Pemilu sudah lewat. Bukan, postingan ini bukan tentang pemilihan presiden. Ini tentang pilihan yang lain, juga tentang hak untuk memilih.
Lelaki
memilih namun perempuanlah yang memiliki hak untuk menerima atau menolak
(seseorang untuk menjadi pendampingnya). Itu seperti sesuatu yang sudah
dikondisikan di masyarakat patriarkis Indonesia – kalau tidak bisa dibilang
masyarakat universal. Tentu saja banyak pro kontra. Bukanlah hal baru jika ada
semacam dukungan bagi perempuan supaya bisa bergerak lebih dulu; memilih lelaki
untuk hidupnya ketimbang pasif menunggu. Namun, banyaknya artikel di majalah
wanita yang menyoroti hal ini sebagai sebuah upaya dukungan justru menunjukkan
bahwa konsep ini masih belum dianggap wajar untuk masyarakat kita. Saya tak
terlalu memikirkannya – menganggapnya sesuatu yang biasa – hingga sebuah
peristiwa memberikan saya kesadaran serta-merta.
April
yang lalu kampus mengadakan excursion ke
Barcelona naik bis. Dari total lima hari yang dijadwalkan, masa efektif di
Barcelona hanya tiga hari karena dua yang lain untuk waktu tempuh perjalanan
dari Wageningen ke Barcelona. Dari jadwal acara, saya tahu bahwa perjalanan ke
Barcelona akan memakan waktu hingga 20 jam. DUA PULUH JAM! Mestinya itu bisa
lebih cepat, namun kampus menjadwalkan istirahat di beberapa tempat yang kami
lewati hingga waktu tempuhnya nyaris seharian penuh.
Saya
datang mepet dengan jadwal keberangkatan. Saya merutuki diri sendiri, sebal
karena kesempatan duduk di dekat jendela – spot favorit saya setiap kali naik
bis atau kereta – semakin tipis.
Seandainya saja saya tahu ada hal lain yang lebih penting untuk dikhawatirkan.
Bis
yang Barcelona bertingkat karena banyaknya mahasiswa yang ingin mengikuti excursion, beda dengan excursion sebelumnya ke Paris. Sementara
teman-teman yang lain menyasar duduk di tingkat atas, saya duduk di bawah yang
masih sepi demi bisa duduk dekat jendela.
Kursi
sebelah saya masih kosong sementara waktu sudah sedikit melampaui jadwal. Teman-teman yang saya kenal memilih duduk di
atas. Serombongan mahasiswa dari kelas lain datang di akhir waktu. Seseorang di
antaranya mendekat.
“May I sit here?”
Itu
adalah pertanyaan retoris karena saya toh tidak bisa menolak. Saya tidak punya
pilihan. Saya ada di kondisi yang mengharuskan saya untuk menerima dia duduk di
sebelah saya untuk dua puluh jam mendatang. Waktunya semakin sempit. Saya tidak
bisa bilang tidak. Akan lebih baik kalau orang yang duduk di sebelah saya
adalah orang yang sama sekali asing. Saya tak akan punya beban untuk
mengajaknya bercakap-cakap.
Lelaki
yang duduk di sebelah saya ini adalah teman dari jurusan lain. Saya tak
mengenalnya, bahkan tak tahu namanya, hanya paham kalau dia mahasiswa VHL juga.
Kami beberapa kali berpapasan, namun tak pernah saling menyapa. Dia termasuk
yang pendiam. Saya tak pernah melihatnya sedang ngobrol-ngobrol dengan teman
lain.
Feeling saya bilang
perjalanan ke depan akan banyak diisi dengan diam. Saya sudah menyiapkan iPod
dan dua buku untuk dibaca, jadi mestinya perjalanan ke depan akan baik-baik
saja.
Ugh,
tapi tetap saja akan aneh kalau kami saling diam sepanjang jalan. Saya
berinisiatif memulai. Saya ajukan pertanyaan basa-basi dan ketika dia menjawab,
saya tahu perjalanan ke Barcelona tidak akan
baik-baik saja.
Ini
bukan tentang obrolan kami yang mentok tak kemana-mana, meskipun itu juga salah
satu alasannya. Well, saya sengaja
tak menyebutkan namanya di sini karena saya menghargai dia. Dia bukanlah orang
yang menyebalkan, tapi ada satu hal yang membuat saya tak sanggup untuk
ngobrol-ngobrol lama dengannya: bau mulut.
Bagaimana
bisa saya melanjutkan ngobrol dengannya kalau setiap kali dia bicara saya
merasa pening? Saya semakin mual membayangkan udara di dalam bis yang tak
kemana-mana karena AC. Tiba-tiba duduk dekat dengan jendela tak lagi menarik.
Kalau bisa mengulang, saya akan memilih untuk jadi orang yang memilih. Saya yang akan mendatangi teman
yang sudah duduk terlebih dulu. Saya yang akan bilang, “May I sit here?” Dengan begitu, saya yang punya kuasa untuk duduk
dengan siapa.
Dengan
memilih, pilihan saya lebih luas daripada ‘memilih untuk menerima atau menolak’.
Semoga kalimat barusan tidak terlalu memusingkan ya. Gampangnya seperti ini;
memilih yang pertama memberikan saya kebebasan untuk menentukan siapapun untuk duduk dengan saya sementara
‘memilih’ yang kedua terbatas pada orang-orang yang memilih saya untuk duduk
dengan mereka.
