Wednesday 8 February 2012

New Year’s Concert with The Soloist of Symphonia Vienna

Jernih denting harpa memenuhi ruangan. Seorang pria muda – rapi, berjas hitam – memetik dawai harpanya, membawakan Legende dari Henriette Renie. Sesekali matanya terpejam, ikut menikmati alunan musik yang ia ciptakan lewat jari-jemarinya. Ketika getar petikan terakhir mengakhiri penampilan solonya, tepuk tangan riuh bergema. Sang Harpist berdiri, tersenyum, mengucapkan terima kasih pada para penikmat musik klasik di hadapannya. Ia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang tampil memainkan instrumen musik dalam acara New Year’s Concert with The Soloist of Symphonia Vienna.

 Aula Simfonia

Penampilan Harpist Rama Widi tadi ada pada urutan nomor dua, setelah Carmen Quadrille dari Eduard Strauss dimainkan seluruh musisi dalam acara yang digelar di Aula Simfonia Jakarta, 14 Januari kemarin. Saya menonton bersama dua orang teman. Kami duduk di baris nomor dua dari depan. Ring a bell, eh? Saya bisa berpuas-puas melihat musisi yang ganteng-ganteng (salah satunya ada yang mirip Josh Groban!) dan berpuas-puas mendengarkan masterpiece dari dewa musik klasik macam Mozart dimainkan.

 Langit-langit

Sayangnya, penonton tidak diijinkan memotret atau merekam selama pertunjukan berlangsung. Ada seorang ibu yang nekat memotret. Dia langsung ‘ditembak’ dengan sinar laser sampai si ibu menyadari tingkahnya diperhatikan panitia yang mengawasi penonton nakal.

Saya masih terbilang baru dalam menikmati musik klasik. Terima kasih kepada soprano popera Hayley Westenra yang membuat telinga saya tak asing-asing amat dengan jenis musik itu. Pertunjukan New Year’s Concert ini lebih menonjolkan kemampuan musisi secara individu, beda dengan orkestra kamar dari Jerman yang pernah saya nikmati. Karena konsep ini, saya jadi bisa ‘kenal’ dengan instrumen musik satu per satu, tak cuma sekedar tahu instrumen ini termasuk jenis alat musik tiup, pukul, gesek, atau petik.

Saya hanya bisa memotret ketika jeda dan ketika pertunjukan telah usai

Pertunjukan dibagi menjadi dua sesi, dengan jeda sepuluh menit. Di bagian terakhir sesi pertama, Clarentia Prameta – guest soloist dari Indonesia menyanyikan Panis Angelicus diiringi musik orkestra. Sebelumnya, Alleluia dibawakan oleh paduan suara The Singers Chamber Choir – asli Bandung, Jawa Barat.

Di sesi kedua, Gabriel’s Oboe dimainkan. Saya tahu lagu itu dari Paradiso; album terbaru Hayley Westenra. Hayley menambahkan lirik – seijin E. Morricone sang komposer – sehingga menjadi lagu berjudul Whisper in A Dream. Well, saya baru tahu kalau oboe adalah nama alat musik. Saya langsung suka!

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Saya tahu dari susunan acara kalau di akhir sesi, akan ada medley lagu-lagu daerah Indonesia: Ampar-ampar Pisang, Jali-jali, O Inani Keke, dan Yamko Rambe Yamko. Lagu-lagu ini dibawakan oleh seluruh musisi. Kalau sebelumnya penampilan para musisi cenderung serius, di sesi ini mereka ceria dan lepas. Penonton ikut bersemangat dengan bertepuk tangan mengikuti ketukan nada. Standing ovation mengakhiri pertunjukan itu.

Atau kami pikir, pertunjukan itu sudah berakhir.

Melihat antusiasme penonton, medley empat lagu tadi diulang kembali. Persis sama. Dan saya, sebagai penonton, tak bosan-bosan mendengarnya. Setelah beberapa lagu dimainkan lagi, barulah pertunjukan benar-benar usai. Puas rasanya. Standing ovation kembali bergaung. Saya tak sia-siakan kesempatan itu untuk mencuri-curi memotret.

Sepertinya, saya harus lebih sering-sering menonton konser musik klasik. Itu adalah pertunjukan yang ideal di mata saya. Duduk di auditorium yang nyaman, musik dimainkan, penonton santun. Tidak ada desak-desakan dan lelah berdiri seperti menonton konser musik jenis lain. Dan, harganyapun cukup murah untuk menikmati dua jam lebih pertunjukan yang memperkaya batin.

Selama menonton, pikiran saya berkeliaran ke negara-negara Eropa. Entah salah entah tidak, tapi saya selalu merujuk musik klasik pada Benua Biru tersebut. Saya menjadi lebih tenang, tidak ada ruang untuk gelisah ketika mendengarkannya. Percayalah, mendengarnya secara langsung jauh lebih memukau ketimbang mendengar lewat CD atau yang lain. 

Dan oh, saya sedang mendengarkan Canon in D dari Johann Pachelbel – berulang-ulang – ketika menulis postingan ini :)

2 comments:

  1. hallo, ijin masang tulisan kmu di Fan Page yah :)


    Terima kasih waktu itu sudah datang dan atas tulisan yang indah ini


    Salam Hangat,



    Rama Widi

    www.ramawidi.com
    Twitter @ramawidi

    ReplyDelete
  2. Awww...tentu saja boleh! :) Terimakasih sudah mampir ke blog saya dan terimakasih juga atas musik yang indah di konser waktu itu :) You're such a young talented Harpist!

    ReplyDelete