Thursday 21 June 2012

Tentang Uang-Uang Pertama

Beberapa pekan lalu, adik saya Ema mengirim pesan lewat whatsapp. Dia bilang dua tulisannya dimuat di surat kabar lokal, dan jaminan nilai A untuk satu mata kuliah sudah dalam genggamannya. Dari dua tulisan itu, dia mendapat honor yang lumayan untuk ukuran mahasiswa. Dia memakai uang itu untuk makan-makan bersama bapak-ibu dan adik kami Nanda.

Bukan kali itu saja Ema mendapat uang hasil keringat sendiri. Ketika masih SMA, Ema rajin menulis cerpen. Beberapa cerpennya dimuat di Kandela; majalah pendidikan lokal di kota kami yang memiliki misi menyebarkan semangat menulis untuk para pelajar. Setiap tulisannya dimuat, honor yang Ema terima lebih dari cukup untuk membeli pulsa bulanan atau sekedar menambah uang jajan.

Ah, saya jadi ingat uang-uang pertama yang saya dapatkan. Uang-uang ini istimewa, karena diperoleh susah payah, bukan datang dari langit lewat pemberian orang tua.

Uang pertama yang saya dapatkan ketika bekerja adalah rapelan gaji Januari hingga Maret 2009. Iya, selama bulan-bulan itu, hidup saya sebagai pegawai baru masih tergantung orang tua. Total rapelan itu saya bagi tiga, dan salah satunya saya beri utuh untuk orang tua. Dari dulu sudah saya niatkan, gaji pertama untuk mereka. 


Yang lebih menarik adalah ketika rapelan tunjangan turun. Sebagai informasi, tunjangan di tempat saya bekerja lebih tinggi dari gaji. Tunjangan ini sempat tertahan dan baru cair di akhir Juni 2009. Dengan uang tunjangan total dari Januari hingga Mei itu, saya membeli sesuatu yang sudah sedari lama saya idam-idamkan; sesuatu yang sedari dulu membuat hati saya berdesir-desir setiap kali melihat teman menentengnya.

Saya membeli laptop, Teman! 5 Juli 2009. Saya tak perlu melihat catatan untuk mengingat tanggal saya membeli laptop yang kelak saya beri nama Baby Toshi. Di hari pertama Baby Toshi diboyong ke kosan, saya buka Microsoft Word dan mengetik dan terus mengetik; hanya untuk menyapanya. Saya senang bukan main! Saya akan menulis setiap hari, pikir saya waktu itu.


Melompat setahun-dua tahun sebelumnya saat kuliah, saya dapat uang pertama dari hasil mengajar Bahasa Inggris. Ketika masih mahasiswa, saya tergabung dengan sebuah Klub Bahasa Inggris di kampus. Selain menyelenggarakan acara debat dan sekian banyak program lainnya, klub kami juga menyediakan kelas-kelas mentoring untuk belajar Bahasa Inggris. Sasaran kami adalah mahasiswa tingkat pertama. Melalui seleksi internal, saya terpilih untuk jadi salah satu instruktur untuk kelas dasar.

Well, Bahasa Inggris saya tidak sempurna, tapi untuk mengajari tenses dan membahas soal yang sederhana sih saya masih bisa. Begitulah, saya menjadi instruktur untuk beberapa kelas selama rentang dua tahun. Murid favorit saya bernama Windy. Dia jarang absen. Kelas jadi lebih hidup ketika dia ada. Ketika kelas kami berakhir, dia memberi saya sebuah bingkisan. Saya lupa isinya apa saja, tapi salah satunya adalah gantungan kunci Kerokeropi. Saya masih menyimpannya sampai saat ini.

Oya, terkadang klub kami juga bekerja sama dengan salah satu SMP unggulan di Purbalingga. Tergantung kebutuhan, kami menyediakan instruktur untuk melatih anak-anak SMP yang masih imut itu. Kegiatan biasanya berlangsung dua hari, dari pagi hingga siang. Saya paling suka dengan kegiatan model ini. Anak-anak yang diajar pintar dan lincah. Banyak permainan yang kami siapkan karena mereka lekas bosan. Satu instruktur memegang tujuh hingga sepuluh siswa, atau kadang kurang dari itu.

Intermezo sejenak.

Pada suatu waktu, acara puncak dalam kegiatan itu adalah tampilnya kelompok dalam pagelaran drama berbahasa Inggris. Jangan bayangkan sesuatu yang mewah dengan pernak-pernik kostum menawan. Tidak. Kelompok hanya akan tampil di lapangan terbuka dengan kostum sederhana.

Kelompok yang saya latih memilih cerita Putri Salju. Semuanya berjalan sesuai rencana, kecuali satu hal: pemeran Putri Salju mendadak tak hadir di hari-H. Tak ada yang mau menggantikannya – semua ingin jadi kurcaci dengan dialog sedikit – sementara waktu terus bergulir. Akhirnya, saya memutuskan diri menjadi Si Putri Salju. Ha! Semangat anak-anak terpompa. Mereka punya instruktur dalam drama yang tak dipunyai kelompok lain.

Itulah kali pertama, dan mungkin satu-satunya, drama dimana saya menjadi tokoh utamanya.

Bahkan dengan mengingatnya saja membuat hati saya meleleh.

Sekian intermezonya.

Sebagai instruktur, saya mendapat uang saku untuk setiap kali pertemuan. Tentu tak banyak, karena bukan itu yang saya cari. Tapi toh saya senang ketika pertama kali menerima uang hasil mengajar itu. Uang itu saya belikan flash disk Mini Kingston 512 MB.

 
Bertahun-tahun sebelumnya, ketika masih SMA, saya mendapat uang pertama dari hasil mendekor auditorium untuk perpisahan kelas 3 di Malam Kenangan. Jadi, waktu itu saya menjadi ketua mading. Sesuai tradisi, ketua mading menjadi ketua seksi dekorasi. Saya dan lima teman lain mengurus tata panggung hingga backdrop. Kami diberi uang konsumsi untuk setiap kali pertemuan. Ketika acara usai, kami pun makan-makan bersama panitia lainnya.

Sampai pada suatu saat, semua ketua seksi diundang rapat oleh ketua OSIS. Masing-masing dari kami mendapat amplop berisi sejumlah uang. Uang ini hanya diperuntukkan bagi ketua, anggota bahkan tidak ada yang tahu. Hati saya tak enak. Tapi jumlah uangnya sungguh kecil, tak kan bernilai jika dibagi enam. Bahkan tak cukup untuk sekedar makan-makan untuk enam orang. Sampai saya menulis ini, saya tak pernah cerita ke anggota yang lain tentang hal ini.

Baiklah. Sekarang saya akan cerita pertama kali saya mendapat uang. Saya masih SD waktu itu. Mewakili sekolah, saya ikut lomba Bahasa Indonesia tingkat provinsi di Semarang. Saya tidak menjadi juaranya, tapi di hari terakhir lomba, saya diberi uang dan seruling oleh panitia. Serulingnya diminta paksa oleh pembimbing dari kota, tapi uangnya utuh milik saya.

Pulang ke rumah, saya cerita ke ibu tentang uang ini. Saya minta baju yang sedang terkenal saat itu: Baju Monyet! Entah kenapa disebut baju monyet, tapi yang jelas, baju yang saya beli bergambar kelinci. Duh! Itu jadi baju favorit saya sampai beberapa waktu.

Itulah uang-uang pertama yang saya ingat. Tapi hey, saya dapat versi terbaru dari ibu tentang uang pertama yang saya dapatkan.

Kata ibu, ketika masih kecil – bahkan sebelum masuk TK, saya sedang senang-senangnya bermain ukulele. Suatu hari saya dan sepupu perempuan saya, berkeliling dari rumah satu tetangga ke tetangga lain memainkan lagu-lagu sambil saya secara acak memetik ukulele. Kata  ibu juga, tetangga senang dengan ulah saya dan sepupu, dan beberapa dari mereka berbaik hati memberikan kami koin rupiah.

Kalau benar begitu, saya mendapat uang pertama dari hasil mengamen. Saya bahkan tak bisa mengingat hal itu!

Saya selalu sensitif dengan sesuatu yang pertama. Postingan tentang uang-uang pertama ini membuat saya mengenang lagi rasa senang ketika memperoleh hasil jerih payah sendiri. Dan menuliskan postingan ini, juga secara ajaib, memunculkan lagi rasa bahagia itu.





Sunday 10 June 2012

1000 Tahun dan 1 Malam bersama Christina Perri

Saya tahu Christina Perri pertama kali dari lagu A Thousand Years, soundtrack film Breaking Dawn (Part 1); lagu yang – entah kenapa – membuat saya merasa lebih mengenal karakter Edward Cullen. Teman baik saya – seorang Twihard – bahkan mengatakan kalau A Thousand Years adalah lagu yang Edward banget. See?

