Sunday, 7 January 2018

Melawan Takut


Pencapaian terbesar saya di tahun 2017 adalah menonton JKT48 di teater.

…..

Sebentar, ijinkan saya menjelaskan. Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, saya akan mengulang memori ke tanggal 28 Desember 2016 – setahun sebelumnya – saat saya menonton pertunjukan BELIEVE dari Team KIII.

Menjelang akhir 2016, saya merasakan ada yang aneh dengan diri saya. Badan sering tiba-tiba limbung, dada berdebar-debar tanpa sebab. Well, ketika saya coba runut ke belakang, perasaan tidak nyaman itu terjadi persis sebelum saya travelling ke Jepang pada September 2016. Mungkin karena stres memikirkan jalan-jalan sendirian, mungkin karena ada shifting pekerjaan di kantor yang mengubah banyak hal. I didn’t know what exactly happened with myself, tapi saya merasa tidak aman, tidak nyaman, dan untuk pertama kalinya, I felt like losing control of myself. 

Perasaan tidak nyaman itu fluktuatif. Kadang saya merasa baik-baik saja tetapi tetiba seperti ada gelombang yang membuat saya ingin kabur dari tempat dimana saya berada. Hanya dua tempat yang membuat saya merasa aman: kubikel kantor dan kamar kosan.

Saya coba mencari penyebab rasa restless ini dan berpikir mungkin ini karena tensi darah saya yang rendah. Karena tensi rendah, otomatis jadi gampang kliyengan, dan sebagai akibatnya, saya tidak ingin melakukan apapun kecuali duduk dan melakukan sesuatu yang ada dalam kontrol saya. Sungguh sebuah pemikiran yang sotoy. Untuk membuat saya bersemangat lagi, saya minum kopi lebih banyak. Selama ini saya bersahabat baik dengan kopi, dan kopi selalu mampu membuat saya feel good. Semakin saya stres, semakin sering saya minum kopi. Kelak saya akan tahu itu adalah salah satu kebodohan yang saya sesali.

Menghibur diri menjelang akhir tahun 2016, saya apply undian tiket pertunjukan teater JKT48. Waktu itu Naomi kembali jadi member Team KIII dan setlist BELIEVE punya lagu-lagu asik yang familiar di telinga saya. Saya harus nonton!

Pulang dari kantor, saya langsung pesan GoJek ke fX. Mendekati fX, jalanan semakin macet dan saya tak punya waktu untuk merutuki kemacetan karena gelombang panik tiba-tiba menyergap. Saya hampir memilih untuk putar balik, tapi saya pikir, saya harus menang melawan takut. Kalau saya kalah, keadaan akan jadi lebih berat di depan.

Saya turun di halte Gelora Bung Karno untuk memotong kemacetan. Harusnya setelah itu sangat mudah, saya tinggal menyeberang jembatan busway dan ke fX seperti biasanya. Tapi sore itu tidak seperti biasanya. Dada saya seperti ditindih beban berat dan tangan saya gemetaran. Saya bahkan tak tahu apa penyebabnya!

Menenangkan diri, saya duduk di kursi dekat halte. Saya sempat berpikir kalau saya kena serangan jantung. Tapi masa iya, baru-baru ini kantor mengadakan tes kesehatan jantung di kantor dan hasil tes saya baik-baik saja. Otak saya mulai membuat puluhan skenario, dan sayangnya, nyaris semuanya skenario terburuk yang mengambang di permukaan.

Menyeberang jembatan adalah hal yang tak pernah saya lakukan sambil berpikir sebelumnya, itu adalah hal yang otomatis. Alamiah. Tapi saat itu, hal simpel yang ratusan kali saya lakukan berubah menjadi hal yang sangat…sangat sulit.

Saya memberanikan diri menyeberangi jembatan dengan badan gemetaran dan pada satu titik saya takut kehilangan kesadaran. Ini adalah ketakutan yang irasional, saya tahu, tapi saya sungguh-sungguh tidak berdaya. Melewati jembatan dengan menahan tangis, otak saya kembali berteriak ingin pulang ke kosan, ke tempat dimana saya merasa paling nyaman di Jakarta. Seperti ada bendera merah menyala-nyala tanda bahaya padahal semuanya normal-normal saja di sekitar.

Saya belum mau kalah.

Meski berjalan seperti siput, saya tetap ke fX, membeli tiket, sholat maghrib, dan mengantri bingo.  Di teater saya duduk agak belakang, di deretan kursi hijau yang berbatasan dengan kursi biru. Persis menghadap tengah panggung. Saya pikir, ketika melihat member keluar dan mulai menyanyi, ketakutan irasional saya akan hilang dan semua kembali baik-baik saja.

Salah total.

Alih-alih gembira mendengarkan lagu-lagu ceria, saya kembali merasakan deg-degan yang menakutkan. Saya tahu mana deg-degan karena senang, karena nervous, tapi malam itu terasa tidak wajar. Pikiran-pikiran buruk saya tidak banyak membantu. Suasana gelap dengan cahaya lampu sorot warna-warni, suara riuh para wota, dan musik yang disetel kencang membuat saya tak sanggup lagi melawan perasaan takut yang aneh ini. Saya menyerah di lagu ketiga.

Malam itu, saya pulang dan mengaku kalah.

Di taksi, kegelisahan saya berkurang dan hilang sepenuhnya saat saya sampai di kosan.

