Monday 17 October 2011

Mozaik Duka

Otak saya selalu lambat dalam mencerna kabar buruk. Ia seperti punya sistem pertahanan yang setengah mati memanipulasi seolah semua baik-baik saja. Kabar buruk tadi ditahannya sedemikian rupa hingga tak cepat sampai ke hati. Otak kembali memainkan peran itu pada Sabtu malam, 15 Oktober 2011.

Malam itu, saya diajak teman menonton konser Wurttemberg Chamber Orchestra Heilbronn dari Jerman. Ini adalah salah satu acara dalam rangkaian Program JERIN (Jerman dan Indonesia) yang berlangsung dari Oktober 2011 hingga Februari 2012. Selama menonton konser, saya atur handphone ke posisi silent. Saya menikmati nada-nadanya yang memukau, memaksimalkan indra pendengaran saya untuk musik indah itu. Saya tak pernah tahu saat itu, kalau dua jam setelahnya, indra pendengaran jugalah yang menerima sebuah kalimat kering berisi berita duka.

Pulang ke kos jam sepuluh malam, perhatian saya baru tercurah pada total tujuh missed call yang saya terima dan satu SMS. Pasti ada sesuatu. Saya buka SMS dari adik saya di rumah. Dia bilang Budhe Tirah sakit, mohon didoakan supaya cepat sembuh. Tanpa firasat buruk, saya segera menelepon ibu. Kalimat pertama dari ibu membuat telinga saya berdenging. Ibu bilang, budhe sudah tidak ada.

Saya tidak merasakan apapun setelah kalimat pertama itu. Saya kerjapkan mata. Kering. Suara ibu yang bergetar tidak membuat saya ikut larut. Saya tanya sebab sakitnya budhe, saya tanya kapan pemakaman akan dilakukan. Di akhir telepon, saya bilang mungkin ini sudah jadi takdir Tuhan.

Setelah menelepon ibu, saya telepon adik saya yang kuliah di Bandung. Suaranya serak menerima telepon dari saya. Rupanya dia sudah tahu berita itu. Telepon berikutnya saya tujukan pada saudara di Pademangan. Sampai saya tutup telepon ketiga, perasaan saya datar saja.

Atau mungkin, terlalu datar. Mestinya saya sudah bisa membaca tanda-tanda ada yang salah dengan respon saya yang kelewat santai.

Sudah lewat satu jam dari saat berita itu disampaikan. Saya tidak bisa tidur. Saya habiskan waktu dengan menggonta-ganti channel TV. Film terakhir yang saya tonton selesai jam 3 pagi.

Tiba waktunya saya harus tidur. Mata saya sudah lelah menonton semalaman. Lampu kamar telah dipadamkan. Saya nyamankan badan, mencoba memejamkan mata. Saat itulah, gelombang kesadaran menghantam dan hati saya memberi arti kata ‘sedih’ dengan sebenar-benarnya.

Mata saya basah. Memori yang tersimpan rapat selama beberapa jam sebelumnya, keluar berserakan. Ingatan itu – ingatan tentang Budhe Tirah – bermunculan seperti pecahan mozaik; acak namun membentuk satu bayangan utuh tentang budhe.

Budhe Tirah adalah budhe yang pertama saya hapalkan namanya. Setidaknya, itu yang tercatat di buku harian ibu untuk saya. 18 Januari 1988, umur saya belum genap dua tahun. Saya mulai mengenal nama orang-orang terdekat saya. Budhe Tirah jadi salah satunya.

Budhe adalah istri dari (almarhum) kakak lelaki tertua ibu saya. Rumah kami yang berdekatan membuat kami bukan hanya bersaudara, namun juga bertetangga. Ketika masih kecil, saya takut pada budhe. Kalau saya nakal, ibu bilang budhe akan datang bawa kerikan. Saat itu, kerikan dengan bawang merah sudah bisa membuat saya nangis keras-keras.

Lama-lama, saya justru mencandu pada kerikan budhe. Setiap masuk angin sedikit saja, saya minta dikerikin. Sampai saya besar, budhe masih saja gemas karena saya punya saraf geli di hampir di seluruh punggung.

Budhe adalah orang yang memandikan bayi-bayi berumur hitungan hari yang lahir dalam keluarga besar kami. Budhe sangat ahli dalam hal ini. Oh, budhe juga sangat pandai memasak. Serius. Masakannya lebih dari enak; sedap. Yang paling khas dari budhe adalah sayur asam dan sambalnya. Oseng tempe lombok ijonya juga juara. Saya tak malu menambah nasi kalau budhe yang memasak.

Ketika saya SMA, budhe membantu menyetrika di rumah saya. Saya ingat, budhe selalu membuat tiga atau empat garis lurus mendatar di bagian bawah tengkuk pada seragam sekolah saya. Mulanya saya tak paham itu untuk apa. Saya baru sadar setelah melihat beberapa anak keren di sekolah punya garis yang sama di seragam mereka. Budhe mengangkat gengsi saya dari cara ia menyetrika.

Di malam sebelum saya berangkat ke Purwokerto untuk kuliah dan kos di sana pada pertengahan 2004, saya minta ijin budhe. Dengan mata berkaca-kaca, budhe melepas saya. Budhe memberikan saya uang. Uang, yang saya tahu pasti, nominalnya besar bagi budhe. Saya hampir tak tega menerima, tapi budhe tetap memaksa. Itu pertama kalinya saya akan terpisah jauh dari rumah. Sampai beberapa tahun setelahnya, jika saya pulang ke rumah dan bertemu budhe, budhe akan mencium pipi saya kiri-kanan seolah saya masih anak-anak.

Di awal-awal saya diterima kerja di Jakarta pada 2009, bapak-ibu menyempatkan diri main ke kos saya. Ibu membawa banyak makanan dan jajan, termasuk titipan dari budhe: kopi dan satu snack kesukaan saya. Kopi. Budhe tahu saya suka kopi. Mengingat itu sekarang membuat saya ingin menyeduh kopi dan menghirupnya dalam-dalam.

Saya tahu kematian adalah hal yang mutlak, seperti halnya dunia ini tak pernah sama dilihat dari waktu yang terus bergerak maju. Jika ada satu yang masih membuat saya tak rela, itu adalah karena cepatnya waktu mengambil budhe. Hanya sehari budhe sakit, dan langsung dipanggil oleh Tuhan. Saya tidak punya kesempatan terakhir untuk menemuinya; khusus menemuinya untuk ngobrol bersama. Budhe meninggalkan kami yang terkejut, tak habis pikir, dan susah mengerti. Atau mungkin, memang itu teka-teki yang disodorkan oleh kehidupan tentang kematian?

Saya menulis ini untuk mengenang budhe. Semoga – saya sungguh berdoa – budhe mendapat sebaik-baik tempat yang membuatnya lebih bahagia.

2 comments: