Jernih
denting harpa memenuhi ruangan. Seorang pria muda – rapi, berjas hitam –
memetik dawai harpanya, membawakan Legende dari Henriette Renie. Sesekali
matanya terpejam, ikut menikmati alunan musik yang ia ciptakan lewat
jari-jemarinya. Ketika getar petikan terakhir mengakhiri penampilan solonya,
tepuk tangan riuh bergema. Sang Harpist berdiri,
tersenyum, mengucapkan terima kasih pada para penikmat musik klasik di
hadapannya. Ia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang tampil memainkan instrumen
musik dalam acara New Year’s Concert with
The Soloist of Symphonia Vienna.
Aula Simfonia
Penampilan
Harpist Rama Widi tadi ada pada
urutan nomor dua, setelah Carmen Quadrille dari Eduard Strauss dimainkan
seluruh musisi dalam acara yang digelar di Aula Simfonia Jakarta, 14 Januari
kemarin. Saya menonton bersama dua orang teman. Kami duduk di baris nomor dua
dari depan. Ring a bell, eh? Saya
bisa berpuas-puas melihat musisi yang ganteng-ganteng (salah satunya ada yang
mirip Josh Groban!) dan berpuas-puas mendengarkan masterpiece dari dewa musik klasik macam Mozart dimainkan.
Langit-langit
Sayangnya,
penonton tidak diijinkan memotret atau merekam selama pertunjukan berlangsung.
Ada seorang ibu yang nekat memotret. Dia langsung ‘ditembak’ dengan sinar laser
sampai si ibu menyadari tingkahnya diperhatikan panitia yang mengawasi penonton
nakal.
Saya
masih terbilang baru dalam menikmati musik klasik. Terima kasih kepada soprano popera Hayley Westenra yang membuat
telinga saya tak asing-asing amat
dengan jenis musik itu. Pertunjukan New
Year’s Concert ini lebih menonjolkan kemampuan musisi secara individu, beda
dengan orkestra kamar dari Jerman yang pernah saya nikmati. Karena konsep ini,
saya jadi bisa ‘kenal’ dengan instrumen musik satu per satu, tak cuma sekedar
tahu instrumen ini termasuk jenis alat musik tiup, pukul, gesek, atau petik.
Saya hanya bisa memotret ketika jeda dan ketika pertunjukan telah usai
Pertunjukan
dibagi menjadi dua sesi, dengan jeda sepuluh menit. Di bagian terakhir sesi
pertama, Clarentia Prameta – guest soloist
dari Indonesia – menyanyikan Panis Angelicus diiringi musik orkestra.
Sebelumnya, Alleluia dibawakan oleh paduan
suara The Singers Chamber Choir – asli Bandung, Jawa Barat.
Di
sesi kedua, Gabriel’s Oboe dimainkan.
Saya tahu lagu itu dari Paradiso; album terbaru Hayley Westenra. Hayley menambahkan
lirik – seijin E. Morricone sang komposer – sehingga menjadi lagu berjudul Whisper in A Dream. Well, saya baru tahu kalau oboe adalah nama alat musik. Saya
langsung suka!
Akhirnya
yang ditunggu-tunggu datang juga. Saya tahu dari susunan acara kalau di akhir
sesi, akan ada medley lagu-lagu daerah Indonesia: Ampar-ampar Pisang,
Jali-jali, O Inani Keke, dan Yamko Rambe Yamko. Lagu-lagu ini dibawakan oleh
seluruh musisi. Kalau sebelumnya penampilan para musisi cenderung serius, di
sesi ini mereka ceria dan lepas. Penonton ikut bersemangat dengan bertepuk
tangan mengikuti ketukan nada. Standing
ovation mengakhiri pertunjukan itu.
Atau
kami pikir, pertunjukan itu sudah berakhir.
Melihat
antusiasme penonton, medley empat lagu tadi diulang kembali. Persis sama. Dan
saya, sebagai penonton, tak bosan-bosan mendengarnya. Setelah beberapa lagu
dimainkan lagi, barulah pertunjukan benar-benar usai. Puas rasanya. Standing ovation kembali bergaung. Saya tak
sia-siakan kesempatan itu untuk mencuri-curi memotret.
Sepertinya,
saya harus lebih sering-sering menonton konser musik klasik. Itu adalah pertunjukan
yang ideal di mata saya. Duduk di auditorium yang nyaman, musik dimainkan,
penonton santun. Tidak ada desak-desakan dan lelah berdiri seperti menonton
konser musik jenis lain. Dan, harganyapun cukup murah untuk menikmati dua jam
lebih pertunjukan yang memperkaya batin.
Selama
menonton, pikiran saya berkeliaran ke negara-negara Eropa. Entah salah entah
tidak, tapi saya selalu merujuk musik klasik pada Benua Biru tersebut. Saya
menjadi lebih tenang, tidak ada ruang untuk gelisah ketika mendengarkannya. Percayalah,
mendengarnya secara langsung jauh lebih
memukau ketimbang mendengar lewat CD atau yang lain.
Dan oh, saya sedang mendengarkan Canon in D dari
Johann Pachelbel – berulang-ulang – ketika menulis postingan
ini :)
hallo, ijin masang tulisan kmu di Fan Page yah :)
ReplyDeleteTerima kasih waktu itu sudah datang dan atas tulisan yang indah ini
Salam Hangat,
Rama Widi
www.ramawidi.com
Twitter @ramawidi
Awww...tentu saja boleh! :) Terimakasih sudah mampir ke blog saya dan terimakasih juga atas musik yang indah di konser waktu itu :) You're such a young talented Harpist!
ReplyDelete