Saya
sudah bekerja selama setahun ketika mulai mencari-cari referensi rumah di
berbagai situs
online.
Belum, saya belum berminat untuk membelinya. Saya hanya suka melihat-lihat
model, harga, dan lokasinya. Saat itu saya sudah tahu bahwa memiliki rumah adalah
hal yang sudah harus
mulai dipikirkan, namun cita-cita saya untuk menjelajah Inggris dan Irlandia
lebih kuat. Oleh
karenanya, saya menabung demi tiket ke Eropa, bukan untuk DP rumah.
Dari
'hunting' rumah secara online itu, saya belajar bahwa rumah di Jakarta sudah
tidak masuk akal harganya. Kalau ingin rumah yang masih murah, pinggiran
Jakarta bisa jadi alternatif. Kalau
ingin dtinggal di pusat kota, apartemen bisa jadi pilihan. Soal harga, well, jangan tanyakan
mahalnya. Saat itu, apartemen di Kuningan sudah menembus 500 juta.
Seiring
waktu berlalu, saya sudah mulai 'lupa' dengan keinginan membeli rumah di
Jakarta. Hingga
akhirnya saya kuliah di Belanda dan tinggal di apartemen mahasiswa dekat
kampus.
Apartemen
saya di Bornsesteeg hanya terdiri dari satu kamar, dengan dapur dan toilet.
Saya tinggal
di lantai tertinggi, lantai 20. Tidak semua kamar di Bornsesteeg memiliki
toilet pribadi. Beberapa mahasiswa mesti berbagi toilet dan kamar mandi. Di
apartemen mahasiswa yang lainnya,
seperti Asserpark atau Haarweg, malahan tidak disediakan dapur dalam kamar
hingga mahasiswa mesti memasak di dapur bersama-sama.
Harga
kamar saya lebih mahal karena toilet dan kamar mandi dalam itu. Tapi sungguh, itu sebanding
dengan kenyamanan
yang saya rasakan. Toilet di Belanda adalah toilet kering. Itu sangat
menyusahkan bagi muslim untuk mensucikan diri dari hadas. Selain itu, toilet
umum di tiap-tiap koridor apartemen
adalah toilet campur. Tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Saya pernah mengalami
itu saat masih tinggal di temporary housing di Maurits Ede selama dua
minggu. Dan itu rasanya tidak menyenangkan.
Itulah
sebabnya saya bahagia tinggal di Bornsesteeg. Saya bisa
memasak semau saya, bisa berlama-lama mandi air hangat dan tak perlu mengantri
giliran ke toilet. Dinding
di kamar juga kedap suara sehingga saya tak terganggu suara dari tetangga
sebelah kamar dan saya pun bebas menyetel TV atau lagu keras-keras.
Terbiasa
tinggal nyaman di Bornsesteeg selama setahun membuat saya mudah protes ketika akhirnya
kembali ke kosan di Jakarta. Saya tidak suka dengan kamar yang sempit, tidak
sabar mengantri giliran mandi ataupun ke toilet, dan frustasi karena kamar yang
berisik sementara saya
tidak bisa menyetel musik keras-keras. Di kosan, saya juga tidak bisa memasak.
Jaringan TV
jelek dan saya kangen acara-acara TV yang sering saya tonton di Belanda :( Yang
lebih menyebalkan,
listrik sering padam terutama di pagi hari karena kebanyakan beban.
Belum
sebulan kembali ke Indonesia, saya sudah ingin beli rumah. Setelah berhitung,
rumah yang
masuk budget
ada
di daerah Bogor, entah itu Bojonggede atau Citayam. Jauh memang, tapi
ada KRL yang langsung ke Stasiun Tebet, dekat dengan kantor.
Tanggal
26 Oktober, saya ditemani saudara ke Bojonggede. Kami melihat-lihat rumah yang dekat
dengan stasiun. Harga maksimal yang bisa saya tanggung adalah 250 juta. Itupun
dengan estimasi KPR 20 tahun karena uang cash yang saya punya untuk DP tidak
besar. Uh, ternyata sulit
mencari rumah harga segitu di daerah dekat stasiun. Ada perumahan yang rapi dan berjarak
satu kilometer dari stasiun, tapi harganya sudah 500 jutaan. Mendengar harganya
saja saya sudah panas dingin.