Setelah melalu proses yang panjang (dan awalnya membingungkan), saya tahu kalau yang saya alami mungkin adalah anxiety attack. Serangan kecemasan yang tiba-tiba dan berlebihan. Sepanjang 2017 saya berulang kali mencoba berdamai dengan diri sendiri, meski sulit. Saya sempat ingin ke psikolog/psikiater, tetapi saya merasa harus bisa menyelesaikannya sendirian. I think I can help and support myself, like I always do.

Saya merunut kemungkinan penyebabnya – stres karena banyak hal – dan mencoba untuk being present supaya fokusnya bisa ke luar, tidak melulu ke dalam dengan pikiran-pikiran buruk. Saya juga mengurangi kopi secara drastis menjadi hanya tiga kali dalam setahun.

Banyak hal yang tidak bisa saya nikmati karena anxiety ini: mulai dari makan bareng di mall (atau tempat manapun yang ramai), nonton bioskop, mengikuti acara-acara lucu seperti The Wolrd of Ghibli Jakarta, dan juga…nonton JKT48 di teater.

Setelah hampir setahun, saya pikir saya lebih bisa mengendalikan ketakutan dan kecemasan irasional ini. Untuk itu, saya ingin menutup 2017 yang lalu dengan mengalahkan ketakutan terbesar saya: nonton teater JKT48 di fX.

Pagi-pagi saya beli tiket dengan semangat, kemudian menciut ketika sore tiba tanggal 15 Desember 2017. Jumat sore jam pulang kantor, jalanan Jakarta berubah jadi lautan cendol yang dipenuhi helm-helm berwarna hijau. Meskipun jauuuuh lebih baik mengelola perasaan cemas, saat melewati Plasa Semanggi saya nyaris membatalkan rencana itu. Dada terasa dingin…dan saya tak sulit mengenali gelombang cemas yang kini terasa lebih familiar.

Setahun rasanya tak berubah banyak. Saya seperti melihat diri saya yang duduk di kursi panjang dekat halte, setengah mati melawan cemas. Saya praktekan semua yang saya tahu dan pelajari setahun ini: mengatur pernapasan, berfokus pada keadaan sekitar, dan berteriak pada otak bahwa tidak ada alarm bahaya yang perlu dinyalakan. Bahwa semua baik-baik saja. Bahwa kalau pun benar ada bahaya, akan selalu ada orang baik yang akan menolong. Akan selalu ada orang baik itu.

Saya melewati jembatan dengan langkah lebih ringan; tidak terjadi apa-apa. Saya berjalan ke fX senormal mungkin, mengingat setahun lalu saya berjalan dengan sangat lambat dan setiap langkah nyaris dipaksakan.

Saya menukar tiket tanpa ada hambatan, sholat Maghrib setelah mengantri lama, dan saat itu saya tersadar satu hal: kecemasan saya setahun lalu dipicu oleh stimulus berlebihan dari luar. Saya tak punya waktu untuk hening sejenak. Mulai dari perjalanan yang macet, sholat di mushola yang penuh, dan nonton teater persis di tengah-tengah ratusan orang lainnya. It was overwhelming, indeed. Ditambah, saya ingat siang sebelumnya saya minum kopi.

Ending cerita ini bisa sama andaikan saya sama persis mengulang kejadian tahun lalu. Ingin membuat akhir cerita yang berbeda, dari mushola saya langsung naik ke atas, duduk sendirian di foodcourt yang sepi. Itu adalah momen yang menenangkan meskipun sejenak. Saya merasa baterai energi saya kembali diisi ulang. Saat akhirnya masuk teater, saya pilih kursi paling pinggir dekat pintu keluar. Kalau-kalau ingin kabur, saya punya escape plan yang sempurna!

Semuanya terasa baik-baik saja, saya merasa sepenuhnya dapat mengendalikan diri sendiri. Ketika kageana dibacakan, saya begitu marah dan kesal pada diri sendiri karena takluk pada anxiety attack selama setahun ini. Sedemikian kesalnya hingga saya hampir menangis. Begitu banyak hal yang terlewatkan. Panggung teater kini berbentuk U dan terlihat lebih enak dipandang. Ketika overture khas JKT48 diserukan, saya menahan diri untuk tidak menangis. Tidak. Belum. Ini baru permulaan. Perjalanan dua jam ke depan masih sangat panjang.

Karena tahun sebelumnya saya pulang setelah lagu Ponytail to Shushu, kali ini saya berjanji akan pulang satu lagu setelah Ponytail to Shushu. Setidaknya lebih baik dari saat terakhir saya ke teater. Setiap kali satu lagu selesai, saya ucapkan pada diri sendiri: satu lagu lagi. Begitu terus. Satu lagu lagi… Satu lagu lagi… Satu lagu lagi…hingga akhirnya lagu terakhir dinyanyikan dan member memberi ucapan salam perpisahan tangan sambil  melambaikan tangan.

Rasanya sungguh-sungguh melegakan. Seperti ada hal yang akhirnya terselesaikan, seperti ada lubang di hati yang kembali terisi.

Pencapaian terbesar saya di tahun 2017 adalah menonton JKT48 di teater. Buat sebagian besar orang, itu mungkin hal yang biasa. Tapi buat saya, itu adalah kemenangan melawan takut. Kemenangan melawan pikiran buruk. Kemenangan melawan diri sendiri. And that was priceless.