Monday, 25 August 2014

Saatnya Memilih


Pemilu sudah lewat. Bukan, postingan ini bukan tentang pemilihan presiden. Ini tentang pilihan yang lain, juga tentang hak untuk memilih.

Lelaki memilih namun perempuanlah yang memiliki hak untuk menerima atau menolak (seseorang untuk menjadi pendampingnya). Itu seperti sesuatu yang sudah dikondisikan di masyarakat patriarkis Indonesia – kalau tidak bisa dibilang masyarakat universal. Tentu saja banyak pro kontra. Bukanlah hal baru jika ada semacam dukungan bagi perempuan supaya bisa bergerak lebih dulu; memilih lelaki untuk hidupnya ketimbang pasif menunggu. Namun, banyaknya artikel di majalah wanita yang menyoroti hal ini sebagai sebuah upaya dukungan justru menunjukkan bahwa konsep ini masih belum dianggap wajar untuk masyarakat kita. Saya tak terlalu memikirkannya – menganggapnya sesuatu yang biasa – hingga sebuah peristiwa memberikan saya kesadaran serta-merta.

April yang lalu kampus mengadakan excursion ke Barcelona naik bis. Dari total lima hari yang dijadwalkan, masa efektif di Barcelona hanya tiga hari karena dua yang lain untuk waktu tempuh perjalanan dari Wageningen ke Barcelona. Dari jadwal acara, saya tahu bahwa perjalanan ke Barcelona akan memakan waktu hingga 20 jam. DUA PULUH JAM! Mestinya itu bisa lebih cepat, namun kampus menjadwalkan istirahat di beberapa tempat yang kami lewati hingga waktu tempuhnya nyaris seharian penuh.

Saya datang mepet dengan jadwal keberangkatan. Saya merutuki diri sendiri, sebal karena kesempatan duduk di dekat jendela – spot favorit saya setiap kali naik bis atau kereta – semakin  tipis. Seandainya saja saya tahu ada hal lain yang lebih penting untuk dikhawatirkan.

Bis yang Barcelona bertingkat karena banyaknya mahasiswa yang ingin mengikuti excursion, beda dengan excursion sebelumnya ke Paris. Sementara teman-teman yang lain menyasar duduk di tingkat atas, saya duduk di bawah yang masih sepi demi bisa duduk dekat jendela.

Kursi sebelah saya masih kosong sementara waktu sudah sedikit melampaui jadwal.  Teman-teman yang saya kenal memilih duduk di atas. Serombongan mahasiswa dari kelas lain datang di akhir waktu. Seseorang di antaranya mendekat.

“May I sit here?”

Itu adalah pertanyaan retoris karena saya toh tidak bisa menolak. Saya tidak punya pilihan. Saya ada di kondisi yang mengharuskan saya untuk menerima dia duduk di sebelah saya untuk dua puluh jam mendatang. Waktunya semakin sempit. Saya tidak bisa bilang tidak. Akan lebih baik kalau orang yang duduk di sebelah saya adalah orang yang sama sekali asing. Saya tak akan punya beban untuk mengajaknya bercakap-cakap.

Lelaki yang duduk di sebelah saya ini adalah teman dari jurusan lain. Saya tak mengenalnya, bahkan tak tahu namanya, hanya paham kalau dia mahasiswa VHL juga. Kami beberapa kali berpapasan, namun tak pernah saling menyapa. Dia termasuk yang pendiam. Saya tak pernah melihatnya sedang ngobrol-ngobrol dengan teman lain.

Feeling saya bilang perjalanan ke depan akan banyak diisi dengan diam. Saya sudah menyiapkan iPod dan dua buku untuk dibaca, jadi mestinya perjalanan ke depan akan baik-baik saja.

Ugh, tapi tetap saja akan aneh kalau kami saling diam sepanjang jalan. Saya berinisiatif memulai. Saya ajukan pertanyaan basa-basi dan ketika dia menjawab, saya tahu perjalanan ke Barcelona tidak akan baik-baik saja.

Ini bukan tentang obrolan kami yang mentok tak kemana-mana, meskipun itu juga salah satu alasannya. Well, saya sengaja tak menyebutkan namanya di sini karena saya menghargai dia. Dia bukanlah orang yang menyebalkan, tapi ada satu hal yang membuat saya tak sanggup untuk ngobrol-ngobrol lama dengannya: bau mulut.

Bagaimana bisa saya melanjutkan ngobrol dengannya kalau setiap kali dia bicara saya merasa pening? Saya semakin mual membayangkan udara di dalam bis yang tak kemana-mana karena AC. Tiba-tiba duduk dekat dengan jendela tak lagi menarik. Kalau bisa mengulang, saya akan memilih untuk jadi orang yang memilih. Saya yang akan mendatangi teman yang sudah duduk terlebih dulu. Saya yang akan bilang, “May I sit here?” Dengan begitu, saya yang punya kuasa untuk duduk dengan siapa.

Dengan memilih, pilihan saya lebih luas daripada ‘memilih untuk menerima atau menolak’. Semoga kalimat barusan tidak terlalu memusingkan ya. Gampangnya seperti ini; memilih yang pertama memberikan saya kebebasan untuk menentukan siapapun untuk duduk dengan saya sementara ‘memilih’ yang kedua terbatas pada orang-orang yang memilih saya untuk duduk dengan mereka.