Saat
hendak pulang, kami mampir sebentar di sebuah perumahan yang hanya berjarak 400 meter
dari stasiun. Dengan tipe 36/78, rumah tersebut dijual seharga 365 juta. Itu
sudah di luar
budget. Tapi saudara saya rupanya menganggap perumahan itu layak untuk
diperjuangkan. Setelah nego, harga rumah bisa diturunkan menjadi 333 juta. Saya
diberi waktu singkat untuk menentukan iya atau tidak.
Sebagai
tambahan, saya mesti DP dalam jumlah besar supaya mendapat diskon. Setelah
hitung-hitungan singkat dan sempat menelepon teman kantor, saya niat mengambil
rumah itu. Sebagai
booking fee, saya berikan uang 2 juta.
Setelah
pulang ke kosan, saya menjadi tak yakin dengan keputusan saya. Seminggu
kemudian, saya bolak-balik memikirkan ulang - sampai membuat analisis SWOT -
dan berujung pada kesimpulan
untuk tidak jadi mengambil rumah di Bojonggede.
Saya
bisa membayar DP, tapi itu artinya saya menghabiskan seluruh investasi dan tabungan saya.
Sangat riskan jika hidup tanpa dana cadangan. Terlebih, masih ada biaya KPR
bank. Belum
lagi saya ada rencana liburan ke Singapura dengan bapak-ibu di akhir tahun.
Hitung-hitung,
total saya minus 10 juta dan tanpa menyisakan tabungan. Saya ngeri membayangkannya.
Masalah
lainnya, sebenarnya saya kurang suka dengan lokasi perumahannya. Di dalam
perumahan sih rapi, model cluster. Tapi begitu keluar, jalanan macet dan
bolong-bolong. Untuk pergi ke
pusat kota, kita harus melewati rel kereta api. Itu paling saya hindari.
Cicilan untuk rentang 20 tahun pun masih berat buat saya. Oh well, terlebih pemerintah
yang sekarang memiliki semangat
penghematan yang berpengaruh ke honor di kantor. Singkatnya, saya tidak mau menanggung
beban selama itu untuk rumah yang, uh, sebenarnya mungkin belum terlalu saya
butuhkan.
Saya
batalkan pembelian rumah dan booking fee-pun hangus. Anehnya, saya justru
merasa lebih
lega. Seperti punya beban yang tiba-tiba terangkat dari pundak.
Beberapa
minggu berikutnya, bersama seorang teman, saya ke Citayam untuk melihat rumah seharga
200 jutaan. Tapi begitu sampai stasiun, saya langsung ilfeel. Sama seperti di Bojonggede,
jalanan depan Stasiun Citayam juga macet parah karena terhambat pasar. Dari itu saja, saya sudah tahu takkan
mengambil rumah di sana. Rumah yang kami cari-cari juga tak kami temukan, yang
ada justru perumahan seharga 300 jutaan.
Well,
mungkin saya tak boleh terburu-buru.
Setelah
Bogor, tujuan saya alihkan ke Tangerang. Memang agak repot naik KRL dari
Tangerang ke kantor - saya mesti transit di Stasiun Tanah Abang - tapi
sebenarnya saya lebih suka suasana
Tangerang ketimbang Bogor. Saya memimpikan punya rumah di kota mandiri seperti
BSD yang teratur; sayang harga di BSD juga sudah sangat mahal. Saat sedang
mencari rumah secara
online di daerah Barat Jakarta, saya menemukan promo Citra Maja Raya besutan Ciputra Group.
Jadi,
Citra Maja Raya memiliki konsep kota mandiri yang terletak di Lebak, Banten.
Ada KRL dari
Tanah Abang dengan tujuan akhir Maja. Karena ini proyek yang masih sangat awal, harganya
juga murah; dimulai dari 100 jutaan untuk tipe terkecil 22/60.
Awalnya
saya tertarik, tapi kemudian urung karena melihat lokasi yang sangat jauh, 1.5
jam dari
Maja ke Tanah Abang. Tapi, pernah dengar kalau rumah itu jodoh-jodohan? Saya merasakannya
dengan Citra Maja Raya.
