mengenal dokter terakhir yang menangani saya.

Meskipun memejamkan mata, saya masih bisa membayangkan alat operasi. Sesaat setelah disuntik bius, saya mendengar suara ujung gunting beradu. Bunyinya seolah dekat dengan telinga. Saya tidak mau membayangkan kelanjutannya.

Benar, saya tidak merasa sakit di awal-awal. Tapi ada saatnya ketika seluruh tulang lengan dan punggung bagian kiri saya seperti mendapat serangan kejut. Masih memejamkan mata, saya ingat keluarga di rumah. Saya menangis tanpa suara.

Entah karena melihat air mata yang tak bisa saya seka – saya tak boleh bergerak – atau karena memang kewajibannya, Dokter bilang saya harus memberitahunya kalau leher mulai terasa sakit. Katanya, itu tanda efek obat biusnya semakin berkurang.

Benar saja, ada saatnya ketika saya merasakan nyeri di leher. Saya bisa merasakan ada benda tumpul (saya tidak berani membayangkan sebuah pisau) yang merangsek ke dalam kulit leher. Ketika tak tertahankan, saya bilang sakit. Dokter langsung menyuntikkan obat bius lagi. Sepanjang operasi, total ia menyuntik tiga kali.

Operasi berlangsung selama satu setengah jam. Leher kiri saya diperban. Dokter dan asisten-asistennya meninggalkan saya di bangsal sendirian, memberi kesempatan saya berganti pakaian. Saya segera membuang pandangan saat melihat kapas-kapas bernoda darah.

Mungkin karena masih pengaruh obat bius, tangan kiri saya tak bisa bergerak bebas. Saya kesulitan mengepalkan tangan. Saya bahkan tidak bisa menoleh tanpa memutar tubuh. Sendirian, saya menuju laboratorium membawa hasil operasi tadi. Mengantri lama, lelah dan lapar membuat kepala saya berat. Saya hanya bisa menyemangati diri sendiri dan percaya bahwa hari akan segera berganti, seperti selalu.

Dari laboratorium, saya seret kaki keluar dari rumah sakit. Hasil lab baru keluar tiga hari ke depan, karena operasi dilakukan Jumat. Saya panggil taksi dan mulai duduk dengan tubuh bersandar penuh. Saya setel lagu Wavin’ Flag di HP.

Sepanjang jalan, hanya lagu itu yang saya putar.

‘When I get older, I will be stronger
They’ll call me freedom, just like a waving flag...
....
This can’t control us, no, it can’t hold us down.’

Hari itu, saya berhasil melawan rasa takut.
Hari itu, saya bertanggung jawab pada diri sendiri. Saya menolak untuk sakit.
Oh ya, sebagai hadiah, saya beli iPod beberapa hari setelahnya; lebih sebagai tanda, kalau satu ujian telah terlewati dengan baik.

No comments:

Post a Comment