Pencapaian terbesar saya di tahun 2017 adalah menonton JKT48 di teater.
…..
Sebentar, ijinkan saya menjelaskan.
Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, saya akan mengulang memori ke tanggal
28 Desember 2016 – setahun sebelumnya – saat saya menonton pertunjukan BELIEVE
dari Team KIII.
Menjelang akhir 2016, saya merasakan
ada yang aneh dengan diri saya. Badan sering tiba-tiba limbung, dada
berdebar-debar tanpa sebab. Well, ketika
saya coba runut ke belakang, perasaan tidak nyaman itu terjadi persis sebelum
saya travelling ke Jepang pada September 2016. Mungkin karena stres memikirkan
jalan-jalan sendirian, mungkin karena ada shifting
pekerjaan di kantor yang mengubah banyak hal. I didn’t know what exactly happened with myself, tapi saya merasa
tidak aman, tidak nyaman, dan untuk pertama kalinya, I felt like losing control of myself.
Perasaan tidak nyaman itu fluktuatif.
Kadang saya merasa baik-baik saja tetapi tetiba seperti ada gelombang yang
membuat saya ingin kabur dari tempat dimana saya berada. Hanya dua tempat yang
membuat saya merasa aman: kubikel kantor dan kamar kosan.
Saya coba mencari penyebab rasa restless ini dan berpikir mungkin ini
karena tensi darah saya yang rendah. Karena tensi rendah, otomatis jadi gampang
kliyengan, dan sebagai akibatnya, saya tidak ingin melakukan apapun kecuali
duduk dan melakukan sesuatu yang ada dalam kontrol saya. Sungguh sebuah pemikiran
yang sotoy. Untuk membuat saya bersemangat lagi, saya minum kopi lebih banyak. Selama
ini saya bersahabat baik dengan kopi, dan kopi selalu mampu membuat saya feel good. Semakin saya stres, semakin
sering saya minum kopi. Kelak saya akan tahu itu adalah salah satu kebodohan
yang saya sesali.
Menghibur diri menjelang akhir tahun
2016, saya apply undian tiket
pertunjukan teater JKT48. Waktu itu Naomi kembali jadi member Team KIII dan
setlist BELIEVE punya lagu-lagu asik yang familiar di telinga saya. Saya harus
nonton!
Pulang dari kantor, saya langsung pesan
GoJek ke fX. Mendekati fX, jalanan semakin macet dan saya tak punya waktu untuk
merutuki kemacetan karena gelombang panik tiba-tiba menyergap. Saya hampir
memilih untuk putar balik, tapi saya pikir, saya harus menang melawan takut.
Kalau saya kalah, keadaan akan jadi lebih berat di depan.
Saya turun di halte Gelora Bung Karno untuk
memotong kemacetan. Harusnya setelah itu sangat mudah, saya tinggal menyeberang
jembatan busway dan ke fX seperti biasanya. Tapi sore itu tidak seperti
biasanya. Dada saya seperti ditindih beban berat dan tangan saya gemetaran.
Saya bahkan tak tahu apa penyebabnya!
Menenangkan diri, saya duduk di kursi
dekat halte. Saya sempat berpikir kalau saya kena serangan jantung. Tapi masa
iya, baru-baru ini kantor mengadakan tes kesehatan jantung di kantor dan hasil
tes saya baik-baik saja. Otak saya mulai membuat puluhan skenario, dan
sayangnya, nyaris semuanya skenario terburuk yang mengambang di permukaan.
Menyeberang jembatan adalah hal yang
tak pernah saya lakukan sambil berpikir sebelumnya, itu adalah hal yang
otomatis. Alamiah. Tapi saat itu, hal simpel yang ratusan kali saya lakukan
berubah menjadi hal yang sangat…sangat
sulit.
Saya memberanikan diri menyeberangi
jembatan dengan badan gemetaran dan pada satu titik saya takut kehilangan
kesadaran. Ini adalah ketakutan yang irasional, saya tahu, tapi saya
sungguh-sungguh tidak berdaya. Melewati jembatan dengan menahan tangis, otak
saya kembali berteriak ingin pulang ke kosan, ke tempat dimana saya merasa
paling nyaman di Jakarta. Seperti ada bendera merah menyala-nyala tanda bahaya
padahal semuanya normal-normal saja di sekitar.
Saya belum mau kalah.
Meski berjalan seperti siput, saya
tetap ke fX, membeli tiket, sholat maghrib, dan mengantri bingo. Di teater saya duduk agak belakang, di deretan
kursi hijau yang berbatasan dengan kursi biru. Persis menghadap tengah
panggung. Saya pikir, ketika melihat member keluar dan mulai menyanyi,
ketakutan irasional saya akan hilang dan semua kembali baik-baik saja.
Salah total.
Alih-alih gembira mendengarkan
lagu-lagu ceria, saya kembali merasakan deg-degan yang menakutkan. Saya tahu
mana deg-degan karena senang, karena nervous, tapi malam itu terasa tidak wajar.
Pikiran-pikiran buruk saya tidak banyak membantu. Suasana gelap dengan cahaya
lampu sorot warna-warni, suara riuh para wota, dan musik yang disetel kencang
membuat saya tak sanggup lagi melawan perasaan takut yang aneh ini. Saya
menyerah di lagu ketiga.
Malam itu, saya pulang dan mengaku
kalah.
Di taksi, kegelisahan saya berkurang
dan hilang sepenuhnya saat saya sampai di kosan.