Dua puluh jam untuk sebuah perjalanan adalah waktu yang lama. Ditambah duduk dengan orang yang tidak tepat, it was painful. Bahagia saya adalah ketika break dimana kami semua keluar dari bis. Saya ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, dan perasaan cerah langsung berbalik 180 derajat ketika kembali ke dalam bis.

Belajar dari pengalaman, saya pastikan bahwa saya yang akan memilih saat pulang nanti dari Barcelona; dan saya tahu orang seperti apa yang akan saya pilih.

James – anggap saja itu namanya – adalah teman saya di kelas. Orangnya pintar dan somehow saya tahu duduk dengannya akan menyenangkan. Dia berteman dekat dengan dua teman lainnya yang sudah duduk sederet. Artinya, dia available.

Saat kepulangan ke Wageningen sudah tiba. Saya sudah duduk di bis tingkat atas. Saya lihat James masih mencari-cari kursi kosong.

“James, you sit with me!”

Dia bilang iya. Jadilah saya duduk dengan dia.

Bis baru saja meninggalkan hotel tempat kami menginap ketika saya dan James mulai ngobrol seru. Dia lebih pintar dari yang saya tahu. Pengetahuan James luas, mulai dari sejarah, politik, hingga seni. Dia cerita tentang Nazi, tentang kenapa Yahudi banyak dibenci, hingga tentang sejarah perang Palestina-Israel. Dia juga menyampaikan pendapatnya tentang Korea Utara dan prediksinya tentang arah politik negara tersebut.

Di tengah perjalanan menuju Wageningen, kami berhenti di Museum Dali. Kembali ke bis, dia menceritakan interpretasinya terhadap lukisan-lukisan Dali (sementara saya tak paham sama sekali) dan menyatakan kekagumannya pada salah satu karya Dali. James tahu tentang pelukis-pelukis yang bahkan namanya tidak familiar di telinga saya. Dia memberi tahu bahwa Monalisa mestinya dimiliki oleh Italia, bukannya Prancis.

James bilang dia suka melukis. Melukis, bukan menggambar. Saya sempat berpikir dia hanya melebih-lebihkan hingga di kemudian hari James membuktikan ucapannya ketika kami mengikuti kursus Media Design. Dia bercerita juga tentang pengalamannya kuliah di Amerika Serikat, juga tentang politik negara-negara bagian di sana dan alasan kenapa Amerika Serikat harus mempertahankan model federalnya.

Oh, dia juga bercerita tentang buku-buku yang dia baca dan film-film yang dia tonton. James menyebutkan beberapa film favoritnya dan bahkan menceritakan salah satunya, termasuk twist yang membuatnya amazed. James bersemangat ingin menceritakan film Hannibal namun saya menolaknya karena tak suka dengan film slasher. Kami juga berbicara hal-hal sepele tentang alasannya tak terlalu sering update status di Facebook. James adalah seorang dosen di negaranya. Umurnya sekitar 30-an, masih muda hingga dia merasa harus menjaga jarak dengan mahasiswanya.

Obrolan kami nyambung dan menyenangkan. Tak perlulah saya jelaskan kalau saya suka dengan cerita-cerita dia. James pun mendengarkan ketika saya bercerita dan menaruh minat pada salah satu buku yang pernah saya baca, juga film yang saya tonton. Meskipun duduk dekat jendela, saya jarang mengarahkan pandangan ke luar jendela. Saya bahkan tak menyentuh buku yang saya bawa. Saya hanya menyetel iPod ketika James tertidur.

Kalau di perjalanan menuju Barcelona saya rasakan lama, perjalanan kembali ke Wageningen terasa cepat. James adalah teman perjalanan yang menyenangkan. Istrinya adalah orang yang beruntung. Iya, James sudah menikah. Seperti menunjukkan hal tersebut, James memakai cincin pernikahan di jarinya.

Duduk dengan James berjam-jam membuat saya sadar bahwa lelaki seperti James itu ada di dunia ini. Lelaki yang membuat saya betah duduk berlama-lama dan tak menghiraukan pemandangan di luar jendela. James juga adalah lelaki yang membuat saya bisa bertanya apa saja yang saya tahu jawabannya akan membuat saya tertarik untuk bertanya tentang hal lainnya. James adalah paket combo buat saya. Bukan, ini bukan tentang cinta-cintaan meskipun saya akui bahwa James adalah pribadi yang menarik.

Kembali ke awal topik tentang memilih. Saya bersyukur telah memilih James untuk duduk di sebelah saya waktu itu. James punya hak untuk menerima atau menolak. Itu resiko. Tapi pun itu artinya saya punya peluang untuk duduk dengan orang yang saya anggap bisa jadi teman duduk yang menyenangkan. Peluang. Ini adalah kata yang sama ajaibnya dengan harapan.

Kalau saja saya tidak memilih James waktu itu, mungkin perjalanan pulang dari Barcelona akan sama pahitnya dengan perjalanan menuju ke sana.

Lelaki memilih namun perempuanlah yang memiliki hak untuk menerima atau menolak. Melihat waktu yang terbatas, well.. mungkin ini saatnya saya untuk tidak menghiraukan hal tersebut dan memilih untuk memilih.