Bayangkan tentang Jakarta.
Sebagian besar orang – kalau tidak bisa dibilang semua orang – setuju kalau Jakarta adalah macet. Tambahkan Senin
di Jakarta, itu ekual dengan macet parah. Masukkan variabel hujan deras
terus-menerus berakibat banjir di Jakarta pada hari Senin, hasilnya adalah chaos – macet total seperti yang
terjadi pada tanggal 9 Februari 2015 yang lalu. Dan uh, di tanggal itu pula
saya mesti tabah menjalani dampak macet dan banjir demi sebuah akad kredit.
Seperti yang saya tulis di sini, saya berniat
mengambil rumah di Citra Maja Raya besutan Ciputra Group. Dari semua bank yang
bekerjasama dengan developer, saya
tertarik dengan BII karena bisa memberikan bunga fixed 13.75% sampai 10 tahun. Tanggal 10 Desember 2014, saya mulai
mengajukan permohonan KPR ke BII.
Karena PD bakal disetujui, saya tidak mengajukan
aplikasi ke bank lain. Namun ketika sampai akhir Desember saya belum juga dapat
kabar, saya mulai deg-degan.
Akad kredit mestinya paling lambat 30 hari setelah
pelunasan DP. Itu artinya, tanggal 9 Januari 2015 harusnya saya sudah teken
dengan pihak bank. Agen developer saya, Pak Hermawan, untungnya baik. Dia
bilang deadline akad kredit saya bisa
diperpanjang, sementara dia mulai memasukkan berkas-berkas saya ke bank-bank
lainnya.
Awal Januari 2015, Bank Mandiri jadi yang pertama
menghubungi. Bunganya jauh lebih rendah dari BII, hanya 9%, namun fixed cuma dua tahun dan selebihnya floating. Kerja Bank Mandiri terbilang
cepat. Dalam tempo dua minggu, saya sudah ditelpon dua orang dari Bank Mandiri
untuk ditanya-tanya soal penghasilan, pekerjaan, dan lain-lain yang berhubungan
dengan pengajuan kredit. Marketing dari Bank Mandiri bilang kalau keputusan KPR
saya bisa dirumuskan pada akhir Januari.
Sementara saya menunggu approval dari Bank Mandiri, BII tiba-tiba menelepon lagi. Kalau
sebelumnya saya hanya terhubung dengan bagian marketing, kini saya selangkah
lebih maju karena mulai dihubungi oleh seseorang dari consumer loan executive bernama Mbak Annisa.
Mbak Annisa bilang pengajuan kredit saya bisa selesai
hanya dalam waktu dua minggu. Oh well, saya
pun menerima tawaran tersebut dan itu artinya saya mengajukan paralel ke dua
bank sekaligus. Dilihat dari waktunya, approval
dari Bank Mandiri dan BII bisa datang bersamaan. Saya memutuskan untuk
menerima bank pertama yang menurunkan Surat Penegasan Kredit (SPK).
Selama Bank Mandiri tidak memberi kabar, BII memang
terlihat gencar. Sudah dua kali saya ditelepon oleh BII selain keep in touch dengan Mbak Annisa; yang
pertama hanya verifikasi standar sementara yang kedua mulai lebih detail. Saya
bertaruh orang kedua yang menanyai saya itu pastilah sambil mencocokan data di
buku tabungan saya. Selain itu, dua kali pula orang BII melakukan survey: ke kosan
dan ke kantor saya oleh dua orang yang berbeda. Total saya berhubungan dengan
enam orang dari BII, sementara dengan Bank Mandiri hanya tiga orang tanpa
survey ke kosan ataupun kantor. Akhir Januari berlalu dan belum ada jawaban
dari dua bank tersebut.
