Ketika sedang jalan-jalan di Eropa, kebab adalah makanan yang paling sering saya cari. Selain karena hampir selalu halal (ada juga kebab yang tidak halal lho), makanan ini juga praktis dan lengkap dengan kombinasi karbohidrat, sayur, dan daging. Saya sudah mencicipi kebab di Inggris, Spanyol, Prancis, Belgia, Jerman, Swiss, Norwegia hingga Italia, tapi belum ada yang mengalahkan enaknya kebab di Wageningen, Belanda.
Wageningen adalah kota kecil yang pernah saya sebut rumah. Saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi master di sana pada 2013-2014. Meskipun sering memasak untuk mengirit pengeluaran, ada saatnya ketika saya ingin jajan dan kebab seringkali jadi pilihan.
Ada beberapa kedai kebab di Wageningen, tapi favorit saya terletak persis di samping kanan Grote Kerk (gereja besar), Wageningen centrum. Mudah menemukan kedai ini di antara tempat makan lainnya yang mengelilingi gereja. Papan namanya bertuliskan ‘Turks Eethuis Ilayda’. Di bawahnya ada kaca lebar dengan tulisan ‘Ilayda’ serta nomor telepon. Dari balik kaca itu, kita bisa mengintip isi dapurnya, termasuk saat pelayannya sedang mengiris tipis daging yang disusun vertikal dari alat pemanggang. Ketika hari sedang cerah, kursi-kursi ditaruh di depan kedai supaya pengunjung bisa menyantap kebab sambil menikmati udara segar atau hangatnya matahari.
Ilayda menyediakan durum kebab yang mana sayur dan dagingnya dibalut dengan kulit tortilla. Saya lebih menyukai itu dibanding kebab dengan gaya sandwich yang menggunakan roti. Saya ingat kebab dari Ilayda adalah comfort food ketika saya sedang butuh semangat dan lucunya, kebab ini juga yang saya nikmati ketika sedang ingin merayakan sesuatu sesederhana akhir pekan. Entah apa yang membuat kebab ini begitu istimewa buat saya; mungkin rasa segar sayurannya, mungkin sausnya yang juara, mungkin dagingnya yang melimpah, mungkin aromanya yang memikat, atau mungkin karena perpaduan keempatnya.
Pada akhir 2014 ketika kembali ke Indonesia, tak terhitung berapa kali momen saya kangen kebab Ilayda. Di Jakarta ada kebab yang rasanya mirip dengan Ilayda, tapi belum ada yang menyamai rasa enaknya. Itulah sebabnya ketika lima tahun kemudian, Oktober 2019, saya kembali ke Eropa untuk jalan-jalan, makan kebab Ilayda saya sisipkan ke dalam jadwal.
Perjalanan saya kali ini ditemani Mbak Tami dan Mita. Kami membagi dua minggu di Eropa ke Belanda, Prancis, Spanyol, Austria, dan Jerman. Praktis satu negara hanya bisa disinggahi dua hingga tiga hari, itu pun kadang terbagi lagi ke beberapa kota. Beruntung Wageningen bisa masuk ke itinerary kami meski tak seharian penuh. Kedua teman baik saya itu rupanya ingin melihat kampus dulu saya belajar, plus penasaran dengan rekomendasi saya soal kebab Ilayda.
Dari homestay di Dijkgraafplein, kami naik tram 17 sampai di Amsterdam Centraal. Dari sana, kami naik kereta Intercity satu jam hingga sampai Stasiun Ede-Wageningen. Perjalanan masih dilanjut naik bus 86 untuk sampai di kampus Wageningen.
Sepanjang perjalanan, memori yang tersimpan lima tahun muncul berbarengan. Saya mengenali hamparan hijau ladang, jalur khusus pesepeda, dan rumah-rumah yang terasa sama. Tapi ada juga yang berubah: bioskop Pathe kini jadi CineMec, Campus Plaza sudah selesai dibangun, dan bahkan pemberhentian bus kini lebih dekat dari gedung Forum. Kami juga sempat melewati flat mahasiswa di Bornsesteeg 1. Saya reflek mendongak ke atas, membayangkan kamar saya dulu di lantai 20.
Menjelang siang, kami naik bus ke Wageningen Centrum. Saya sudah tak sabar makan kebab! Saya sudah merencanakan akan beli satu untuk dimakan di tempat, lalu mungkin akan membawa pulang satu lagi. Saya sudah siap kangen-kangenan dengan kebab kesayangan.
Dari halte, kami berjalan kaki menyusuri jalanan utama centrum dengan toko di kiri-kanannya. Suasana terasa lengang, belum banyak orang lalu-lalang. Saya mengingat-ingat toko yang dulu ada, dan mana yang sudah berganti. Kemudian nampaklah Grote Kerk di sebelah kiri dengan puncaknya yang menjulang. Gereja tua ini didominasi warna oranye bata dan memiliki jam di puncaknya.
Dengan jarak semakin dekat, saya melihat Ilayda dengan perasaan tak enak. Kursi-kursi masih tertumpuk menjadi dua baris. Tirai putih masih menutup kaca lebar, sementara pintu tertutup rapat. Kaki saya melangkah semakin cepat untuk memastikan apa yang saya khawatirkan. Dan ternyata benar, Ilayda masih tutup dan baru buka pukul 3 sore. Padahal kami sudah ada agenda lain untuk sore hari. Dan rasanya agak egois kalau saya memaksa untuk tetap tinggal sampai sore padahal kami sudah janjian untuk mengunjungi tempat lain.
Samar-samar saya mendengar ada suara retak dan menyadari itu ternyata hati saya huhu… Sudah lima tahun saya menunggu momen ini, tapi sepertinya saya harus menahan kangen lebih lama.
Saya mengingat-ingat rasanya dulu Ilayda buka lebih awal. Lain kali saya akan pastikan jam buka sebuah resto/kedai kalau ingin makan di sana. Mengandalkan ingatan saja rupanya tidak cukup. Padahal kalau sebelumnya saya mau sebentaaar saja mengecek di website Ilayda, mungkin itinerary bisa diubah dan saya bisa menikmati kebab paling enak di Wageningen.
Atau mungkin saya
memang harus menunggu lima tahun lagi?