Awal
Desember 2015. Sebuah pesan masuk ke inbox
Facebook; dari Ai-san. Dia adalah kenalan saya saat mengikuti management training selama dua minggu di Tokyo tahun 2012. Ai-san
bilang pada Maret nanti dia akan datang ke Indonesia untuk menyaksikan gerhana
matahari total. Dia mengajak saya dan Mbak Tika – teman training juga – untuk ketemuan pada bulan itu.
Kalau
bukan karena berteman di Facebook, mungkin saya sudah lupa-lupa ingat tentang
Ai-san. Yang saya tahu, dia adalah orang yang ramah. Tapi kami tidak punya satu
memori khusus; beda dengan Wada-san dan Manami-san yang akan selalu saya ingat
karena mengajak saya jalan-jalan mulai dari Akihabara hingga Fujiyama.
Tipikal
orang Jepang yang detail dan well-planned,
Ai-san menanyakan resto lokal yang enak untuk ketemuan dan memastikan kalau
kami tidak ada acara di hari yang ditentukan. Dia juga menanyakan hal-hal lain
seperti cuaca di Jakarta pada bulan Maret, baju yang mesti dibawa, sampai
tempat-tempat wisata yang oke buat dikunjungi.
Saat
itu, Maret terasa masih sangat lama namun hari terus berganti, tahun berganti,
dan tadaa..awal Maret mulai datang! Ai-san hanya punya waktu seminggu di
Indonesia, tetapi sebagian besar akan dia habiskan di Belitung untuk mengejar
gerhana matahari. Waktu lowong dia hanya sehari.
Kecuali
dengan teman-teman dekat, saya selalu nervous
untuk sebuah meet up. Saat itu saya
berharap kalau Ai-san akan terlalu sibuk hingga membatalkan rencana ketemuan
dengan kami. Saya sempat berpikir untuk tidak available di hari itu. Toh masih ada Mbak Tika.
Setelah
bolak-balik berkirim pesan, akhirnya ditentukan kalau kami akan ketemuan di
Lotte Avenue pada hari Minggu tanggal 6 Maret pukul
18.30. Kami berencana makan malam bareng di Seribu Rasa karena Ai-san ingin
mencicipi makanan Indonesia.
H-1,
Mbak Tika mendadak tidak bisa datang. Melihat Ai-san yang antusias – terlihat
dari pesan-pesan yang dia kirimkan lewat inbox,
sepertinya saya tidak tega untuk ikut membatalkan janjian yang – mind you – sudah Ai-san pastikan dari
tiga bulan sebelumnya.
Uh well, ternyata Ai-san akan mengajak beberapa temannya juga. Kalau bertemu dengan Ai-san saja sudah
membuat saya mulas, apalagi kalau mesti bertemu teman-temannya yang lain. Bagaimana
kalau nanti awkward? Bagaimana kalau
nanti garing? Bagaimana kalau nanti saya membosankan? Saya sempat memikirkan
opsi mengajak teman saya juga, but then I
thought it was the battle with my own self that I should overcome.
Minggu
siang saya sempat ketemuan dengan besties
dan makan bubur di Ta Wan yang enak luar biasa. Kalau orang bule punya sup
ayam, saya memilih bubur Ta Wan kalau sedang sakit. Dari beberapa hari
sebelumnya saya sudah tidak enak badan, mungkin syndrom gugup karena meet up ini.
Iya, saya bisa sepayah itu.
Setelah
sholat Maghrib, saya langsung keluar kosan ke Lotte Avenue. Saya punya waktu 15
menit sebelum janjian pukul 18.30. Karena tahu betul orang Jepang itu tepat
waktu, saya mencoba untuk tidak terlambat. Darn!
Tidak ada ojek. Jadilah saya berjalan kaki ke Lotte. Itu sebenarnya tidak
masalah…
…kalau
saja tidak hujan.
WOI!!
T_T
Hujan
masih rintik ketika saya melewati Ambassador tetapi semakin deras ketika mulai
mendekati Mega Kuningan. Saya lari..lari..daaaaan lari hingga sampai di Lotte
Avenue. Rambut sudah lepek karena basah, kacamata penuh dengan air, baju terasa lembab.
18.35.
Saya
terlambat 5 menit dan di inbox Facebook,
Ai-san sudah menanyakan kabar. Dia sudah sampai sejak setengah jam sebelumnya.
Ketika
akhirnya bertemu dengan Ai-san, saya hampir-hampir tidak mengenalinya.
Rambutnya lebih panjang, dan well, itu
ternyata membuat dia terlihat berbeda.
Saya
minta maaf karena terlambat dan Ai-san langsung mengajak saya menemui
teman-temannya; mereka sudah menunggu di Starbucks. Langkah saya semakin pelan
melihat mereka duduk bergerombolan. Total ada enam orang yang Ai-san ajak.
ENAM.
ORANG.
Saya
ingin pulang ke kosan dan membaca Miiko sambil tiduran.
Alih-alih,
saya behave dan menyalami mereka satu
per satu. Ai-san memperkenalkan masing-masing orang; mulai dari yang terlihat
paling senior (kepala observatorium) sampai anak kecil yang paling imut dengan
pipi merah bernama Taiyo. Selain mereka, ada pula fotografer, juru kamera, dan
kru TV lainnya. Taiyo sendiri adalah semacam duta anak untuk memperkenalkan
budaya Jepang kepada anak-anak Indonesia.
Ai-san
bilang rombongannya tidak bisa berbahasa Inggris, kecuali Taiyo. Itu pun
sedikit-sedikit. Tugas Ai-san dalam ekspedisi memburu gerhana matahari adalah
sebagai penerjemah dari Jepang ke Inggris, dan sebaliknya.