Lagu itu juga yang terlintas saat saya mendengar kabar kalau Christina Perri akan mengadakan konser di Jakarta awal Juni. Awalnya tak tertarik, tapi demi melihat harga tiket yang dibandrol murah, saya pun menyetujui ajakan kakak saya Mbak Nisa untuk menonton konser bertajuk LoveStrong ini.

Begitulah, Selasa 5 Juni 2012, selepas Maghrib saya dan kakak bertolak ke Tennis Indoor Senayan. Kami duduk di Tribune 2 sisi kiri. Sudah hampir pukul tujuh, satu jam menjelang konser, namun suasana masih lengang. Tidak ada atmosfir riuh-rendah, gegap gempita penuh antusiasme seperti saat saya menonton konser Avril Lavigne. Tidak juga ada perasaan !!! seperti ketika saya melihat konser Hayley Westenra atau Il Divo sekalipun. Sederhana saja, saya datang tanpa ekspektasi berlebih. Bahkan saya tak sempat meluangkan waktu mendengarkan lagu-lagu Christina Perri di album barunya sebelum menonton konser.

Dan seperti yang saya bilang, suasana masih lengang saat kami sampai di venue. Tribun hanya terisi beberapa puluh orang, pun demikian dengan kelas festival.


Pukul delapan, belum ada tanda-tanda konser akan segera dimulai. Namun perubahan mulai terasa di venue. Tribun dan Festival semakin dipadati penonton. 


Setengah jam kemudian, lampu mulai dimatikan. Ah, bahkan saya tak merasakan debar-debar saat lagu pertama dinyanyikan. Iya, ada teriakan seperti lazimnya di menit-menit awal konser. Memang benar, nama Christina Perri bergaung dielu-elukan penonton. Tapi beda rasanya.

Padahal, Tennis Indoor Senayan punya venue yang enak untuk menonton konser. Di ujung paling belakang pun, orang masih bisa menonton dengan nyaman, asal duduk di Tribune. Mungkin kalau saya fans Christina Perri, saya bisa berpuas-puas menikmati konser dengan utuh. Minimal, saya bisa ikut menyanyi sepanjang acara.

Ngomong-ngomong soal ikut menyanyi ini, bisa dibilang koor penonton hanya terjadi di tiga lagu: A Thousand Years, Jar of Heart, dan Arms. Selebihnya, penonton diam. Christina Perri bahkan perlu bekerja lebih keras untuk membuat penonton mau melonjak-lonjak mengikuti irama drum yang dinamis.

Padahal lagi, Christina Perri tampil memukau malam itu. Bergaun merah dengan sepatu boot coklat, gayanya menjadi gabungan antara the lady dengan the cowgirl. Dan suaranya…sangat powerful. Lagu-lagunya juga enak didengar. Menyesal saya tak membeli CD-nya sebelumnya. 


Lagu A Thousand Years sendiri baru dinyanyikan di urutan nomor tujuh; kalau saya tidak salah. Panggung jadi lebih hidup, dan semakin meriah ketika Christina Perri mulai membagikan mawar merah pada penonton. Saya sempat melihat, di kelas Festival, lima orang lelaki dan perempuan muda berjejer dengan tangan merangkul punggung teman di samping kiri-kanannya. Manis! Lagu ini menjadi semacam klimaks dari konser itu. Dalam artian, lagu itulah yang mendapat sambutan paling hangat dari penonton.

Konser di Jakarta adalah yang terbesar, menurut Christina Perri. Ia berjanji akan kembali, dan seperti selalu, ia mengabadikan konser malam itu dengan berpose bersama penonton. Dua lagu terakhir, Jar of Heart dan Arms juga dapat sambutan meriah dari penonton. Lagu yang terakhir itu segera saja jadi favorit saya malam itu.

Untuk melengkapi postingan ini, saya sertakan juga daftar lagu yang dinyanyikan oleh Christina Perri. Saya dapatkan daftar ini dari berbagai sumber, namun urutan lagunya mungkin agak kurang tepat.

1.Bang Bang Bang
2.Black+Blue
3.Distance
4.My Eyes
5.Bluebird
6.Crazy
7.A Thousand Years
8.Run
9.Be My Baby
10.The Lonely
11.Mine
12.Tragedy
13.Jar of Hearts
14.Arms



''I never thought that you would be the one to hold my heart.
But you came around and you knocked me off the ground from the start...''
 Christina Perri - Arms