Beberapa pekan lalu, adik saya Ema
mengirim pesan lewat whatsapp. Dia
bilang dua tulisannya dimuat di surat kabar lokal, dan jaminan nilai A untuk
satu mata kuliah sudah dalam genggamannya. Dari dua tulisan itu, dia mendapat
honor yang lumayan untuk ukuran mahasiswa. Dia memakai uang itu untuk
makan-makan bersama bapak-ibu dan adik kami Nanda.
Bukan kali itu saja Ema mendapat uang
hasil keringat sendiri. Ketika masih SMA, Ema rajin menulis cerpen. Beberapa
cerpennya dimuat di Kandela; majalah pendidikan lokal di kota kami yang
memiliki misi menyebarkan semangat menulis untuk para pelajar. Setiap
tulisannya dimuat, honor yang Ema terima lebih dari cukup untuk membeli pulsa
bulanan atau sekedar menambah uang jajan.
Ah, saya jadi ingat uang-uang pertama
yang saya dapatkan. Uang-uang ini istimewa, karena diperoleh susah payah, bukan
datang dari langit lewat pemberian orang tua.
Uang pertama yang saya dapatkan ketika
bekerja adalah rapelan gaji Januari hingga Maret 2009. Iya, selama bulan-bulan
itu, hidup saya sebagai pegawai baru masih tergantung orang tua. Total rapelan
itu saya bagi tiga, dan salah satunya saya beri utuh untuk orang tua. Dari dulu
sudah saya niatkan, gaji pertama untuk mereka.
Yang lebih menarik adalah ketika rapelan
tunjangan turun. Sebagai informasi, tunjangan di tempat saya bekerja lebih
tinggi dari gaji. Tunjangan ini sempat tertahan dan baru cair di akhir Juni 2009.
Dengan uang tunjangan total dari Januari hingga Mei itu, saya membeli sesuatu
yang sudah sedari lama saya idam-idamkan; sesuatu yang sedari dulu membuat hati
saya berdesir-desir setiap kali melihat teman menentengnya.
Saya membeli laptop, Teman! 5 Juli 2009.
Saya tak perlu melihat catatan untuk mengingat tanggal saya membeli laptop yang
kelak saya beri nama Baby Toshi. Di hari pertama Baby Toshi diboyong ke kosan,
saya buka Microsoft Word dan mengetik dan terus mengetik; hanya untuk
menyapanya. Saya senang bukan main! Saya akan
menulis setiap hari, pikir saya waktu itu.
Melompat setahun-dua tahun sebelumnya
saat kuliah, saya dapat uang pertama dari hasil mengajar Bahasa Inggris. Ketika
masih mahasiswa, saya tergabung dengan sebuah Klub Bahasa Inggris di kampus.
Selain menyelenggarakan acara debat dan sekian banyak program lainnya, klub kami juga menyediakan kelas-kelas
mentoring untuk belajar Bahasa Inggris. Sasaran kami adalah mahasiswa tingkat
pertama. Melalui seleksi internal, saya terpilih untuk jadi salah satu
instruktur untuk kelas dasar.
Well, Bahasa Inggris
saya tidak sempurna, tapi untuk mengajari tenses
dan membahas soal yang sederhana sih saya masih bisa. Begitulah, saya menjadi instruktur
untuk beberapa kelas selama rentang dua tahun. Murid favorit saya bernama
Windy. Dia jarang absen. Kelas jadi lebih hidup ketika dia ada. Ketika kelas
kami berakhir, dia memberi saya sebuah bingkisan. Saya lupa isinya apa saja,
tapi salah satunya adalah gantungan kunci Kerokeropi. Saya masih menyimpannya sampai saat ini.
Oya, terkadang klub kami juga bekerja
sama dengan salah satu SMP unggulan di Purbalingga. Tergantung kebutuhan, kami
menyediakan instruktur untuk melatih anak-anak SMP yang masih imut itu. Kegiatan
biasanya berlangsung dua hari, dari pagi hingga siang. Saya paling suka dengan
kegiatan model ini. Anak-anak yang diajar pintar dan lincah. Banyak permainan
yang kami siapkan karena mereka lekas bosan. Satu instruktur memegang tujuh
hingga sepuluh siswa, atau kadang kurang dari itu.
Intermezo sejenak.