Tanggal 3 Februari 2015, CIMB Niaga menelepon untuk
memproses aplikasi KPR saya. Rupanya Pak Hermawan juga mengirimkan berkas saya
ke CIMB Niaga. Karena belum ada keputusan dari BII atau Bank Mandiri, saya pun
kembali mengajukan kelengkapan dokumen untuk CIMB Niaga. Sorenya, Bank Mandiri
memberikan informasi kalau SPK untuk saya sudah turun. Saya minta mereka
mengirimkan SPK melalui email namun tidak juga saya terima, apalagi omongan
soal akad kredit. Saya belum bisa bilang iya kalau belum melihat SPK.
Dua hari kemudian, tanggal 5 Februari 2015, BII
mengeluarkan SPK dan mengirimkannya melalui email untuk saya. Dengan keluarnya
SPK dari BII, saya batalkan pengajuan ke Bank Mandiri dan CIMB Niaga.
Dan ya, tanggal 9 Februari 2015 dipilih untuk akad
kredit karena sudah ada kesepakatan antara developer
dengan BII. Saya menyetujui tanggal tersebut setelah meminta ijin dari
kantor. Kalau saja saya tahu hari itu adalah mimpi buruk untuk keluar kantor..
Karena Citra Maja Raya masih dalam tahap dibangun, akad
kredit dilakukan di Citra Raya Tangerang mulai jam 10.00 pagi. Senin pagi jam
07.30 saya sudah menunggu di halte bus depan f(X) setelah sebelumnya ke kantor
untuk absen pagi. Hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan reda padahal
sudah turun sejak malam sebelumnya. Saya menunggu bersama beberapa orang lain,
menyesal karena tidak memakai jaket padahal udara sedang dingin begini.
Mestinya bus Citra Raya datang jam 07.30 dan 08.00, namun hingga jam 09.00 bus belum
datang. Saya punya pilihan lain untuk naik bus Lippo Village dan turun di
Karawaci, namun bus itu juga belum nampak. Orang-orang mulai gelisah. Satu per
satu meninggalkan halte.
Mbak Annisa sempat menelepon dan menawarkan untuk
menunda akad kredit hingga Senin depan. Dia bilang dua orang debiturnya sudah
meminta untuk memundurkan jadwal. Tapi hey, saya sudah minta ijin dari kantor.
Melihat kondisi cuaca yang buruk dari Januari, belum tentu Senin depan juga
akan cerah ceria.
Jam 10-an, bus Lippo Village datang. Dari supirnya saya
tahu kalau bus itu mestinya datang jam 07.30; telat DUA SETENGAH JAM dari
jadwal karena macet total di tol. Saya naik bus itu dan rasanya ingin lompat
dari bus ketika melihat bus Citra Raya melenggang di sebelah.
Perjalanan ke Tangerang sih tidak macet, kontras dengan
arah sebaliknya yang parkir di tol. Saya sampai Karawaci jam 11 kurang,
kemudian dilanjut naik bus kecil ke Citra Raya. Jam 11.45, saya sampai di
gedung marketing Citra Raya dengan sepatu basah dan perut kosong.
Saya pikir akad kredit akan dilakukan di tempat
tertutup dengan notaris, pihak bank, dan developer.
Ternyata saya salah. Hall di
tengah gedung terdiri dari meja-meja dan masing-masing bank punya tempatnya
sendiri. Akad dilakukan di situ juga. Saya mendatangi meja BII dan mendapatkan
nomor urut 23. Orang yang sedang akad saat saya datang bernomor urut 5. Ini
lebih lama dari perkiraan saya.
Saat nomor urut melewati 10, saya baru tahu kalau saya
harus menukarkan bukti asli pembayaran DP dengan kwitansi dari Citra Maja Raya.
Saya pindah ke loket di sebelah kiri pintu masuk. Another long queue, namun kali ini saya harus berdiri di depan
loket. Orang di depan saya bermasalah
dengan kwitansinya dan saya mesti menunggu lama hingga kwitansi saya terima.
Saya kembali lagi ke tempat BII saat urutan sudah
mencapai nomor 20. Saya haus dan lapar, waktu sudah melewati jam makan siang.