Tanggal
23 November, saya niat nonton HelloFest di Senayan. Darn, ternyata antriannya panjang
di bawah terik matahari yang menyengat. Saat hendak ke HelloFest, saya melewati pameran
propeti di JCC. Akhirnya, saya keluar dari antrian dan malahan menuju ke
pameran properti.
Seperti
yang saya perkirakan, harga rumah di pameran juga mahal-mahal. Saya melihat
satu stand
yang lumayan ramai dikunjungi, itu adalah stand Citra Maja Raya.
Saya
tanya-tanya pada salah satu agen pemasarannya, Pak Hermawan, dan saya langsung tertarik
membelinya. Ini adalah beberapa hal yang membuat saya berminat pada Citra Maja Raya:
1. Harganya masih murah. Rumah sederhana tipe 36/72, dihargai
165 jutaan. DP-nya ringan, saya
tak perlu mengutak-atik dana darurat. Cicilannya pun bisa saya buat hanya untuk
10 tahun. Saya tak perlu berhutang
untuk membayar DP dan biaya KPR, saya juga masih punya tabungan.
2.
Sudah ada rencana dari pemerintah untuk memperluas Stasiun Maja. Saya yakin, ke depannya,
transportasi umum akan mengambil alih kendaraan pribadi. Waktu 1.5 jam dari Maja
ke Tanah Abang mungkin lebih masuk akal dibanding kemacetan berjam-jam naik
mobil di
pusat kota.
3.
Pengembang berencana menyediakan kereta dari dari dalam perumahan ke Stasiun
Maja. Konsep
kota mandirinya pun saya suka, dengan hutan kota di dalamnya.
4. Dikatakan, Lion Air akan
membangun bandara di sana. Well, ini masih rancu apakah itu benar di Maja atau di kota
lainnya di Banten. Tapi yang pasti, pembangunan bandara di Banten pasti akan berpengaruh
positif pada pertumbuhan ekonomi kota-kota di Banten, termasuk Maja.
5.
Selama dua minggu pameran, Nomor Urut Pendaftaran (NUP) sudah mencapai 7.000
lebih. Semakin banyak peminatnya, Citra Maja Raya akan semakin cepat berkembang. Saat
saya mendaftar, NUP saya sudah di atas 7.700 dan dijadwalkan untuk memilih unit
pada tanggal
5 Desember di Cikupa.
Sayangnya,
serah terima rumah dijadwalkan 2.5 tahun pada pertengahan 2017. Itu memang masih
sangat lama. Pengembang beralasan itu karena banyaknya rumah yang akan
dibangun. Saya
berharap selama 2.5 tahun itu, KRL sudah lebih bagus. Saya bayangkan ada KRL langsung dari Stasiun Maja ke Stasiun Tanah Abang. Saya juga memimpikan KRL dua tingkat yang memuat lebih banyak penumpang sekali jalan hingga tak perlu berdesak-desakan seperti sekarang.
Saya tahu Maja memang belum berkembang. Tapi saya yakin 10 tahun dari sekarang - kalau
pengembang masih konsisten pada konsep kota mandiri - Maja akan lebih nyaman
untuk ditinggali ketimbang dua tempat yang saya survey sebelumnya.
Anyway,
pada saat pameran saya tidak membawa uang cash ataupun kartu debit. Saya mesti setor
sejuta untuk mendapatkan NUP dan hari itu adalah hari terakhir sebelum
launching bulan
Desember. Saya mesti pulang ke kosan naik ojek, konsultasi pada bapak-ibu, dan langsung
booking sore itu juga.
Tanggal
5 Desember, saya memberi kuasa pada Pak Hermawan untuk memilihkan unit untuk saya.
Dia bilang cluster dengan harga lama sudah sold out. Kalaupun masih ada unit
rumah, lokasinya
tidak strategis. Akhirnya, saya memutuskan memilih di cluster baru dengan harga dinaikkan
5%. Unit saya nantinya akan ada di cluster Springwood. Mendengar namanya saja saya
sudah senang.
Tanggal
9 Desember, saya melakukan pelunasan DP dan sehari setelahnya saya mulai apply KPR
BII dengan bunga fix 13.75% selama sepuluh tahun.
Sampai
saat ini, KPR saya masih dalam proses. Semoga saja tidak ada hambatan. Dan uh, rasanya
tak sabar untuk melihat rumah saya selesai dibangun.