Dari
Starbucks, kami naik ke lantai 3F menuju Seribu Rasa. Saya ngobrol dengan
Ai-san.
“Taiyo means..sun, right?”
“Yes, how do you know?”
Saya
mau bilang kalau saya tahu dari Bukiyou
Taiyou-nya SKE dan Boku no Taiyou-nya
AKB, tapi saya urungkan.
Sampai
di Seribu Rasa, kami mulai memesan makanan. Ai-san banyak bertanya tentang
makanan Indonesia, dan dia juga menerjemahkan pertanyaan dari teman-temannya. Semakin
lokal, dia semakin suka. Salah satu yang saya pilihkan adalah sayur daun
singkong karena itu Indonesia banget. Kata Ai-san, itu enak.
Saya
pikir makan malam kami akan menjadi super
awkward karena obrolan yang terbatas.
Well, saya salah. Teman-teman
Ai-san ngobrol sendiri-sendiri dan saya terus ngobrol dengan Ai-san karena cuma
dia yang bisa Bahasa Inggris; dan karena dia menyenangkan dan membuat nyaman.
Serius. Kami cerita banyak hal, mulai dari update
pekerjaan masing-masing (tipikal Jepang), jadwal dia selama di Belitung, Kawabata
Yasunari, Gunung Fuji, sampai ngobrol soal teman-teman training dulu. Ini pertama kalinya dia ke Indonesia dan dia belum
menemukan hal yang bisa dikomplain.
Ai-san
ternyata membawa oleh-oleh dari Jepang. Saya seriusan lupa kalau orang Jepang
suka memberi kado.
“You can open it now,” katanya.
Saya
buka dan ada tumbler Starbucks di dalamnya. Khas Kyoto. Duh, saya sukaaaa! Ada
juga permen manis bermotif sakura dan bunganya. Rasanya saya tidak tega
memakannya karena terlalu imut. Ai-san juga membawa kado serupa untuk Mbak Tika
yang dititipkannya pada saya.
Taiyo
sempat mempertontonkan tarian Jepang (mirip wotagei)
dan Ai-san bilang kalau Taiyo bercita-cita ingin jadi aktor. Dan..ehmm..Taiyo
juga suka dengan idol group. You know
who. Anyway, ketika saya tanya pendapat Ai-san tentang AKB, dia menjawab
diplomatis begini, “Well..they’re just
idols.”
Ookay…
Saya
perhatikan, Ai-san kadang memanggil Taiyo dengan sebutan Taiyo-kun, tapi pernah
juga dia memanggil Taiyo-chan. Setahu saya, –kun adalah panggilan untuk anak lelaki dan –chan untuk
anak perempuan atau untuk anak laki-laki yang masih kecil seperti Shinnosuke
Nohara aka Shinchan. Kata Ai-san, normalnya dia akan memanggil Taiyo dengan
Taiyo-kun, tapi kalau dia ingin meminta tolong - misalnya, dia akan membuatnya
terdengar lebih imut dengan memanggilnya Taiyo-chan. Saya jadi memperhatikan
penggunaan dua sufiks tadi. Ini yang saya ingat.
“Taiyo-kun, how old are you?”
“Taiyo-chaaaan, please pass me
the food..”
Noted.
Ai-san
tinggal di prefecture Miyazaki. Jauh di selatan sana. Dekat dengan Sashihara
Rino di HKT.
“Come visit me when you’re in
Japan. Stay at my place so you don’t need to spend money for hotel. I’ll take
you to onshen; we have nice one near my house.”
I know she’s just being nice tapi itu saja sudah
bikin bahagia. Kalau dia tinggal dekat Tokyo, mungkin saya akan usahakan mampir
untuk hang out makan monjayaki bareng.
Kami
sempat foto-foto beberapa kali sebelum makan malam usai – yang ditraktir oleh
Kepala Observatorium. Oya, bapak ini sempat bingung saat saya hanya memilih air
mineral untuk minum. Dia bilang di Jepang kalaupun ada yang pesan air mineral,
mereka pasti pesan minuman lainnya juga seperti jus. Tapi karena saya
menghindari kekenyangan, saya hanya pesan air mineral saja.
Selesai
makan, kami turun menuju lobi. Saat menggunakan eskalator, tanpa komando mereka
langsung berdiri satu-satu di baris kiri. Ai-san lalu menjelaskan beda norma
eskalator di Tokyo dan Osaka. Di Tokyo, kita harus berdiri di sebelah kiri
sementara Osaka di sebelah kanan. Dia juga menjelasakan tentang asal-muasal
aturan itu. Menarik!
Ai-san
memesan tiga taksi untuk membawa mereka kembali ke hotel. Setelah dadah-dadah
dan melihat taksi mereka meninggalkan Lotte Avenue, saya pun berjalan pulang ke
kosan.
Kami
hanya bertemu sekitar dua jam tetapi ada banyak insights yang saya dapatkan. Mungkin karena saya sedang tertarik
lagi dengan jejepangan, jadi saya perhatikan setiap detailnya; baik yang subtle ataupun tidak. Dan serius,
ngobrol dengan Ai-san itu menyenangkan. She
was interested with what I said, and I was too with what she said. She paid
attention and answered my question with great details. My English is far from
perfect, but talking to her made me forget about the language barriers. It was
so easy I didn’t put much efforts. It was that easy like I talked with a
long-lost friend, not just a casual acquaintance I’ve just met after years.
Meeting up with new people is
like a battle with my own self that I should overcome. And you know what, I think I won
the battle that night.