Setelah melalu proses yang panjang (dan
awalnya membingungkan), saya tahu kalau yang saya alami mungkin adalah anxiety attack. Serangan kecemasan yang
tiba-tiba dan berlebihan. Sepanjang 2017 saya berulang kali mencoba berdamai
dengan diri sendiri, meski sulit. Saya sempat ingin ke psikolog/psikiater,
tetapi saya merasa harus bisa menyelesaikannya sendirian. I think I can help and support myself, like I always do.
Saya merunut kemungkinan penyebabnya –
stres karena banyak hal – dan mencoba untuk being
present supaya fokusnya bisa ke luar, tidak melulu ke dalam dengan
pikiran-pikiran buruk. Saya juga mengurangi kopi secara drastis menjadi hanya
tiga kali dalam setahun.
Banyak hal yang tidak bisa saya nikmati
karena anxiety ini: mulai dari makan
bareng di mall (atau tempat manapun yang ramai), nonton bioskop, mengikuti
acara-acara lucu seperti The Wolrd of Ghibli Jakarta, dan juga…nonton JKT48 di
teater.
Setelah hampir setahun, saya pikir saya
lebih bisa mengendalikan ketakutan dan kecemasan irasional ini. Untuk itu, saya
ingin menutup 2017 yang lalu dengan mengalahkan ketakutan terbesar saya: nonton
teater JKT48 di fX.
Pagi-pagi saya beli tiket dengan
semangat, kemudian menciut ketika sore tiba tanggal 15 Desember 2017. Jumat
sore jam pulang kantor, jalanan Jakarta berubah jadi lautan cendol yang
dipenuhi helm-helm berwarna hijau. Meskipun jauuuuh lebih baik mengelola
perasaan cemas, saat melewati Plasa Semanggi saya nyaris membatalkan rencana
itu. Dada terasa dingin…dan saya tak sulit mengenali gelombang cemas yang kini
terasa lebih familiar.
Setahun rasanya tak berubah banyak.
Saya seperti melihat diri saya yang duduk di kursi panjang dekat halte,
setengah mati melawan cemas. Saya praktekan semua yang saya tahu dan pelajari
setahun ini: mengatur pernapasan, berfokus pada keadaan sekitar, dan berteriak
pada otak bahwa tidak ada alarm bahaya yang perlu dinyalakan. Bahwa semua
baik-baik saja. Bahwa kalau pun benar ada bahaya, akan selalu ada orang baik
yang akan menolong. Akan selalu ada orang baik itu.
Saya melewati jembatan dengan langkah
lebih ringan; tidak terjadi apa-apa. Saya berjalan ke fX senormal mungkin,
mengingat setahun lalu saya berjalan dengan sangat lambat dan setiap langkah
nyaris dipaksakan.
Saya menukar tiket tanpa ada hambatan,
sholat Maghrib setelah mengantri lama, dan saat itu saya tersadar satu hal: kecemasan
saya setahun lalu dipicu oleh stimulus berlebihan dari luar. Saya tak punya
waktu untuk hening sejenak. Mulai dari perjalanan yang macet, sholat di mushola
yang penuh, dan nonton teater persis di tengah-tengah ratusan orang lainnya. It was overwhelming, indeed. Ditambah, saya
ingat siang sebelumnya saya minum kopi.
Ending cerita ini bisa sama andaikan saya sama persis
mengulang kejadian tahun lalu. Ingin membuat akhir cerita yang berbeda, dari
mushola saya langsung naik ke atas, duduk sendirian di foodcourt yang sepi. Itu
adalah momen yang menenangkan meskipun sejenak. Saya merasa baterai energi saya
kembali diisi ulang. Saat akhirnya masuk teater, saya pilih kursi paling
pinggir dekat pintu keluar. Kalau-kalau ingin kabur, saya punya escape plan yang sempurna!
Semuanya terasa baik-baik saja, saya
merasa sepenuhnya dapat mengendalikan diri sendiri. Ketika kageana dibacakan, saya begitu marah dan kesal pada diri sendiri
karena takluk pada anxiety attack selama
setahun ini. Sedemikian kesalnya hingga saya hampir menangis. Begitu banyak hal
yang terlewatkan. Panggung teater kini berbentuk U dan terlihat lebih enak
dipandang. Ketika overture khas JKT48 diserukan, saya menahan diri untuk tidak
menangis. Tidak. Belum. Ini baru permulaan. Perjalanan dua jam ke depan masih
sangat panjang.
Karena tahun sebelumnya saya pulang
setelah lagu Ponytail to Shushu, kali ini saya berjanji akan pulang satu lagu
setelah Ponytail to Shushu. Setidaknya lebih baik dari saat terakhir saya ke
teater. Setiap kali satu lagu selesai, saya ucapkan pada diri sendiri: satu
lagu lagi. Begitu terus. Satu lagu lagi… Satu lagu lagi… Satu lagu lagi…hingga
akhirnya lagu terakhir dinyanyikan dan member memberi ucapan salam perpisahan
tangan sambil melambaikan tangan.
Rasanya sungguh-sungguh melegakan.
Seperti ada hal yang akhirnya terselesaikan, seperti ada lubang di hati yang
kembali terisi.
Pencapaian terbesar saya di tahun 2017
adalah menonton JKT48 di teater. Buat sebagian besar orang, itu mungkin hal
yang biasa. Tapi buat saya, itu adalah kemenangan melawan takut. Kemenangan
melawan pikiran buruk. Kemenangan melawan diri sendiri. And that was priceless.