Namun saya tidak bisa keluar dari gedung karena khawatir ketika nomor saya
dipanggil, saya tidak ada. Yang bisa saya lakukan hanya menunggu.
Akhirnya, nama saya dipanggil juga. Saya duduk
berhadapan dengan orang dari Ciputra Group selaku developer. Dia memberikan saya setumpuk berkas Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan menjelaskan poin-poin pentingnya. Secara
normatif, mestinya saya membaca semua poin sebelum tanda-tangan. Namun itu
tidak memungkinkan saking banyaknya. Saya bertanya tentang satu dua hal yang
saya anggap paling penting, seperti apa yang terjadi ketika serah terimanya
terlambat dari waktu yang ditentukan (serah terimanya 24 bulan dari tanggal
PPJB). Orang developer bilang kalau
pihaknya akan dikenai denda per hari. Developer
juga akan mendapat sanksi dari bank.
Setelah penandatanganan PPJB, saya bergeser ke meja
sebelah untuk tanda-tangan dengan BII. Dokumen yang harus ditandatangani sangat
banyak hingga semakin lama tanda-tangan saya semakin tak jelas bentuknya. Oya,
yang menarik, bunga di BII turun hingga hanya 12.75% untuk fixed 10 tahun - turun 1 poin dari yang sebelumnya. Alhamdulillah..
Setelah semua dokumen ditandatangani, saya menutupnya
dengan menjabat-tangan orang BII. Akad kredit sudah sah. Dan uh.. saya merasa
benar-benar jadi orang dewasa saat
itu; orang dewasa yang punya tanggung jawab lebih besar.
Sekitar jam 3, saya keluar dan mencari tempat makan.
Gerimis masih rintik. Melihat kondisi begini, saya memutuskan untuk pulang naik
kereta dari BSD. Naik bus untuk kembali ke Jakarta sama saja dengan menyiksa
diri karena banjir meluas dimana-mana.
Saya naik ojek dari Citra Raya dengan tujuan BSD karena
bus dari Citra Raya ke BSD tidak pasti jadwalnya. Akibat tidak memakai jas hujan, baju saya mulai agak basah
terpapar gerimis. Rambut saya sudah
tidak karuan karena tidak memakai helm. Beberapa kali saya menahan dingin dan
meyakinkan diri bahwa this shall pass.
Darn, ternyata BSD dari Citra
Raya itu sangat jauh. Untung ada orang yang memberi tahu kalau Stasiun Serpong
lebih dekat daripada Stasiun Rawa Buntu di BSD. Akhirnya saya turun di Stasiun
Serpong.
Tak lama, kereta datang. Dari pengeras suara, petugas
KA menginformasikan kalau kereta hanya sampai Stasiun Palmerah karena banjir
menggenangi rel kereta Stasiun Tanah Abang. Sampai Stasiun Palmerah, ada
informasi terbaru kalau kereta bisa sampai di Stasiun Tanah Abang tapi mesti
menunggu lama. Kereta tertahan setengah jam lebih sebelum melaju ke stasiun
terakhir di Tanah Abang.
Stasiun Tanah Abang sore itu super crowded. Kereta yang saya naiki adalah yang pertama sampai di sana
setelah kereta-kereta sebelumnya hanya sampai Palmerah. Untuk turun dari
gerbong saja sulit karena banyak yang merangsek naik. Sudah Maghrib ketika saya
naik ojek (lagi) dari Tanah Abang ke Kuningan.
Saya sempatkan absen sore di kantor sebentar, baru
pulang ke kosan. Rambut saya sudah lepek kena hujan. Rasanya menyenangkan
setelah saya mengganti baju setengah basah yang lebih dari tiga jam menempel di
badan dengan baju kering untuk tidur.
Hari yang panjang dan melelahkan. Saya lega karena
sudah akad kredit hari itu. And deep
down, I’m happy that I didn’t give up easily.