Dua
puluh jam untuk sebuah perjalanan adalah waktu yang lama. Ditambah duduk dengan
orang yang tidak tepat, it was painful. Bahagia
saya adalah ketika break dimana kami
semua keluar dari bis. Saya ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, dan perasaan
cerah langsung berbalik 180 derajat ketika kembali ke dalam bis.
Belajar
dari pengalaman, saya pastikan bahwa saya yang akan memilih saat pulang nanti
dari Barcelona; dan saya tahu orang seperti apa yang akan saya pilih.
James
– anggap saja itu namanya – adalah teman saya di kelas. Orangnya pintar dan somehow saya tahu duduk dengannya akan
menyenangkan. Dia berteman dekat dengan dua teman lainnya yang sudah duduk
sederet. Artinya, dia available.
Saat
kepulangan ke Wageningen sudah tiba. Saya sudah duduk di bis tingkat atas. Saya
lihat James masih mencari-cari kursi kosong.
“James, you sit with me!”
Dia
bilang iya. Jadilah saya duduk dengan dia.
Bis
baru saja meninggalkan hotel tempat kami menginap ketika saya dan James mulai
ngobrol seru. Dia lebih pintar dari yang saya tahu. Pengetahuan James luas,
mulai dari sejarah, politik, hingga seni. Dia cerita tentang Nazi, tentang
kenapa Yahudi banyak dibenci, hingga tentang sejarah perang Palestina-Israel.
Dia juga menyampaikan pendapatnya tentang Korea Utara dan prediksinya tentang arah politik negara tersebut.
Di
tengah perjalanan menuju Wageningen, kami berhenti di Museum Dali. Kembali ke
bis, dia menceritakan interpretasinya terhadap lukisan-lukisan Dali (sementara
saya tak paham sama sekali) dan menyatakan kekagumannya pada salah satu karya
Dali. James tahu tentang pelukis-pelukis yang bahkan namanya tidak familiar di
telinga saya. Dia memberi tahu bahwa Monalisa mestinya dimiliki oleh Italia,
bukannya Prancis.
James
bilang dia suka melukis. Melukis, bukan menggambar. Saya sempat berpikir dia
hanya melebih-lebihkan hingga di kemudian hari James membuktikan ucapannya
ketika kami mengikuti kursus Media Design. Dia bercerita juga tentang
pengalamannya kuliah di Amerika Serikat, juga tentang politik negara-negara
bagian di sana dan alasan kenapa Amerika Serikat harus mempertahankan model
federalnya.
Oh,
dia juga bercerita tentang buku-buku yang dia baca dan film-film yang dia
tonton. James menyebutkan beberapa film favoritnya dan bahkan menceritakan
salah satunya, termasuk twist yang
membuatnya amazed. James bersemangat
ingin menceritakan film Hannibal namun saya menolaknya karena tak suka dengan
film slasher. Kami juga berbicara
hal-hal sepele tentang alasannya tak terlalu sering update status di Facebook. James adalah seorang dosen di negaranya.
Umurnya sekitar 30-an, masih muda hingga dia merasa harus menjaga jarak dengan
mahasiswanya.
Obrolan
kami nyambung dan menyenangkan. Tak
perlulah saya jelaskan kalau saya suka dengan cerita-cerita dia. James pun
mendengarkan ketika saya bercerita dan menaruh minat pada salah satu buku yang
pernah saya baca, juga film yang saya tonton. Meskipun duduk dekat jendela,
saya jarang mengarahkan pandangan ke luar jendela. Saya bahkan tak menyentuh
buku yang saya bawa. Saya hanya menyetel iPod ketika James tertidur.
Kalau
di perjalanan menuju Barcelona saya rasakan lama, perjalanan kembali ke
Wageningen terasa cepat. James adalah teman perjalanan yang menyenangkan.
Istrinya adalah orang yang beruntung. Iya, James sudah menikah. Seperti
menunjukkan hal tersebut, James memakai cincin pernikahan di jarinya.
Duduk
dengan James berjam-jam membuat saya sadar bahwa lelaki seperti James itu ada di dunia ini. Lelaki yang membuat
saya betah duduk berlama-lama dan tak menghiraukan pemandangan di luar jendela.
James juga adalah lelaki yang membuat saya bisa bertanya apa saja yang saya
tahu jawabannya akan membuat saya tertarik untuk bertanya tentang hal lainnya.
James adalah paket combo buat saya.
Bukan, ini bukan tentang cinta-cintaan meskipun saya akui bahwa James adalah pribadi
yang menarik.
Kembali
ke awal topik tentang memilih. Saya bersyukur telah memilih James untuk duduk
di sebelah saya waktu itu. James punya hak untuk menerima atau menolak. Itu
resiko. Tapi pun itu artinya saya punya peluang
untuk duduk dengan orang yang saya anggap bisa jadi teman duduk yang
menyenangkan. Peluang. Ini adalah kata yang sama ajaibnya dengan harapan.
Kalau
saja saya tidak memilih James waktu itu, mungkin perjalanan pulang dari
Barcelona akan sama pahitnya dengan perjalanan menuju ke sana.
Lelaki
memilih namun perempuanlah yang memiliki hak untuk menerima atau menolak. Melihat
waktu yang terbatas, well.. mungkin
ini saatnya saya untuk tidak menghiraukan hal tersebut dan memilih untuk memilih.