Pada suatu waktu, acara puncak dalam
kegiatan itu adalah tampilnya kelompok dalam pagelaran drama berbahasa Inggris.
Jangan bayangkan sesuatu yang mewah dengan pernak-pernik kostum menawan. Tidak.
Kelompok hanya akan tampil di lapangan terbuka dengan kostum sederhana.
Kelompok yang saya latih memilih cerita Putri
Salju. Semuanya berjalan sesuai rencana, kecuali satu hal: pemeran Putri Salju
mendadak tak hadir di hari-H. Tak ada yang mau menggantikannya – semua ingin
jadi kurcaci dengan dialog sedikit – sementara waktu terus bergulir. Akhirnya,
saya memutuskan diri menjadi Si Putri Salju. Ha! Semangat anak-anak terpompa.
Mereka punya instruktur dalam drama yang tak dipunyai kelompok lain.
Itulah kali pertama, dan mungkin
satu-satunya, drama dimana saya menjadi tokoh utamanya.
Bahkan dengan mengingatnya saja membuat
hati saya meleleh.
Sekian intermezonya.
Sebagai instruktur, saya mendapat uang
saku untuk setiap kali pertemuan. Tentu tak banyak, karena bukan itu yang saya
cari. Tapi toh saya senang ketika pertama kali menerima uang hasil mengajar
itu. Uang itu saya belikan flash disk Mini
Kingston 512 MB.
Bertahun-tahun sebelumnya, ketika masih
SMA, saya mendapat uang pertama dari hasil mendekor auditorium untuk perpisahan
kelas 3 di Malam Kenangan. Jadi, waktu itu saya menjadi ketua mading. Sesuai
tradisi, ketua mading menjadi ketua seksi dekorasi. Saya dan lima teman lain
mengurus tata panggung hingga backdrop.
Kami diberi uang konsumsi untuk setiap kali pertemuan. Ketika acara usai, kami
pun makan-makan bersama panitia lainnya.
Sampai pada suatu saat, semua ketua
seksi diundang rapat oleh ketua OSIS. Masing-masing dari kami mendapat amplop
berisi sejumlah uang. Uang ini hanya diperuntukkan bagi ketua, anggota bahkan
tidak ada yang tahu. Hati saya tak enak. Tapi jumlah uangnya sungguh kecil, tak
kan bernilai jika dibagi enam. Bahkan tak cukup untuk sekedar makan-makan untuk
enam orang. Sampai saya menulis ini, saya tak pernah cerita ke anggota yang
lain tentang hal ini.
Baiklah. Sekarang saya akan cerita
pertama kali saya mendapat uang. Saya masih SD waktu itu. Mewakili sekolah,
saya ikut lomba Bahasa Indonesia tingkat provinsi di Semarang. Saya tidak
menjadi juaranya, tapi di hari terakhir lomba, saya diberi uang dan seruling
oleh panitia. Serulingnya diminta paksa oleh pembimbing dari kota, tapi uangnya
utuh milik saya.
Pulang ke rumah, saya cerita ke ibu
tentang uang ini. Saya minta baju yang sedang terkenal saat itu: Baju Monyet!
Entah kenapa disebut baju monyet, tapi yang jelas, baju yang saya beli
bergambar kelinci. Duh! Itu jadi baju favorit saya sampai beberapa waktu.
Itulah uang-uang pertama yang saya
ingat. Tapi hey, saya dapat versi terbaru dari ibu tentang uang pertama yang
saya dapatkan.
Kata ibu, ketika masih kecil – bahkan sebelum
masuk TK, saya sedang senang-senangnya bermain ukulele. Suatu hari saya dan
sepupu perempuan saya, berkeliling dari rumah satu tetangga ke tetangga lain memainkan
lagu-lagu sambil saya secara acak memetik ukulele. Kata ibu juga, tetangga senang dengan ulah saya
dan sepupu, dan beberapa dari mereka berbaik hati memberikan kami koin rupiah.
Kalau benar begitu, saya mendapat uang
pertama dari hasil mengamen. Saya bahkan tak bisa mengingat hal itu!
Saya selalu sensitif dengan sesuatu yang
pertama. Postingan tentang uang-uang pertama ini membuat saya mengenang lagi
rasa senang ketika memperoleh hasil jerih payah sendiri. Dan menuliskan
postingan ini, juga secara ajaib, memunculkan lagi rasa bahagia itu.